SYARIKAT ISLAM
Wednesday, March 29, 2023
Advertisement
  • Home
  • Organisasi
    • DPP
      • DPP SI 2015-2020
    • Sejarah
    • Arti Logo
    • Skema Organisasi
    • Peraturan Dasar
    • Peraturan Rumah Tangga
    • Anggaran Dasar
    • Anggaran Rumah Tangga
    • Profil Ketum
    • Pengurus
      • Jakarta
    • Tokoh
      • Hamdan Zoelva
      • Ferry Juliantono
      • AM Sangadji
      • Abdoel Moeis
      • Agus Salim
      • Alimin
      • Darsono
      • HOS Tjokroaminoto
      • Samanhudi
      • Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo
      • Semaun
      • Soerjopranoto
      • Tan Malaka
      • Tirto Adhi Soerjo
    • Orsap
      • SEMMI
        • Sejarah SEMMI
        • Anggaran Dasar SEMMI
        • Anggaran Rumah Tangga SEMMI
        • Pengurus SEMMI
        • Legalitas SEMMI
      • GERTASI
      • SEPMI
      • PERISAI
      • PM
      • SIGAP
      • WSI
  • Program
    • BAPESI
    • SI Mart
    • SI Wakaf
  • Gabung
    • Anggota BAPESI
  • Kontak
    • Kontak DPP SI
      • Facebook
      • Facebook Group
      • Facebook Page
      • Instagram
      • Twitter
  • Publikasi
    • Maklumat
      • Pernyataan
      • Edaran
      • Mukernas
    • Majelis
      • Majelis Tahkim
      • Majelis Syar’i
  • Hikmah
    • Khutbah
    • Tausiyah
    • Sajak
    • Lazuardi Ramadhan
  • Media
    • Web
      • hamdanzoelva.com
      • ferryjuliantono.com
      • perisai.or.id
      • semmi.or.id
      • pemudamuslim.or.id
      • wsi.or.id
      • sepmi.or.id
      • gertasi.or.id
      • sigap.or.id
      • sesmi.or.id
      • siap.or.id
      • bapesi.id
    • Web TV SI
    • YouTube TV SI
    • salamradio.com
    • Live Streaming Radio
    • e-Mail
  • indeks
    • index 1 (SI & Wanita SI)
    • index 2 (Ketum & Pengurus SI)
    • index 3 (SEMMI, SEPMI, SESMI, SIAP)
    • index 4 (PERISAI, PMI, GERTASI, SIGAP)
    • index 5 (Salam Radio & TV SI)
    • index 6 (Kaum SI & Berita Umum)
    • index 2022
    • index 2021
    • index 2020
    • index 2019
    • index 2018
    • index 2017
    • index 2016
    • index 2015
    • index 2014
    • index 2013
    • index 2012
    • index 2011
    • index 2001 – 2010
No Result
View All Result
  • Home
  • Organisasi
    • DPP
      • DPP SI 2015-2020
    • Sejarah
    • Arti Logo
    • Skema Organisasi
    • Peraturan Dasar
    • Peraturan Rumah Tangga
    • Anggaran Dasar
    • Anggaran Rumah Tangga
    • Profil Ketum
    • Pengurus
      • Jakarta
    • Tokoh
      • Hamdan Zoelva
      • Ferry Juliantono
      • AM Sangadji
      • Abdoel Moeis
      • Agus Salim
      • Alimin
      • Darsono
      • HOS Tjokroaminoto
      • Samanhudi
      • Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo
      • Semaun
      • Soerjopranoto
      • Tan Malaka
      • Tirto Adhi Soerjo
    • Orsap
      • SEMMI
        • Sejarah SEMMI
        • Anggaran Dasar SEMMI
        • Anggaran Rumah Tangga SEMMI
        • Pengurus SEMMI
        • Legalitas SEMMI
      • GERTASI
      • SEPMI
      • PERISAI
      • PM
      • SIGAP
      • WSI
  • Program
    • BAPESI
    • SI Mart
    • SI Wakaf
  • Gabung
    • Anggota BAPESI
  • Kontak
    • Kontak DPP SI
      • Facebook
      • Facebook Group
      • Facebook Page
      • Instagram
      • Twitter
  • Publikasi
    • Maklumat
      • Pernyataan
      • Edaran
      • Mukernas
    • Majelis
      • Majelis Tahkim
      • Majelis Syar’i
  • Hikmah
    • Khutbah
    • Tausiyah
    • Sajak
    • Lazuardi Ramadhan
  • Media
    • Web
      • hamdanzoelva.com
      • ferryjuliantono.com
      • perisai.or.id
      • semmi.or.id
      • pemudamuslim.or.id
      • wsi.or.id
      • sepmi.or.id
      • gertasi.or.id
      • sigap.or.id
      • sesmi.or.id
      • siap.or.id
      • bapesi.id
    • Web TV SI
    • YouTube TV SI
    • salamradio.com
    • Live Streaming Radio
    • e-Mail
  • indeks
    • index 1 (SI & Wanita SI)
    • index 2 (Ketum & Pengurus SI)
    • index 3 (SEMMI, SEPMI, SESMI, SIAP)
    • index 4 (PERISAI, PMI, GERTASI, SIGAP)
    • index 5 (Salam Radio & TV SI)
    • index 6 (Kaum SI & Berita Umum)
    • index 2022
    • index 2021
    • index 2020
    • index 2019
    • index 2018
    • index 2017
    • index 2016
    • index 2015
    • index 2014
    • index 2013
    • index 2012
    • index 2011
    • index 2001 – 2010
SYARIKAT ISLAM
No Result
View All Result
SYARIKAT ISLAM
No Result
View All Result

Islamophobia

by admin
September 1, 2022
in #Berita Umum
Reading Time: 23 mins read
A A
0
Islamophobia
0
SHARES
3
VIEWS
Share on WAShare on TelegramShare on Twitter

Oleh: AA LaNyalla Mahmud Mattalitti

Pekan lalu saya diundang di Kongres ke-2 Umat Islam Sumatera Utara, untuk menyampaikan pandangan terkait Islamophobia di Indonesia.

Saya membuka paparan saya dengan melihat sejarah dan kontribusi Umat Islam dalam kemerdekaan Indonesia.

Dimana tercatat dalam sejarah; Sangat besar. Bahkan saya katakan, umat Islam sejatinya adalah pemegang saham terbesar republik ini.

Di tahun 1916, jauh sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia, Haji Omar Said Tjokroaminoto, pendiri Syarikat Islam, secara terbuka di ruang publik menyampaikan perlunya Hindia Belanda (sebutan Indonesia saat itu, red) merdeka dan memiliki pemerintahan sendiri.

Begitu pula para pendiri bangsa kita yang lain. Ada nama-nama ulama besar di dalamnya.

Bahkan mereka juga yang terlibat aktif dalam perumusan Norma Hukum Tertinggi negara ini, yaitu Pancasila.

Mereka juga terlibat aktif di dalam BPUPKI dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, hingga Menyusun Naskah Asli Undang-Undang Dasar 1945 dan Penjelasannya.

Ada banyak nama. Sebut saja di antaranya; Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Abdul Kahar Muzakir, KH Wahid Hasyim, Haji Agus Salim, Muhammad Yamin, dan lain-lain.

Bahkan dalam peristiwa mempertahankan Kemerdekaan, sejarah Indonesia tidak terlepas dari Resolusi Jihad yang dikeluarkan Rois Akbar PBNU, Hadratus Syeikh Kiai Haji Hasyim Asy’ari di Surabaya pada 22 Oktober 1945. Sehingga meletuslah peristiwa 10 November 1945 yang dikenal sebagai hari Pahlawan di Kota Surabaya. Dimana teriakan atau pekik dari Bung Tomo, yaitu kalimat; Allahu Akbar, menjadi bahan bakar semangat para pejuang saat itu.

Sehingga dapat disimpulkan, hampir semua aktor-aktor peristiwa pembebasan bangsa Indonesia dari penjajahan adalah mayoritas beragama Islam. Tentu, tanpa mengurangi peran besar dari tokoh-tokoh non-muslim yang juga tercatat dalam sejarah.

Sehingga sangat tidak masuk akal bila belakangan ini Indonesia dilanda gejala terjadinya Islamophobia.

Jadi pertanyaannya? Mengapa fenomena Islamophobia ini belakangan semakin menguat terjadi di Indonesia?

Selain faktor Geopolitik Internasional, saya akan mencoba membedah faktor di dalam negeri.

Menurut saya ada tiga persoalan mendasar di dalam negeri yang memicu meningkatnya Islamophobia di Indonesia.

Pertama; karena kita sebagai bangsa telah terpolarisasi. Potensi konflik antar kelompok masyarakat sebenarnya terjadi sejak era kontestasi pemilihan Presiden dan Kepala Daerah secara langsung yang disertai dengan Ambang Batas pencalonan.

Kita semua pasti mengenal istilah Presidential Threshold. Di sinilah akar masalahnya. Karena akibat aturan ambang batas inilah, pasangan calon yang dihasilkan terbukti sangat terbatas.

Celakanya, dari dua kali Pemilihan Presiden, negara ini hanya mampu menghasilkan dua pasang calon, yang head to head. Sehingga dampaknya terjadi polarisasi masyarakat yang cukup tajam.

Hal itu diperparah dengan semangat antar kelompok untuk selalu melakukan Anti-Thesa. Apakah itu dalam bentuk kalimat verbal, maupun simbol dan aksi. Ditambah lagi dengan pola komunikasi elit politik yang juga mengedepankan kegaduhan. Sehingga semakin lengkap pembelahan yang terjadi di masyarakat.

Hingga puncaknya, anak bangsa ini secara tidak sadar membenturkan vis-à-vis Pancasila dengan Islam. Hanya karena semangat melakukan apapun yang bersifat Anti-Thesa. Padahal tidak satupun tesis yang bisa menjelaskan pertentangan antara Pancasila dengan Islam.

Seolah tidak ada lagi ruang dialog dan tukar pikiran. Dan semakin menjadi lebih parah, ketika ruang-ruang dialog yang ada juga semakin dibatasi dan dipersekusi. Baik secara frontal oleh pressure group, maupun dibatasi secara resmi oleh institusi negara.

Kita menyaksikan sweeping bendera, sweeping kaos, sweeping forum diskusi, pembubaran pengajian dan lain sebagainya. Sama sekali tidak mencerminkan kehidupan di negara demokrasi. Sehingga tidak heran, bila sejumlah lembaga internasional menyatakan bahwa indeks demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran.

Lalu muncul istilah kampret, cebong, kadrun, radikal dan lain sebagainya. Sungguh sangat tidak sehat untuk sebuah proses perjalanan politik sebuah bangsa.

Faktor kedua adalah semangat membangun kebhinekaan dilakukan dengan kampanye Moderasi Agama yang kurang tepat sasaran. Seolah Agama harus secara massif dan dipaksa untuk dimoderatkan. Tetapi yang menjadi sasaran pembahasan selalu Islam.

Islam seolah menjadi tertuduh sebagai penyebab kemunduran dalam hal kemampuan mengelola perbedaan dan keberagaman. Islam menjadi tertuduh dihuni oleh orang-orang yang memahami agama secara tekstual dan ekslusif.

Narasi-narasi seperti ini secara tidak langsung justru memicu menguatnya Politik Identitas, sebagai reaksi alami dari bentuk ketidaksetujuan terhadap konsep Moderasi Agama yang dirasakan menyudutkan Islam.

Faktor ketiga adalah Perubahan atas Naskah Asli Undang-Undang Dasar 1945 pada tahun 1999 hingga 2002 silam, yang telah mengubah 95 persen isi Pasal-Pasal di dalamnya, sehingga tidak nyambung lagi dengan Pancasila. Bahkan Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli dihapus total.

Sehingga Pasal-Pasal dalam Konstitusi baru tersebut justru menjabarkan Ideologi lain; yaitu Ideologi Individualisme dan Liberalisme. Karena itu tidak mengherankan jika belakangan ini Kapitalisme dan Sekulerisme semakin menguat di Indonesia.

Inilah pangkal dari semua persoalan yang semakin membuat Indonesia karut marut karena penghilangan Pancasila sebagai Identitas Konstitusi dilakukan secara “malu-malu tapi mau”, atau “malu-malu kucing”.

Termasuk perubahan Pasal 6 UUD 1945 naskah asli yang menyebutkan: Presiden ialah Orang Indonesia Asli telah diganti dengan menghapus kata ‘Asli’.

Sehingga kita membuka peluang bagi para pendatang asing untuk menguasai tiga sektor strategis; yaitu kuasai perekonomiannya. Kuasai politiknya, dan terakhir, kuasai Presiden atau Wakil Presidennya. Dan Indonesia akan mengulang sejarah yang terjadi di Singapura di masa lalu.

Karena itu, saat pertemuan Ketua Lembaga Negara dengan Presiden Joko Widodo pada hari Jumat 12 Agustus lalu, saya minta Presiden, selaku Kepala Negara untuk meratifikasi keputusan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menetapkan tanggal 15 Maret sebagai Hari Melawan Islamophobia.

Saya minta Indonesia juga secara resmi menetapkan tanggal 15 Maret sebagai hari melawan Islamophobia.

Karena jelas, Negara ini berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Seperti tertulis di Pasal 29 Ayat 1 Konstitusi kita.

Bahkan di Ayat 2 tertulis dengan sangat jelas; ‘Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu’.

Makna dari kalimat Ayat 2 itu jelas, bahwa beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu dijamin negara.

Artinya, kalau ada umat Islam yang menjalankan Sunnah Nabinya dengan memelihara jenggot, itu wajib dijamin oleh negara sebagai kemerdekaan atas pilihannya. Bukan malah distigma Teroris atau belakangan ini malah disebut Kadrun dan Radikal. Ini salah satu dari sekian banyak fenomena Islamophobia di Indonesia.

Dan harus diingat, bahwa Pancasila menempatkan kalimat ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ di dalam Sila Pertama, sebagai payung hukum spirit teologis dan kosmologis dalam menjalankan negara ini.

Sehingga sudah seharusnya dalam mengatur kehidupan rakyatnya, negara harus berpegang pada spirit Ketuhanan. Sehingga kebijakan apapun yang dibuat dan diputuskan, wajib diletakkan dalam kerangka etis dan moral serta spirit agama.

Sehingga bila ada kebijakan yang hanya menguntungkan kelompok tertentu, dan merugikan kebanyakan rakyat. Apalagi membuat rakyat sengsara dan menderita, maka jelas, kebijakan tersebut telah melanggar kerangka etis dan moral serta spirit agama. Yang artinya kebijakan tersebut telah melanggar norma hukum tertinggi yaitu Pancasila.

Jadi, bila disimpulkan, para pendiri bangsa ini sebenarnya sudah berpikir jauh ke depan. Dengan pikiran luhurnya, untuk menyiapkan negara ini sebagai negara yang berketuhanan. Sehingga mampu menjaga marwah rakyat Indonesia yang juga berketuhanan. Sehingga propaganda Islamophobia sudah seharusnya tidak bisa tumbuh subur di negeri ini.

Sebagai umat yang memiliki andil besar lahirnya bangsa dan negara ini, maka sudah seharusnya Umat Islam kritis melihat dan mengamati arah perjalanan bangsa ini.

Untuk itu, Umat Islam harus kritis terhadap sejumlah fenomena paradoksal yang terjadi di tengah-tengah kita. Baik itu soal pembangunan, hingga ketidakadilan ekonomi dan kemiskinan struktural akibat ketidakadilan tersebut.

Pembangunan haruslah menjadi Pembangunan Indonesia. Bukan sekedar Pembangunan “di” Indonesia. Begitu pula Daulat Rakyat, tidak boleh digantikan menjadi Daulat Pasar. Karena Ekonomi harus disusun untuk kepentingan bersama. Bukan dibiarkan tersusun oleh mekanisme pasar.

Oligarki Ekonomi yang semakin membesar, pasti menimbulkan ketidakadilan. Dan ketidakadilan menyumbang kemiskinan struktural. Dan ketidakadilan yang melampaui batas, adalah awal dari datangnya musibah dan bencana.

Umat Islam juga harus kritis terhadap konsep dan kebijakan Pendidikan Nasional bangsa ini. Dimana mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai cita-cita negara ini, bukanlah sekedar mencerdaskan otak, tetapi mencerdaskan kehidupan. Yang artinya mencerdaskan kemanusiaan secara utuh. Termasuk moral dan akhlak. Jasmani dan rohani.

Tanpa budi pekerti, tanpa nasionalisme, tanpa patriotisme dan tanpa ideologi serta ilmu agama, kita hanya akan menghasilkan generasi yang akan menjadi lawan kita di masa depan.

Untuk itu kita harus kembali membuka sejarah. Membaca pemikiran-pemikiran luhur para pendiri bangsa. Membaca ulang Pancasila yang hari ini sudah ditinggalkan.

Kita harus membaca kembali watak dasar dan DNA Asli Sistem Demokrasi bangsa ini. Dimana para pendiri bangsa telah sepakat menggunakan Sistem Syuro. Sistem yang sebenarnya diadopsi dari sistem yang sudah sangat dikenal dalam ajaran Islam.

Yaitu kedaulatan rakyat yang diberikan kepada para hikmat yang duduk di Lembaga Tertinggi Negara sebagai penjelmaan dari seleruh elemen rakyat sebagai pemilik sah bangsa dan negara. Dimana di dalamnya bukan saja diisi oleh politisi dari Partai Politik. Tetapi juga ada Utusan dari seluruh Daerah dan Utusan Golongan-Golongan yang lengkap.

Sehingga sistem ini adalah sistem yang berkecukupan. Tanpa ada yang ditinggalkan. Dan sistem yang paling sesuai untuk negara kepulauan dan negara yang super majemuk ini.

Oleh karena itu saya sekarang berkampanye untuk menata ulang Indonesia demi menghadapi tantangan masa depan yang akan semakin berat. Kita harus kembali menjadi bangsa yang berdaulat, mandiri dan berdikari.

Untuk itu kita harus kembali kepada Pancasila. Agar kita tidak menjadi bangsa yang durhaka kepada para pendiri bangsa. Agar kita tidak menjadi bangsa yang tercerabut dari akar bangsanya. Agar kita tidak menjadi bangsa yang tidak memiliki jati diri dan karakter.

Saya mengajak semua elemen bangsa ini untuk berpikir dalam kerangka Negarawan. Marilah kita ingat pengorbanan para pejuang kemerdekaan yang darahnya meresap di bumi ini. Di tanah yang kita injak ini.

Marilah kita satukan tekad untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli yang disusun oleh para pendiri bangsa. Untuk kemudian kita sempurnakan dengan cara yang benar, dengan cara adendum, sehingga tidak menghilangkan Pancasila sebagai staats fundamental norm.

Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli mutlak harus kita sempurnakan. Agar kita tidak mengulang penyimpangan praktek yang terjadi di era Orde Lama dan Orde Baru. Karena kita harus selalu belajar dari sejarah.

Marilah kita letakkan ego kita masing-masing. Karena kita semua tidak akan abadi hidup di dunia ini. Semua akan meninggalkan dunia ini. Semua akan dimintai pertanggungjawaban.

Marilah kita hentikan kerusakan yang terjadi. Marilah kita hentikan ketidakadilan yang melampaui batas. Karena ketidakadilan yang melampaui batas itu telah nyata-nyata membuat jutaan rakyat, sebagai pemilik sah kedaulatan negara ini menjadi sengsara.

Dan Allah SWT tidak suka terhadap hamba-Nya yang melampaui batas. Semoga sifat Rahman dan Rahim Allah SWT menjadikan bangsa ini terhindar dari azab seperti yang ditimpakan kepada bangsa atau kaum terdahulu.

Oleh: AA LaNyalla Mahmud Mattalitti

BACA JUGA:   Sepuluh Pramuka Garuda Bertalenta Lahir di Gudep MTs Cokroaminoto Wanadadi

Pekan lalu saya diundang di Kongres ke-2 Umat Islam Sumatera Utara, untuk menyampaikan pandangan terkait Islamophobia di Indonesia.

Saya membuka paparan saya dengan melihat sejarah dan kontribusi Umat Islam dalam kemerdekaan Indonesia.

Dimana tercatat dalam sejarah; Sangat besar. Bahkan saya katakan, umat Islam sejatinya adalah pemegang saham terbesar republik ini.

Di tahun 1916, jauh sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia, Haji Omar Said Tjokroaminoto, pendiri Syarikat Islam, secara terbuka di ruang publik menyampaikan perlunya Hindia Belanda (sebutan Indonesia saat itu, red) merdeka dan memiliki pemerintahan sendiri.

Begitu pula para pendiri bangsa kita yang lain. Ada nama-nama ulama besar di dalamnya.

Bahkan mereka juga yang terlibat aktif dalam perumusan Norma Hukum Tertinggi negara ini, yaitu Pancasila.

Mereka juga terlibat aktif di dalam BPUPKI dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, hingga Menyusun Naskah Asli Undang-Undang Dasar 1945 dan Penjelasannya.

Ada banyak nama. Sebut saja di antaranya; Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Abdul Kahar Muzakir, KH Wahid Hasyim, Haji Agus Salim, Muhammad Yamin, dan lain-lain.

Bahkan dalam peristiwa mempertahankan Kemerdekaan, sejarah Indonesia tidak terlepas dari Resolusi Jihad yang dikeluarkan Rois Akbar PBNU, Hadratus Syeikh Kiai Haji Hasyim Asy’ari di Surabaya pada 22 Oktober 1945. Sehingga meletuslah peristiwa 10 November 1945 yang dikenal sebagai hari Pahlawan di Kota Surabaya. Dimana teriakan atau pekik dari Bung Tomo, yaitu kalimat; Allahu Akbar, menjadi bahan bakar semangat para pejuang saat itu.

Sehingga dapat disimpulkan, hampir semua aktor-aktor peristiwa pembebasan bangsa Indonesia dari penjajahan adalah mayoritas beragama Islam. Tentu, tanpa mengurangi peran besar dari tokoh-tokoh non-muslim yang juga tercatat dalam sejarah.

Sehingga sangat tidak masuk akal bila belakangan ini Indonesia dilanda gejala terjadinya Islamophobia.

Jadi pertanyaannya? Mengapa fenomena Islamophobia ini belakangan semakin menguat terjadi di Indonesia?

Selain faktor Geopolitik Internasional, saya akan mencoba membedah faktor di dalam negeri.

Menurut saya ada tiga persoalan mendasar di dalam negeri yang memicu meningkatnya Islamophobia di Indonesia.

Pertama; karena kita sebagai bangsa telah terpolarisasi. Potensi konflik antar kelompok masyarakat sebenarnya terjadi sejak era kontestasi pemilihan Presiden dan Kepala Daerah secara langsung yang disertai dengan Ambang Batas pencalonan.

Kita semua pasti mengenal istilah Presidential Threshold. Di sinilah akar masalahnya. Karena akibat aturan ambang batas inilah, pasangan calon yang dihasilkan terbukti sangat terbatas.

Celakanya, dari dua kali Pemilihan Presiden, negara ini hanya mampu menghasilkan dua pasang calon, yang head to head. Sehingga dampaknya terjadi polarisasi masyarakat yang cukup tajam.

Hal itu diperparah dengan semangat antar kelompok untuk selalu melakukan Anti-Thesa. Apakah itu dalam bentuk kalimat verbal, maupun simbol dan aksi. Ditambah lagi dengan pola komunikasi elit politik yang juga mengedepankan kegaduhan. Sehingga semakin lengkap pembelahan yang terjadi di masyarakat.

Hingga puncaknya, anak bangsa ini secara tidak sadar membenturkan vis-à-vis Pancasila dengan Islam. Hanya karena semangat melakukan apapun yang bersifat Anti-Thesa. Padahal tidak satupun tesis yang bisa menjelaskan pertentangan antara Pancasila dengan Islam.

Seolah tidak ada lagi ruang dialog dan tukar pikiran. Dan semakin menjadi lebih parah, ketika ruang-ruang dialog yang ada juga semakin dibatasi dan dipersekusi. Baik secara frontal oleh pressure group, maupun dibatasi secara resmi oleh institusi negara.

Kita menyaksikan sweeping bendera, sweeping kaos, sweeping forum diskusi, pembubaran pengajian dan lain sebagainya. Sama sekali tidak mencerminkan kehidupan di negara demokrasi. Sehingga tidak heran, bila sejumlah lembaga internasional menyatakan bahwa indeks demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran.

Lalu muncul istilah kampret, cebong, kadrun, radikal dan lain sebagainya. Sungguh sangat tidak sehat untuk sebuah proses perjalanan politik sebuah bangsa.

Faktor kedua adalah semangat membangun kebhinekaan dilakukan dengan kampanye Moderasi Agama yang kurang tepat sasaran. Seolah Agama harus secara massif dan dipaksa untuk dimoderatkan. Tetapi yang menjadi sasaran pembahasan selalu Islam.

Islam seolah menjadi tertuduh sebagai penyebab kemunduran dalam hal kemampuan mengelola perbedaan dan keberagaman. Islam menjadi tertuduh dihuni oleh orang-orang yang memahami agama secara tekstual dan ekslusif.

Narasi-narasi seperti ini secara tidak langsung justru memicu menguatnya Politik Identitas, sebagai reaksi alami dari bentuk ketidaksetujuan terhadap konsep Moderasi Agama yang dirasakan menyudutkan Islam.

Faktor ketiga adalah Perubahan atas Naskah Asli Undang-Undang Dasar 1945 pada tahun 1999 hingga 2002 silam, yang telah mengubah 95 persen isi Pasal-Pasal di dalamnya, sehingga tidak nyambung lagi dengan Pancasila. Bahkan Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli dihapus total.

Sehingga Pasal-Pasal dalam Konstitusi baru tersebut justru menjabarkan Ideologi lain; yaitu Ideologi Individualisme dan Liberalisme. Karena itu tidak mengherankan jika belakangan ini Kapitalisme dan Sekulerisme semakin menguat di Indonesia.

Inilah pangkal dari semua persoalan yang semakin membuat Indonesia karut marut karena penghilangan Pancasila sebagai Identitas Konstitusi dilakukan secara “malu-malu tapi mau”, atau “malu-malu kucing”.

Termasuk perubahan Pasal 6 UUD 1945 naskah asli yang menyebutkan: Presiden ialah Orang Indonesia Asli telah diganti dengan menghapus kata ‘Asli’.

Sehingga kita membuka peluang bagi para pendatang asing untuk menguasai tiga sektor strategis; yaitu kuasai perekonomiannya. Kuasai politiknya, dan terakhir, kuasai Presiden atau Wakil Presidennya. Dan Indonesia akan mengulang sejarah yang terjadi di Singapura di masa lalu.

Karena itu, saat pertemuan Ketua Lembaga Negara dengan Presiden Joko Widodo pada hari Jumat 12 Agustus lalu, saya minta Presiden, selaku Kepala Negara untuk meratifikasi keputusan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menetapkan tanggal 15 Maret sebagai Hari Melawan Islamophobia.

Saya minta Indonesia juga secara resmi menetapkan tanggal 15 Maret sebagai hari melawan Islamophobia.

Karena jelas, Negara ini berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Seperti tertulis di Pasal 29 Ayat 1 Konstitusi kita.

Bahkan di Ayat 2 tertulis dengan sangat jelas; ‘Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu’.

Makna dari kalimat Ayat 2 itu jelas, bahwa beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu dijamin negara.

Artinya, kalau ada umat Islam yang menjalankan Sunnah Nabinya dengan memelihara jenggot, itu wajib dijamin oleh negara sebagai kemerdekaan atas pilihannya. Bukan malah distigma Teroris atau belakangan ini malah disebut Kadrun dan Radikal. Ini salah satu dari sekian banyak fenomena Islamophobia di Indonesia.

Dan harus diingat, bahwa Pancasila menempatkan kalimat ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ di dalam Sila Pertama, sebagai payung hukum spirit teologis dan kosmologis dalam menjalankan negara ini.

Sehingga sudah seharusnya dalam mengatur kehidupan rakyatnya, negara harus berpegang pada spirit Ketuhanan. Sehingga kebijakan apapun yang dibuat dan diputuskan, wajib diletakkan dalam kerangka etis dan moral serta spirit agama.

Sehingga bila ada kebijakan yang hanya menguntungkan kelompok tertentu, dan merugikan kebanyakan rakyat. Apalagi membuat rakyat sengsara dan menderita, maka jelas, kebijakan tersebut telah melanggar kerangka etis dan moral serta spirit agama. Yang artinya kebijakan tersebut telah melanggar norma hukum tertinggi yaitu Pancasila.

Jadi, bila disimpulkan, para pendiri bangsa ini sebenarnya sudah berpikir jauh ke depan. Dengan pikiran luhurnya, untuk menyiapkan negara ini sebagai negara yang berketuhanan. Sehingga mampu menjaga marwah rakyat Indonesia yang juga berketuhanan. Sehingga propaganda Islamophobia sudah seharusnya tidak bisa tumbuh subur di negeri ini.

Sebagai umat yang memiliki andil besar lahirnya bangsa dan negara ini, maka sudah seharusnya Umat Islam kritis melihat dan mengamati arah perjalanan bangsa ini.

Untuk itu, Umat Islam harus kritis terhadap sejumlah fenomena paradoksal yang terjadi di tengah-tengah kita. Baik itu soal pembangunan, hingga ketidakadilan ekonomi dan kemiskinan struktural akibat ketidakadilan tersebut.

Pembangunan haruslah menjadi Pembangunan Indonesia. Bukan sekedar Pembangunan “di” Indonesia. Begitu pula Daulat Rakyat, tidak boleh digantikan menjadi Daulat Pasar. Karena Ekonomi harus disusun untuk kepentingan bersama. Bukan dibiarkan tersusun oleh mekanisme pasar.

Oligarki Ekonomi yang semakin membesar, pasti menimbulkan ketidakadilan. Dan ketidakadilan menyumbang kemiskinan struktural. Dan ketidakadilan yang melampaui batas, adalah awal dari datangnya musibah dan bencana.

Umat Islam juga harus kritis terhadap konsep dan kebijakan Pendidikan Nasional bangsa ini. Dimana mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai cita-cita negara ini, bukanlah sekedar mencerdaskan otak, tetapi mencerdaskan kehidupan. Yang artinya mencerdaskan kemanusiaan secara utuh. Termasuk moral dan akhlak. Jasmani dan rohani.

Tanpa budi pekerti, tanpa nasionalisme, tanpa patriotisme dan tanpa ideologi serta ilmu agama, kita hanya akan menghasilkan generasi yang akan menjadi lawan kita di masa depan.

Untuk itu kita harus kembali membuka sejarah. Membaca pemikiran-pemikiran luhur para pendiri bangsa. Membaca ulang Pancasila yang hari ini sudah ditinggalkan.

Kita harus membaca kembali watak dasar dan DNA Asli Sistem Demokrasi bangsa ini. Dimana para pendiri bangsa telah sepakat menggunakan Sistem Syuro. Sistem yang sebenarnya diadopsi dari sistem yang sudah sangat dikenal dalam ajaran Islam.

Yaitu kedaulatan rakyat yang diberikan kepada para hikmat yang duduk di Lembaga Tertinggi Negara sebagai penjelmaan dari seleruh elemen rakyat sebagai pemilik sah bangsa dan negara. Dimana di dalamnya bukan saja diisi oleh politisi dari Partai Politik. Tetapi juga ada Utusan dari seluruh Daerah dan Utusan Golongan-Golongan yang lengkap.

Sehingga sistem ini adalah sistem yang berkecukupan. Tanpa ada yang ditinggalkan. Dan sistem yang paling sesuai untuk negara kepulauan dan negara yang super majemuk ini.

Oleh karena itu saya sekarang berkampanye untuk menata ulang Indonesia demi menghadapi tantangan masa depan yang akan semakin berat. Kita harus kembali menjadi bangsa yang berdaulat, mandiri dan berdikari.

Untuk itu kita harus kembali kepada Pancasila. Agar kita tidak menjadi bangsa yang durhaka kepada para pendiri bangsa. Agar kita tidak menjadi bangsa yang tercerabut dari akar bangsanya. Agar kita tidak menjadi bangsa yang tidak memiliki jati diri dan karakter.

Saya mengajak semua elemen bangsa ini untuk berpikir dalam kerangka Negarawan. Marilah kita ingat pengorbanan para pejuang kemerdekaan yang darahnya meresap di bumi ini. Di tanah yang kita injak ini.

Marilah kita satukan tekad untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli yang disusun oleh para pendiri bangsa. Untuk kemudian kita sempurnakan dengan cara yang benar, dengan cara adendum, sehingga tidak menghilangkan Pancasila sebagai staats fundamental norm.

Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli mutlak harus kita sempurnakan. Agar kita tidak mengulang penyimpangan praktek yang terjadi di era Orde Lama dan Orde Baru. Karena kita harus selalu belajar dari sejarah.

Marilah kita letakkan ego kita masing-masing. Karena kita semua tidak akan abadi hidup di dunia ini. Semua akan meninggalkan dunia ini. Semua akan dimintai pertanggungjawaban.

Marilah kita hentikan kerusakan yang terjadi. Marilah kita hentikan ketidakadilan yang melampaui batas. Karena ketidakadilan yang melampaui batas itu telah nyata-nyata membuat jutaan rakyat, sebagai pemilik sah kedaulatan negara ini menjadi sengsara.

Dan Allah SWT tidak suka terhadap hamba-Nya yang melampaui batas. Semoga sifat Rahman dan Rahim Allah SWT menjadikan bangsa ini terhindar dari azab seperti yang ditimpakan kepada bangsa atau kaum terdahulu.

Oleh: AA LaNyalla Mahmud Mattalitti

Pekan lalu saya diundang di Kongres ke-2 Umat Islam Sumatera Utara, untuk menyampaikan pandangan terkait Islamophobia di Indonesia.

BACA JUGA:   DA dan MI Cokroaminoto Beji Adakan Seminar “Hypnoparenting” Teknik Pengasuhan Anak Melalui Komunikasi Pikiran Bawah Sadar

Saya membuka paparan saya dengan melihat sejarah dan kontribusi Umat Islam dalam kemerdekaan Indonesia.

Dimana tercatat dalam sejarah; Sangat besar. Bahkan saya katakan, umat Islam sejatinya adalah pemegang saham terbesar republik ini.

Di tahun 1916, jauh sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia, Haji Omar Said Tjokroaminoto, pendiri Syarikat Islam, secara terbuka di ruang publik menyampaikan perlunya Hindia Belanda (sebutan Indonesia saat itu, red) merdeka dan memiliki pemerintahan sendiri.

Begitu pula para pendiri bangsa kita yang lain. Ada nama-nama ulama besar di dalamnya.

Bahkan mereka juga yang terlibat aktif dalam perumusan Norma Hukum Tertinggi negara ini, yaitu Pancasila.

Mereka juga terlibat aktif di dalam BPUPKI dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, hingga Menyusun Naskah Asli Undang-Undang Dasar 1945 dan Penjelasannya.

Ada banyak nama. Sebut saja di antaranya; Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Abdul Kahar Muzakir, KH Wahid Hasyim, Haji Agus Salim, Muhammad Yamin, dan lain-lain.

Bahkan dalam peristiwa mempertahankan Kemerdekaan, sejarah Indonesia tidak terlepas dari Resolusi Jihad yang dikeluarkan Rois Akbar PBNU, Hadratus Syeikh Kiai Haji Hasyim Asy’ari di Surabaya pada 22 Oktober 1945. Sehingga meletuslah peristiwa 10 November 1945 yang dikenal sebagai hari Pahlawan di Kota Surabaya. Dimana teriakan atau pekik dari Bung Tomo, yaitu kalimat; Allahu Akbar, menjadi bahan bakar semangat para pejuang saat itu.

Sehingga dapat disimpulkan, hampir semua aktor-aktor peristiwa pembebasan bangsa Indonesia dari penjajahan adalah mayoritas beragama Islam. Tentu, tanpa mengurangi peran besar dari tokoh-tokoh non-muslim yang juga tercatat dalam sejarah.

Sehingga sangat tidak masuk akal bila belakangan ini Indonesia dilanda gejala terjadinya Islamophobia.

Jadi pertanyaannya? Mengapa fenomena Islamophobia ini belakangan semakin menguat terjadi di Indonesia?

Selain faktor Geopolitik Internasional, saya akan mencoba membedah faktor di dalam negeri.

Menurut saya ada tiga persoalan mendasar di dalam negeri yang memicu meningkatnya Islamophobia di Indonesia.

Pertama; karena kita sebagai bangsa telah terpolarisasi. Potensi konflik antar kelompok masyarakat sebenarnya terjadi sejak era kontestasi pemilihan Presiden dan Kepala Daerah secara langsung yang disertai dengan Ambang Batas pencalonan.

Kita semua pasti mengenal istilah Presidential Threshold. Di sinilah akar masalahnya. Karena akibat aturan ambang batas inilah, pasangan calon yang dihasilkan terbukti sangat terbatas.

Celakanya, dari dua kali Pemilihan Presiden, negara ini hanya mampu menghasilkan dua pasang calon, yang head to head. Sehingga dampaknya terjadi polarisasi masyarakat yang cukup tajam.

Hal itu diperparah dengan semangat antar kelompok untuk selalu melakukan Anti-Thesa. Apakah itu dalam bentuk kalimat verbal, maupun simbol dan aksi. Ditambah lagi dengan pola komunikasi elit politik yang juga mengedepankan kegaduhan. Sehingga semakin lengkap pembelahan yang terjadi di masyarakat.

Hingga puncaknya, anak bangsa ini secara tidak sadar membenturkan vis-à-vis Pancasila dengan Islam. Hanya karena semangat melakukan apapun yang bersifat Anti-Thesa. Padahal tidak satupun tesis yang bisa menjelaskan pertentangan antara Pancasila dengan Islam.

Seolah tidak ada lagi ruang dialog dan tukar pikiran. Dan semakin menjadi lebih parah, ketika ruang-ruang dialog yang ada juga semakin dibatasi dan dipersekusi. Baik secara frontal oleh pressure group, maupun dibatasi secara resmi oleh institusi negara.

Kita menyaksikan sweeping bendera, sweeping kaos, sweeping forum diskusi, pembubaran pengajian dan lain sebagainya. Sama sekali tidak mencerminkan kehidupan di negara demokrasi. Sehingga tidak heran, bila sejumlah lembaga internasional menyatakan bahwa indeks demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran.

Lalu muncul istilah kampret, cebong, kadrun, radikal dan lain sebagainya. Sungguh sangat tidak sehat untuk sebuah proses perjalanan politik sebuah bangsa.

Faktor kedua adalah semangat membangun kebhinekaan dilakukan dengan kampanye Moderasi Agama yang kurang tepat sasaran. Seolah Agama harus secara massif dan dipaksa untuk dimoderatkan. Tetapi yang menjadi sasaran pembahasan selalu Islam.

Islam seolah menjadi tertuduh sebagai penyebab kemunduran dalam hal kemampuan mengelola perbedaan dan keberagaman. Islam menjadi tertuduh dihuni oleh orang-orang yang memahami agama secara tekstual dan ekslusif.

Narasi-narasi seperti ini secara tidak langsung justru memicu menguatnya Politik Identitas, sebagai reaksi alami dari bentuk ketidaksetujuan terhadap konsep Moderasi Agama yang dirasakan menyudutkan Islam.

Faktor ketiga adalah Perubahan atas Naskah Asli Undang-Undang Dasar 1945 pada tahun 1999 hingga 2002 silam, yang telah mengubah 95 persen isi Pasal-Pasal di dalamnya, sehingga tidak nyambung lagi dengan Pancasila. Bahkan Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli dihapus total.

Sehingga Pasal-Pasal dalam Konstitusi baru tersebut justru menjabarkan Ideologi lain; yaitu Ideologi Individualisme dan Liberalisme. Karena itu tidak mengherankan jika belakangan ini Kapitalisme dan Sekulerisme semakin menguat di Indonesia.

Inilah pangkal dari semua persoalan yang semakin membuat Indonesia karut marut karena penghilangan Pancasila sebagai Identitas Konstitusi dilakukan secara “malu-malu tapi mau”, atau “malu-malu kucing”.

Termasuk perubahan Pasal 6 UUD 1945 naskah asli yang menyebutkan: Presiden ialah Orang Indonesia Asli telah diganti dengan menghapus kata ‘Asli’.

Sehingga kita membuka peluang bagi para pendatang asing untuk menguasai tiga sektor strategis; yaitu kuasai perekonomiannya. Kuasai politiknya, dan terakhir, kuasai Presiden atau Wakil Presidennya. Dan Indonesia akan mengulang sejarah yang terjadi di Singapura di masa lalu.

Karena itu, saat pertemuan Ketua Lembaga Negara dengan Presiden Joko Widodo pada hari Jumat 12 Agustus lalu, saya minta Presiden, selaku Kepala Negara untuk meratifikasi keputusan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menetapkan tanggal 15 Maret sebagai Hari Melawan Islamophobia.

Saya minta Indonesia juga secara resmi menetapkan tanggal 15 Maret sebagai hari melawan Islamophobia.

Karena jelas, Negara ini berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Seperti tertulis di Pasal 29 Ayat 1 Konstitusi kita.

Bahkan di Ayat 2 tertulis dengan sangat jelas; ‘Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu’.

Makna dari kalimat Ayat 2 itu jelas, bahwa beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu dijamin negara.

Artinya, kalau ada umat Islam yang menjalankan Sunnah Nabinya dengan memelihara jenggot, itu wajib dijamin oleh negara sebagai kemerdekaan atas pilihannya. Bukan malah distigma Teroris atau belakangan ini malah disebut Kadrun dan Radikal. Ini salah satu dari sekian banyak fenomena Islamophobia di Indonesia.

Dan harus diingat, bahwa Pancasila menempatkan kalimat ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ di dalam Sila Pertama, sebagai payung hukum spirit teologis dan kosmologis dalam menjalankan negara ini.

Sehingga sudah seharusnya dalam mengatur kehidupan rakyatnya, negara harus berpegang pada spirit Ketuhanan. Sehingga kebijakan apapun yang dibuat dan diputuskan, wajib diletakkan dalam kerangka etis dan moral serta spirit agama.

Sehingga bila ada kebijakan yang hanya menguntungkan kelompok tertentu, dan merugikan kebanyakan rakyat. Apalagi membuat rakyat sengsara dan menderita, maka jelas, kebijakan tersebut telah melanggar kerangka etis dan moral serta spirit agama. Yang artinya kebijakan tersebut telah melanggar norma hukum tertinggi yaitu Pancasila.

Jadi, bila disimpulkan, para pendiri bangsa ini sebenarnya sudah berpikir jauh ke depan. Dengan pikiran luhurnya, untuk menyiapkan negara ini sebagai negara yang berketuhanan. Sehingga mampu menjaga marwah rakyat Indonesia yang juga berketuhanan. Sehingga propaganda Islamophobia sudah seharusnya tidak bisa tumbuh subur di negeri ini.

Sebagai umat yang memiliki andil besar lahirnya bangsa dan negara ini, maka sudah seharusnya Umat Islam kritis melihat dan mengamati arah perjalanan bangsa ini.

Untuk itu, Umat Islam harus kritis terhadap sejumlah fenomena paradoksal yang terjadi di tengah-tengah kita. Baik itu soal pembangunan, hingga ketidakadilan ekonomi dan kemiskinan struktural akibat ketidakadilan tersebut.

Pembangunan haruslah menjadi Pembangunan Indonesia. Bukan sekedar Pembangunan “di” Indonesia. Begitu pula Daulat Rakyat, tidak boleh digantikan menjadi Daulat Pasar. Karena Ekonomi harus disusun untuk kepentingan bersama. Bukan dibiarkan tersusun oleh mekanisme pasar.

Oligarki Ekonomi yang semakin membesar, pasti menimbulkan ketidakadilan. Dan ketidakadilan menyumbang kemiskinan struktural. Dan ketidakadilan yang melampaui batas, adalah awal dari datangnya musibah dan bencana.

Umat Islam juga harus kritis terhadap konsep dan kebijakan Pendidikan Nasional bangsa ini. Dimana mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai cita-cita negara ini, bukanlah sekedar mencerdaskan otak, tetapi mencerdaskan kehidupan. Yang artinya mencerdaskan kemanusiaan secara utuh. Termasuk moral dan akhlak. Jasmani dan rohani.

Tanpa budi pekerti, tanpa nasionalisme, tanpa patriotisme dan tanpa ideologi serta ilmu agama, kita hanya akan menghasilkan generasi yang akan menjadi lawan kita di masa depan.

Untuk itu kita harus kembali membuka sejarah. Membaca pemikiran-pemikiran luhur para pendiri bangsa. Membaca ulang Pancasila yang hari ini sudah ditinggalkan.

Kita harus membaca kembali watak dasar dan DNA Asli Sistem Demokrasi bangsa ini. Dimana para pendiri bangsa telah sepakat menggunakan Sistem Syuro. Sistem yang sebenarnya diadopsi dari sistem yang sudah sangat dikenal dalam ajaran Islam.

Yaitu kedaulatan rakyat yang diberikan kepada para hikmat yang duduk di Lembaga Tertinggi Negara sebagai penjelmaan dari seleruh elemen rakyat sebagai pemilik sah bangsa dan negara. Dimana di dalamnya bukan saja diisi oleh politisi dari Partai Politik. Tetapi juga ada Utusan dari seluruh Daerah dan Utusan Golongan-Golongan yang lengkap.

Sehingga sistem ini adalah sistem yang berkecukupan. Tanpa ada yang ditinggalkan. Dan sistem yang paling sesuai untuk negara kepulauan dan negara yang super majemuk ini.

Oleh karena itu saya sekarang berkampanye untuk menata ulang Indonesia demi menghadapi tantangan masa depan yang akan semakin berat. Kita harus kembali menjadi bangsa yang berdaulat, mandiri dan berdikari.

Untuk itu kita harus kembali kepada Pancasila. Agar kita tidak menjadi bangsa yang durhaka kepada para pendiri bangsa. Agar kita tidak menjadi bangsa yang tercerabut dari akar bangsanya. Agar kita tidak menjadi bangsa yang tidak memiliki jati diri dan karakter.

Saya mengajak semua elemen bangsa ini untuk berpikir dalam kerangka Negarawan. Marilah kita ingat pengorbanan para pejuang kemerdekaan yang darahnya meresap di bumi ini. Di tanah yang kita injak ini.

Marilah kita satukan tekad untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli yang disusun oleh para pendiri bangsa. Untuk kemudian kita sempurnakan dengan cara yang benar, dengan cara adendum, sehingga tidak menghilangkan Pancasila sebagai staats fundamental norm.

Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli mutlak harus kita sempurnakan. Agar kita tidak mengulang penyimpangan praktek yang terjadi di era Orde Lama dan Orde Baru. Karena kita harus selalu belajar dari sejarah.

Marilah kita letakkan ego kita masing-masing. Karena kita semua tidak akan abadi hidup di dunia ini. Semua akan meninggalkan dunia ini. Semua akan dimintai pertanggungjawaban.

Marilah kita hentikan kerusakan yang terjadi. Marilah kita hentikan ketidakadilan yang melampaui batas. Karena ketidakadilan yang melampaui batas itu telah nyata-nyata membuat jutaan rakyat, sebagai pemilik sah kedaulatan negara ini menjadi sengsara.

Dan Allah SWT tidak suka terhadap hamba-Nya yang melampaui batas. Semoga sifat Rahman dan Rahim Allah SWT menjadikan bangsa ini terhindar dari azab seperti yang ditimpakan kepada bangsa atau kaum terdahulu.

  • Penulis adalah Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

sumber: jakarta.tribunnews.com

Tags: Sarekat Islam
Previous Post

SEMMI cabang kota Langsa menggelar aksi dengan petisi

Next Post

Desak Pemerintah Batalkan Rencana Kenaikkan BBM, PB SEMMI Ancam Tak Akan Berhenti Demo

admin

Related Posts

MUI: Semua Ormas Islam Tolak Bendera Israel Berkibar di Piala Dunia U-20 Indonesia

MUI: Semua Ormas Islam Tolak Bendera Israel Berkibar di Piala Dunia U-20 Indonesia

March 20, 2023
0
Sepuluh Pramuka Garuda Bertalenta Lahir di Gudep MTs Cokroaminoto Wanadadi

Sepuluh Pramuka Garuda Bertalenta Lahir di Gudep MTs Cokroaminoto Wanadadi

March 6, 2023
1
YPI Cokroaminoto Cabang Banjarnegara Gelar Bimtek Penyusunan KOM Persiapkan Implementasi Kurikulum Merdeka Di Madrasah Ibtidaiyah

YPI Cokroaminoto Cabang Banjarnegara Gelar Bimtek Penyusunan KOM Persiapkan Implementasi Kurikulum Merdeka Di Madrasah Ibtidaiyah

February 28, 2023
0
DA dan MI Cokroaminoto Beji Adakan Seminar “Hypnoparenting” Teknik Pengasuhan Anak Melalui Komunikasi Pikiran Bawah Sadar

DA dan MI Cokroaminoto Beji Adakan Seminar “Hypnoparenting” Teknik Pengasuhan Anak Melalui Komunikasi Pikiran Bawah Sadar

February 22, 2023
0
Sejarah Pergerakan Nasional 1900-an, Pemuda adalah Koentji

Sejarah Pergerakan Nasional 1900-an, Pemuda adalah Koentji

February 4, 2023
10
Jaga Budaya Adiluhung, SMP Cokroaminoto Banjarmangu Gelar Pertunjukan Wayang Blang-Bleng

Jaga Budaya Adiluhung, SMP Cokroaminoto Banjarmangu Gelar Pertunjukan Wayang Blang-Bleng

February 1, 2023
0
Next Post
Desak Pemerintah Batalkan Rencana Kenaikkan BBM, PB SEMMI Ancam Tak Akan Berhenti Demo

Desak Pemerintah Batalkan Rencana Kenaikkan BBM, PB SEMMI Ancam Tak Akan Berhenti Demo

1 September 2022, Aksi Jiilid 1 PP SEPMI Menolak Kenaikan BBM dan Batalkan RUU Sisdiknas

1 September 2022, Aksi Jiilid 1 PP SEPMI Menolak Kenaikan BBM dan Batalkan RUU Sisdiknas

FGD PW SEMMI Aceh Terkait Wacana Kenaikan BBM & Krisis Energi. Apa Solusinya?

FGD PW SEMMI Aceh Terkait Wacana Kenaikan BBM & Krisis Energi. Apa Solusinya?

MUTIARA-MUTIARA DI DALAM KALIMAT BASMALAH: MENGAPA BASMALAH TIDAK DICAMTUMKAN DI AWAL SURAT AL-TAUBAH

TAUSIAH KEAGAMAAN TENTANG AKHLAK SABAR, PENANGKAL DIRI DARI SEGALA UJIAN DAN COBAAN SABAR DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN (5)

Resah Atas Wacana Kenaikan BBM, SEMMI Dairi-Pakpak Bharat Kirim Pesan ke Junimart Girsang

Resah Atas Wacana Kenaikan BBM, SEMMI Dairi-Pakpak Bharat Kirim Pesan ke Junimart Girsang

IKLAN

21,000+ Artikel

  • #Berita Umum (972)
  • #Gerakan Tani Syarikat Islam (149)
  • #Kaum SI (383)
  • #Ketua Umum SI (3,415)
  • #LAZ SI (128)
  • #Lembaga Dakwah SI (31)
  • #Pemuda Muslimin Indonesia (1,913)
  • #Pengurus SI (187)
  • #Pertahanan Ideologi Sarekat Islam (817)
  • #Salam Radio (1,529)
  • #Sekretaris Jendral SI (178)
  • #Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (4,678)
  • #Serikat Pelajar Muslimin Indonesia (110)
  • #Serikat Sarjana Muslimin Indonesia (138)
  • #SI Mart (10)
  • #SI Wakaf (1,530)
  • #Syarikat Islam (3,990)
  • #Syarikat Islam Angkatan Pandu (97)
  • #Syarikat Islam Tanggap Bencana (184)
  • #Tjokroaminoto Institute (71)
  • #Tokoh SI (188)
  • #Wanita Syarikat Islam (358)
  • Uncategorized (2)

© 2022 si.or.id / syarikatislam@si.or.id.

  • #2370 (no title)
  • #49977 (no title)
  • #75774 (no title)
  • 404 Error
  • account
  • Anggaran Dasar
  • Anggaran Dasar SEMMI
  • Anggaran Rumah Tangga
  • Anggaran Rumah Tangga SEMMI
  • Arti Logo
  • Button
  • cart
  • Charts
  • checkout
  • Daftar SEMMI
  • Donasi
  • Donation Confirmation
  • Donation Failed
  • Donation History
  • DPP 2015-2020
  • Edaran
  • Home
  • Indeks Berita
  • index 2001 – 2010
  • index 2011
  • index 2012
  • index 2013
  • index 2014
  • index 2015
  • index 2016
  • index 2017
  • index 2018
  • index 2019
  • index 2020
  • index 2021
  • index 2022
  • index-1
  • index-2
  • index-3
  • index-4
  • index-5
  • index-6
  • Jakarta
  • Kabupaten Bogor
  • Khutbah
    • Idul Fitri Isyhadu bi Anna Muslim
    • Idul Fitri MetroTV Khotbah
    • Idul Fitri Sunda Kelapa Khotbah
  • Kontak
  • LAZUARDI IMANI
  • Legalitas SEMMI
  • Majelis Syar’i Syarikat Islam
  • Majelis Tahkim
  • Maps
  • Mart
  • Mukernas
  • Newsletter
  • Night Mode
  • order
  • Pengurus SEMMI
  • Peraturan Dasar
  • Peraturan Rumah Tangga
  • Pernyataan
  • Privacy Policy
  • Profil Ketum
  • Radio
  • Sajak
  • Search Results
  • Sejarah
  • Sejarah SEMMI
  • Shop
  • Skema Organisasi
  • Tabs
  • Tanya & Jawab
  • Tausiyah
  • Terms of Service
  • TV
  • Wishlist

© 2022 si.or.id / syarikatislam@si.or.id.

error: Content is protected !!
Chat sekarang
WhatsApp
Punya Berita Seputar SI? Klik Disini