JAKARTA – Sebagai bangsa yang besar, Indonesia memiliki tokoh-tokoh atau negarawan hebat yang disegani oleh dunia internasional. Termasuk, para diplomat dan negosiator yang piawai melakukan kesepakatan atau kerja sama dengan Indonesia.
Berikut adalah 3 tokoh Indonesia yang menjadi negosiator ulung.
Agus Salim
Agus Salim adalah seorang diplomat dan negosiator ulung Indonesia yang menguasai banyak bahasa alias polyglot. Profilnya tercantum dalam buku lama produksi Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional tahun 1985 berjudul Haji Agus Salim: Karya dan Pengabdiannya.
Ia lahir dengan nama asli Maashudul Haq pada 8 Oktober 1884 di Bukttinggi dari keluarga pegawai pemerintahan. Namanya kemudian berubah dan lebih dikenal dengan Agus Salim. Memiliki status sosial yang cukup tinggi, Agus Salim bisa dengan mudah mengenyam pendidikan dengan kualitas terbaik dan seluas-luasnya. Ia bersekolah di sekolah-sekolah Belanda, seperti ELS dan HBS.
Kesempatan mendapat pendidikan baik tidak disia-siakan Agus Salim. Ia tergolong pribadi yang cerdas dan sangat senang membaca. Pemikirannya pun kritis, disertai analisisnya yang tajam. Dengan banyak membaca sejarah Nusantara, ia kemudian tertarik tentang perjuangan pahlawan bangsa terdahulu yang gagal mengusir penjajah Belanda dari negeri ini.
Agus Salim sempat merantau ke Timur Tengah untuk melanjutkan pendidikan di tahun 1903. Ia sengaja memilih wilayah tersebut karena memang memiliki kemampuan bahasa Arab yang fasih. Pada tahun 1906, ia berangkat ke Jeddah untuk bekerja di Konsulat Belanda. Dari situlah ia mempelajari kegiatan diplomatik dan cara kerjanya.
Haji Agus Salim ditunjuk sebagai Menteri Luar Negeri Indonesia dan bertugas mulai tahun 1946 hingga 1947. Selama bertugas, Agus Salim dikenal sebagai diplomat ulung yang dimiliki Indonesia. Ia berhasil meyakinkan negara-negara Islam untuk mengakui keberadaan Republik Indonesia secara de jure.
Pada 10 Juni 1947, Agus Salim menandatangani nota persahabatan di Kairo, antara Mesir dengan RI. Dari pihak Mesir, kesepakatan itu ditandatangani oleh M.F. Nokrasyi. Selain itu, dibuat pula perjanjian perdagangan antara dua negara. Selain Mesir, negara muslim lain yang mengakui Indonesia adalah Suriah, Lebanon, Arab Saudi, Yaman, dan Afghanistan.
Hasjim Djalal
Diplomat ulung lain yang juga dimiliki Indonesia adalah Hasjim Djalal. Lahir di Agam, 25 Februari 1934, Hasjim menempuh pendidikan di Akademi Dinas Luar Negeri Jakarta di tahun 1956. Melansir informasi yang tertera dalam laman AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia), jenjang magisternya ia tempuh di University of Virginia, Amerika Serikat pada 1959 dengan fokus studi ilmu politik luar negeri. Untuk pendidikan doktoral, Hasjim belajar di universitas yang sama dengan studi ilmu hukum laut internasional.
Memiliki spesifikasi ilmu dan kajian di bidang hukum laut, maka ia dikenal luas sebagai tokoh hukum laut internasional. Hasjim Djalal adalah salah satu tokoh perancang UNCLOS atau United Nations Convention on the Law of the Sea, yang berhasil disahkan PBB pada 10 Desember 1982. Diplomat senior ini memiliki andil besar bagi Indonesia dalam mendapat pengakuan dunia, bahwa Indonesia adalah negara kepulauan. Beberapa posisi penting yang pernah ia duduki di antaranya Duta Besar (Dubes) Indonesia di Jerman, Dubes Indonesia di Kanada, dan Dubes Indonesia untuk PBB.
Jusuf Kalla

Selain Agus Salim dan Hasjim Djalal, Indonesia juga memiliki Jusuf Kalla sebagai juru runding yang ulung. Lahir di Sulawesi Selatan pada 15 Mei 1942, Jusuf Kalla menghabiskan masa sekolah di kampung halamannya, Watampone. Pria yang akrab disapa JK itu menjadi Wakil Presiden Indonesia sebanyak 2 kali. Pertama di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan selanjutnya bersama Presiden Joko Widodo. Pada tahun 2020, JK menerima penghargaan dari Kementerian Luar Negeri dan Yayasan Manggis. Penghargaan itu diraihnya lantaran kemampuan diplomasi atau negosiasi yang ia miliki sangat baik. Konflik yang mampu ia selesaikan tak hanya ada di dalam negeri, namun juga hingga ke luar negeri.
Di dalam negeri sendiri contohnya adalah konflik Aceh tahun 2005 yang terjadi antara GAM dan pemerintah. Ketika menjadi mediator di konflik tersebut, JK mengaku banyak membaca buku tentang Aceh dan budayanya. Hal tersebut cukup membantu agar proses negosiasi berjalan baik. Selama menjabat sebagai Wakil Presiden, Jusuf Kalla juga kerap menghadiri sidang PBB dan menyampaikan pidatonya.
*diolah dari berbagai sumber
Ajeng Wirachmi-Litbang MPI
sumber: edukasi.okezone.com