17 Agustus adalah hari kemerdekaan bagi seluruh rakyat Republik Indonesia dari penindasan dan penjajahan yang menimpa rakyat selama berabad-abad lamanya. Namun, apakah kita memang benar-benar merdeka hingga saat ini? Jawabannya memang merdeka, akan tetapi merdeka hanya sampai kepada pintu gerbang saja, belum masuk kepada rumah kemerdekaan tersebut. Faktanya, penindasan, eksploitasi, ketidak adilan, kemiskinan, nepotisme, kolusi, anak-anak yang putus sekolah masih meraja lela di tanah air tercinta ini. Jadi, secara administratif mungkin Indonesia telah merdeka, sebab sebagai syarat dalam mendirikan negara telah tercukupi yaitu, adanya wilayah, berdaulat dan mendapatkan pengakuan dari negara lain. Seterusnya, apakah secara jiwa rakyat telah merdeka? tentu jawabannya beragam, ada yang bilang sudah merdeka bagi kaum elit dan ada yang bilang belum merdeka bagi kaum proletar.
Kendatipun pelik untuk mendefenisikan kemerdekaan bagi setiap differensiasi sosial, akan tetapi rakyat Indonesia tetap dalam semangat Nasionalisme. Faktanya, di saat 17 Agustus semua golongan dan kalangan sibuk merayakan hari kemerdekaan Indonesia. Lantas pertanyaannya, apa yang mereka rayakan, penderitaan atau memang kemerdekaan?. Akan tetapi semua nampak gembira ketika 17 Agustus datang dan di sambut dengan berbagai acara-acara.
Namun hal ini berbeda dengan resepsi SEMMI SUMBAR dalam menyambut hari kemerdekaan 17 Agustus. SEMMI adalah Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia. Induk organisasi SEMMI yaitu Syarikat Islam yang di pelopori HOS. Tjokroaminoto. Di Sumatera Barat Sendiri, SEMMI di pelopori pertama kali oleh Ustad Ardinal Bandaro Putiah seorang politikus. Beliau bersama kawan-kawan Mahasiswa UIN Sjech Djamil Djambek Bukittinggi yakni, Afdal Dinilhaq, Dodo Fernando,Taupiqurahman, Muhammad Sabri, Khalil fajri, Engki Ariga, Jefriandi, Wahyu, Jhon Darmis, Riki Suriyadi, Stevani Yolanda, Risa Yulia, Fina Fema Putri, Hafizah, Vera Yusnita, Vivi Khairani, bersepakat untuk mendirikan SEMMI di Sumatera Barat pada tahun 2017.
Adapun persepsi SEMMI SUMBAR dalam menyikapi ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus yaitu;
pertama, bagi SEMMI SUMBAR 17 Agustus merupakan warning bagi setiap warga Indonesia. Warning disini adalah mengukur efisiensi kemerdekaan yang di cita-citakan oleh Founding Fathers, yang mana cita-cita itu tertuang dan di rangkum dalam Pancasila. Sebagaimana kita ketahui bahwa, pancasila lahir merupakan hasil dari dialektika panjang oleh para tokoh bangsa. Maka momentum 17 Agustus bukan saja di identik dengan sebuah acara, atau hiburan semata dalam memperingati 17 Agustus tersebut, dan bahkan seharusnya lebih dari pada itu yakni, menganalisis secara kritis sudah sampai dimana Indonesia memang benar-benar merdeka. Hal ini bisa kita refleksikan dengan apa yang kita rasakan, kita lihat secara empiris bagaimana keadaan dan kondisi rakyat Indonesia, apakah benar-benar sesuai dengan falsafah pancasila, sedang, atau tidak sama sekali sesuai dengan landasan dasar Negara Indonesia yaitu Pancasila.
Kedua, Revitalisasi sejarah perjuangan tokoh bangsa dalam kehidupan masa kini.
Dalam keterpurukan moralitas yang terjadi di negara Indonesia, harusnya sejarah perjuangan para tokoh bangsa perlu di konstruksi kembali sebagai dasar dalam pergerakan untuk memajukan bangsa. Sebagaimana yang kita ketahui para tokoh bangsa adalah orang-orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan, maka dalam rumusan falsafah hidup bangsa Indonesia yang pertama adalah ketuhanan yang maha esa. Nilai-nilai ketuhanan membantu manusia supaya berprilaku dengan baik dalam keadaan dan kondisi apapun. Maka, bagi setiap manusia yang menjalankan ketauhidan dengan semurni-murninya, dapat dipastikan tidak akan ada lagi pelaku korupsi, nepotisme, imprealisme di negara ini.
Seterusnya, para tokoh bangsa adalah orang-orang yang tinggi ilmunya. Di momentum 17 Agustus 2022 mendatang merupakan alarm bagi setiap rakyat Indonesia, terlebih lagi bagi kaum pemuda dan pemudi, mesti memperdalam ilmu pengetahuan, dan memperbanyak literasi. Negara tidak akan bisa maju tanpa orang-orang yang berilmu, dan negara akan terdegradasi tanpa adanya orang-orang yang berilmu. Maka, dalam momentum 17 Agustus, jadikanlah alarm semangat 45 untuk menuntut ilmu demi kemajuan bangsa.
Selanjutnya, para tokoh bangsa cakap dalam mengatur siyasah. Kecakapan dalam berpolitik tokoh bangsa menghasilkan sebuah kebijaksanaan yang mendalam, sehingga dalam pergolakan politik tokoh terdahulu memakai perspektif kemajuan, bukan perspektif sinisme. Perspektif kemajuan yang di maksud adalah, walaupun mereka mempunyai distingsi dalam logika politik, namun ujungnya bukan kebencian, bermusuhan, akan tetapi keragaman ide di musyawarahkan bersama, lalu menjadi sebuah ide bersama. Berbeda dengan zaman sekarang bersifat sinisme, yang pada akhirnya merasa benar sendiri, menciptakan sensitifitas, permusuhan, intoleran antar perbedaan dan saling menjatuhkan.
” Jadikanlah fakta sejarah sebagai alarm ilmu pengetahuan untuk menata bangsa ke depan, dan bukan hanya sekedar cerita hiburan”
sumber: kompasiana.com/muhammadsabry0505