TEMPO.CO, Jakarta – Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) keempat periode 2013-2015, Hamdan Zoelva, mengkritik Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja alias Perpu Cipta Kerja. Salah satu yang dikritik yaitu soal alasan kegentingan memaksa yang dipakai oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Hamdan menyebut Putusan MK Nomor 38/PUU7/2009 sebenarnya telah memberikan batasan yang jelas bagi seorang presiden untuk bisa menerbitkan Perpu. Tapi pada akhirnya, Hamdan mengakui tetap ada ruang untuk Jokowi sebagai kepala negara untuk menafsirkan kegentingan yang memaksa sesuai batasan di Putusan MK tersebut.
“Iya, pada akhirnya demikian,” kata Hamdan ketika dihubungi Tempo, Sabtu, 31 Desember 2022.
Sebelumnya pada 25 November 2021, MK memutuskan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau UU Cipta Kerja cacat secara formil. Lewat Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, Mahkamah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan meminta pemerintah memperbaikinya paling lama dalam 2 tahun.
Bukannya memperbaiki UU, Jokowi malah menerbitkan Perpu Cipta Kerja pada 30 Desember dengan alasan ada kegentingan yang memaksa untuk mengantisipasi ancaman krisis ekonomi. Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud Md menyebut Perpu ini alasan kegentingan memaksa untuk penerbitan Perpu sudah terpenuhi, sesuai dengan Putusan MK Nomor 138/PUU7/2009.
Dalam Putusan MK Nomor 138, Perpu diperlukan ketika sudah memenuhi tiga parameter:
- Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
- Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
- Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama
sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Preseden Buruk Praktik Ketatanegaraan
Hamdan Zoelva menyebut saat UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK, yang dikabulkan oleh majelis hakim adalah pengujian formil, yaitu proses pembentukan UU. Sehingga seharusnya, kata dia, yang diperbaiki adalah proses pembentukan UU tersebut.
Jokowi malah memilih Perpu Cipta Kerja yang dianggap Hamdan, tidak ada kegentingan memaksa untuk menerbitkannya. Waktu dua tahun yang diberikan MK, kata dia, seharusnya cukup bagi pemerintah untuk menyelesaikan perbaikan proses pembentukan UU.
“Perpu ini menjadi preseden buruk bagi praktik ketatanegaraan kita,” kata Hamdan. Karena nanti presiden setiap saat bisa mengeluarkan Perpu dalam merespon putusan MK. Apalagi, kata dia, Perpu yang memulihkan status inkonstitusional dari suatu UU yang telah dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh MK.
Hamdan memahami bahwa ada ancaman krisis ekonomi yang jadi alasan Jokowi. Ia pun menilai ancaman dan kepastian hukum tidak bisa dipertentangkan, karena mengatasi krisis pastilah alasannya untuk kepentingan umum.
“Masalahnya seharusnya jalan memperbaiki proses pembentukan UU dengan jalan biasa bisa dilakukan, sehingga tidak perlu Perpu dan tidak mengorbankan kepentingan umum dan penegakkan konstitusi dan penghormatan atas putusan pengadilan,” ujarnya.
Meski demikian, Hamdan menilai tidak perlu juga memperketat penerbitan Perpu untuk ke depannya. “Dalam putusan MK jelas sekali pembatasan dikeluarkannya Perpu, tidak harus dengan membuat UU tentang Perpu,” ujarnya.
sumber: nasional.tempo.co