Kehidupan sosial membutuhkan keteraturan agar tidak terjadi benturan satu sama lain. Tanpa keteraturan yang memaksa semua elemen sosial, manusia akan menampilkan wajahnya yang menyeramkan, yakni Homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesama manusianya).
Tak mengherankan jika dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, kita sering melihat manusia melukai, menikam, bahkan membunuh manusia lainnya. Bahkan, program televisi yang menayangkan kriminalitas di masyarakat tak pernah sepi dari peristiwa purba tersebut.
Untuk menjaga keteraturan, tertib sosial, diperlukan hukum yang mengaturnya. Istilah hukum berasal dari bahasa Arab: hukmun, yang artinya menetapkan. Hukum menetapkan sebuah aturan tingkah laku manusia, mana yang diperbolehkan, dilarang, atau disuruh untuk dilakukan. Semua lengkap diatur dalam hukum.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian hukum adalah peraturan atau adat yang secara resmi mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah. Pengertian lain dalam KBBI, hukum adalah undang-undang, peraturan, dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat. Indonesia secara tegas adalah negara hukum (rechtsstaat) bukan negara kekuasaan (machstaat). Dalam perubahan keempat Undang-Undang Dasar 1945, konsepsi negara hukum sebelumnya hanya tercantum dalam Penjelasan UUD 1945 akhirnya diformulasikan dalam Pasal 1 ayat (3) bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.”
Namun demikian, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tak selamanya hukum menjadi panglima. Konsistensi kita menjadikan hukum terdepan dalam mengatur kehidupan dengan prinsip kesamaan di muka hukum (equality before the law) masih jauh panggang dari api.
Contoh teranyar ialah pencopotan Hakim Konstitusi Aswanto oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Alasan pencopotan, menurut Ketua Komisi III DPR RI (F-PDIP) Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul, karena Aswanto sering mementahkan produk hukum yang dibuat DPR RI, di antaranya UU Cipta Kerja. Hubungan hakim konstitusi yang dipilih oleh politikus di Senayan, katanya, ibarat perusahaan, yakni pemegang saham (anggota DPR RI) dan direksi (hakim konstitusi).
Tentu saja hal itu ialah alasan nyeleneh dan serampangan karena tak memiliki referensi ilmiah dan tak berbasis regulasi. Meskipun hakim konstitusi itu ialah pilihan Dewan, setelah menjadi hakim konstitusi yang memiliki tugas sangat berat sebagai the guardian of constitution (penjaga konstitusi), sang hakim memiliki kemerdekaan yang dilindungi undang-undang.
Kemerdekaan hakim konstitusi senapas dengan Pasal 24 ayat 1 UUD 1945, yakni kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan. Kekuasaan hakim yang merdeka dari cabang kekuasaan lainnya (eksekutif dan legislatif), merdeka dari ideologi politik, merdeka dari tekanan publik, dan merdeka dari kekuasaan kehakiman di atasnya.
Sejumlah pakar hukum tata negara Indonesia, di antaranya mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie dan Hamdan Zoelva, menyatakan pencopotan Hakim Aswanto bermasalah secara hukum. Namun, anjing menggonggong, kafilah berlalu. Pencopotan Hakim Aswanto oleh DPR direspons pemerintah dengan melantiknya di Istana Negara. Adapun payung hukumnya ialah Keputusan Presiden Nomor 114 P Tahun 2022 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Hakim Konstitusi yang diajukan DPR RI.
Pencopotan Aswanto secara terang benderang bertolak belakang dengan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi. Aneh bin ajaib pencopotan oleh Dewan tersebut. Pasalnya, Aswanto tidak sedang diberhentikan dengan atau tidak hormat.
Nasi sudah menjadi bubur? Belum. Pengangkatan mantan Sekjen MK Guntur Hamzah yang menggantikan Aswanto bisa digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Penggugatnya ialah Aswanto sebagai pihak yang dikorbankan. Bola kini berada ditangan Aswanto, apakah akan menggugat ke PTUN atau diam saja karena menghadapi tekanan pihak tertentu. Namun, sebagai negarawan, Aswanto harus menguji pengangkatan Guntur Hamzah via Keppres ke PTUN. Demi hukum yang menjadi panglima, dan demi anak cucu.
Seolah tersalip, putusan MK tentang Pasal 23 UU MK yang diumumkan setelah pelantikan Guntur Hamzah menegaskan bahwa pemberhentian hakim konstitusi yang dilakukan di luar ketentuan Pasal 23 UU MK ialah inkonstitusional.
Penegakan hukum (law enforcement) membutuhkan keteladanan pemimpin, termasuk eksekutif, legislative, dan yudikatif. Jika tidak hukum sekadar hiasan yang tidak memiliki makna apa-apa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Rakyat akan mematuhi hukum jika para elite tunduk kepada hukum, bukan kepada kepentingan jangka pendek yang akan menggiring bangsa ini menuju kehancuran. Hukum bernilai bukan karena hukum semata, melainkan karena ada kebaikan di dalamnya. Tabik!
sumber: medcom.id