MALANG, NETRALNEWS.COM – Haji Agus Salim merupakan tokoh yang luar biasa kiprahnya dalam dunia pers dan politik. Duetnya bersama dengan HOS Cokroaminoto dikenal dengan nama dwi-tunggal dalam kepemimpinan Sarekat Islam saat itu.
Tidak hanya di bidang kepemimpinan, kecerdasan beliau juga sungguh luar biasa dalam penguasaan bahasa asing. Beliau secara aktif dapat berbahasa Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, Jepang, Arab, Turki di samping bahasa-bahasa daerah seperti Jawa, Sunda dan lain-lain.
Keahlian berbahasa beliau itulah yang mengantarkannya menjadi seorang diplomat yang ulung dengan jabatan sebagai menteri luar negeri RI.
Saat Agus Salim bersekolah di sekolah khusus anak Belanda. Beliau kerap kali bersaing dengan mereka. Ketenaran akan kepandaian beliau bahkan mengundang simpati RA Kartini untuk memberikan beasiswa bersekolahnya kepada Agus Salim.Namun, Agus Salim menolak karena lebih baik beliau tidak berangkat ke negeri Belanda jika pemerintah terpaksa atas desakan Kartini dan bukan kemauan sendiri.
Pada akhirnya, setelah beliau bersekolah di sekolah menengah (HBS), Agus Salim tidak melanjutkan ke sekolah kedokteran (STOVIA) maupun ke negeri Belanda.
Apakah setelah lepas dari sekolah formal beliau berhenti belajar? Kenyataannya justru beliau lebih tekun belajar dengan membaca berbagai ilmu pengetahuan dan buku agama.
Setelah Haji Agus Salim berkeluarga dan memiliki anak. Beliau justru mempercayakan pendidikan putra-putrinya dalam sebuah pendidikan keluarga dibandingkan bersekolah di sistem pendidikan kolonial yang berlaku saat itu.
Pola pengasuhan anak atau parenting ala Haji Agus Salim dalam pendidikan keluarga setidaknya ada nilai-nilai yang masih relevan untuk ditiru di masa sekarang. Berikut poin-poinnya:
1. Diskriminasi vs Demokratis
Sistem pendidikan kolonial menyaratkan para siswanya dari bumiputera haruslah tinggi status sosialnya sehingga semakin tinggi jenjang pendidikannya semakin sedikit yang bersekolah.
Tujuan pendidikan kolonial hakikatnya mencetak tenaga kasar dan menengah guna memenuhi pegawai pabrik serta menciptakan semangat budak sehingga menjadi penyebab Haji Agus Salim tidak sampai hati menyekolahkan putera-puterinya bersekolah. Barulah si bungsu (anak no. 8) beliau sekolahkan ke sekolah negeri karena sudah menginjak masa kemerdekaan.
Secara demokratis, setiap anak memiliki hak yang sama dalam menerima materi pelajaran dan memberikan pelayanan yang sama untuk bertukar pikiran, berdiskusi, dan adu argumentasi. Anak-anak bebas menyanggah keterangan ayahnya dan dengan sabar beliau tunjukkan mana yang benar dan mana yang salah.
2. Rasa Antipati vs Rasa Kasih Sayang
Sistem pendidikan kolonial menciptakan rasa antipati (kebencian) antar suku dan golongan. Pemerintah kolonial dihadapan masyarakat Sumatera selalu memuji suku yang ada di Sumatera memiliki keberanian dan ketegasan, sedangkan orang Jawa sebagai orang yang berjiwa budak.
Namun, apabila di hadapan suku Jawa berkata dengan memuji sifat yang penuh toleran dan halus, sedangkan suku di Sumatera digambarkan sebagai orang yang brutal.
Berbeda dengan keluarga Haji Agus Salim. Hubungan erat dalam keluarga ditunjukkan dengan nama panggilan Paatje (bahasa Belanda untuk sebutan ayah) dan Maatje (bahasa Belanda untuk sebutan ibu). Demikian untuk panggilan antara suami dan isteri. Rasa kasih sayang memunculkan anak untuk termotivasi bertanya, berdiskusi, dan adu argumen sebagai bentuk dari pembelajaran.
Dalam melaksanakan pendidikan, Haji Agus Salim menekankan untuk tidak menghukum anak dengan hukuman badan. Pertumbuhan jiwa anak juga diusahakan seimbang antara kecerdasan otak dengan pengetahuan agama sehingga selain pandai namun juga berani, penuh tanggung jawab dan bertakwa kepada Tuhan.
3. Belajar Sepanjang Hayat
Haji Agus Salim yang sejak semula gemar membaca menganjurkan istrinya untuk banyak membaca agar nantinya sang ibu tidak canggung mengajar putera-puteranya.
Waktu belajar khusus tidak disediakan, anak-anak setiap waktu dapat belajar dan bertanya walaupun ada tamu. Apabila ayah dan ibu pergi atau menerima tamu sehingga tidak dapat mengajar, maka puteranya yang lebih tua bertindak sebagai pengajarnya.
Putera-puteri Haji Agus Salim bebas memilih buku bacaan. Mereka diminta memberanikan diri untuk membaca buku di samping orang tuanya bahkan di saat sang ibu sedang menjahit. Namun tidak hanya sekedar membaca saja, diusahakan mereka mempelajari sampai mengerti isinya.
4. Rendah Diri vs Percaya Diri
Pemerintah kolonial Belanda berusaha menjalankan sistem pendidikan yang menciptakan semangat budak sehingga ditanamkan rasa rendah diri kepada kaum bumiputera. Perasaan rendah diri inilah yang berusaha dikikis Haji Agus Salim terhadap putera-puterinya.
Usaha beliau di antaranya mengajarkan bahasa Belanda sebagai bahasa sehari-hari secara aktif di rumah. Mengapa harus bahasa Belanda?
Walaupun terdengar paradoks, justru seseorang yang menggunakan bahasa Belanda dengan baik dianggap sebagai orang yang terpelajar dan berintelektual saat itu. Sehingga secara tidak langsung memupuk rasa kepercayaan diri yang tinggi dan menghilangkan rasa rendah diri.
Usaha yang kedua yaitu dengan menumbuhkan pengetahuan agama secara seimbang dengan pengetahuan kecerdasan lainnya, sehingga mereka dapat bergaul dan mengikuti perkembangan masyarakat.
Kisah parenting ala Haji Agus Salim berlanjut dengan kesuksesan baik beliau dan kedelapan putra-putrinya menjadi orang yang terpandang.
Ada nasehat yang secara universal dianut dalam pola asuh anak yaitu “jika engkau menuntut anakmu berbuat sesuai dengan kehendakmu (orang tua), maka tuntutlah dirimu (orang tua) untuk melakukannya terlebih dahulu.” Jika kita ingin anak kita rajin membaca, maka tuntutlah diri kita terlebih dahulu untuk gemar membaca dan contoh yang lainnya. Semoga bermanfaat.
Penulis: Risang Tunggul Manik
Pengajar dan Pemerhati Sejarah
Sumber
Mukayat. Haji Agus Salim. Departemen P&K. Jakarta: 1985
sumber: netralnews.com