Mendawamkan Dakwah Ekonomi | Ekonomi
Oleh: Syafrudin Djosan
“Kita harus rajin mendawamkan dakwah ekonomi di setiap kesempatan.” (Hamdan Zoelva)
Banyak ayat Allah dalam Al-Qur’an yang berulang kali mengingatkan para hamba-Nya agar suka bercermat diri. Salah satunya sebagaimana dinukilkan dalam surah Al-Qashash ini: “Carilah pada apa yang dianugerahkan Allah kepada¬mu kebahagia¬an akhirat, dan janganlah kamu melupakan kenikmatan (nasibmu) di dunia dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS Al-Qashash 77)
Yang disuruh Allah SWT adalah mengejar kebahagiaan akhirat dengan tidak mengabaikan meraih kebahagiaan di dunia. Dalam bahasa gaul mungkin ia menjadi seruan yang berbunyi: Kejarlah Akhirat – Dunia pun Kau Tangkap. Dan pada kenyataannya, kebanyakan manusia justru sibuk mengejar tema-tema kenikmatan duniawi dengan sedikit sekali menyempatkan diri menabung untuk bekal kebahagiaan ukhirawi kelak.
Kita menyadari bahwa momentum untuk meraih kebahagiaan ukhrawi itu tentulah dilakukan selama masa hidup di dunia ini. Oleh sebab itu Islam tidak memisahkan tema-tema duniawi dengan tema ukhrawi dalam dua sisi yang terpisah akan tetapi menyatu dan terjadi sinergisme di dalamnya. Kesetaraan dan keseimbangan di antara keduanya itulah yang jadi rumusan ideal: fiddunya hasanah wa fil-aakhirati hasanah.
Jauhnya Keadilan Sosial
“Sebagai warga bangsa, kita patut mengeta¬hui perkembangan permasalahan yang dihadapi secara umum oleh negara. Realitas menunjukkan bahwa dari sisi penguasaan ekonomi ummat Islam Indonesia berada dalam posisi piramida bawah, yaitu sebagai kelompok terbesar rakyat yang memiliki penguasaan ekonomi sangat kecil, yang dari kondisi tersebut berimplikasi pada berbagai bidang kehidupan kebangsaan lainnya, apakah itu pendidikan, kesempatan usaha, sosial, dan politik,” ujar Hamdan Zoelva.
Dapat dilihat bagaimana posisi piramida bawah itu dalam skala nasional, yang kondisi tersebut ditunjukkan dengan angka ketimpangan ekonomi Indonesia sekarang ini (gini ratio) yakni sekitar 0,40 atau tepatnya pada September 2021 tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh Gini Ratio adalah sebesar 0,381. Koefisien Gini adalah ukuran yang dikembangkan oleh statistikus Italia, Corrado Gini. Koefisien ini digunakan untuk mengukur kesenjangan pendapatan dan kekayaan suatu negara. Dari angka tersebut, memberikan gambaran bahwa sekitar 40% kue ekonomi dikuasai oleh segelintir orang, sehingga menunjukkan pula bahwa ketimpangan ekonomi kita begitu sangat tinggi. Lebih memrihatinkan lagi, yang segelintir orang yang menguasai ekonomi itu mayoritas mutlaknya bukan dari kalangan ummat Islam.
Dari ketimpangan ekonomi berimplikasi pada berbagai bidang kehidupan, baik bidang pendidikan, kesehatan, akses ekonomi maupun di bidang politik bahkan di bidang perlindungan hukum dan keadilan. Akibatnya secara langsung adalah pada soal kesejah¬teraan hidup masyarakat bangsa yang semakin menjauh dari harapan yang semustinya dialami atau dirasakan oleh bangsa kita (ummat Islam khususnya). Penerapan sistem ekonomi kapitalistik telah menjauhkan bangsa kita dari cita keadilannya. Ini tidak sesuai dengan amanat konstitusi dan sistem kenegaraan yang berdasarkan falsafah Pancasila yang kita anut. Juga tidak sesuai dalam rangka penguatan Indonesia sebagai bangsa yang mandiri.
Para pendiri negara ini sejak sebelum kemerdekaan sangat menen¬tang kapitalisme, yaitu penguasaan ekonomi oleh segelintir elit pemilik modal sehingga apa yang menjadi sikap antikapitalisme itu ter¬muatkan dalam alinea keempat Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945 terumuskan cita kehidupan negara Indonesia yaitu adanya pemerintahan negara yang memajukan kesejahteraan umum yang salah satunya harus dilandasi prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Prinsip dimaksud dilandasi oleh kemandirian ekonomi yang menghindari ketergantungan pada pihak asing.
Soekarno mengajak membangun kemandirian bangsa dengan konsep Trisakti. “Sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat perlu dan mutlak memiliki tiga hal yakni berdaulat di bidang politik, berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan.” Apa yang dicita-citakan oleh Bung Karno di awal kemerdekaan itu tidak mungkin dicapai tanpa keadilan sosial yaitu memerkuat ekonomi rakyat dan tidak membiarkan ekonomi dikuasai oleh elit para pemilik modal. Yang terjadi, ternyata negara dikuasai oleh mereka (kaum kapitalis) yang akhirnya mendikte perjalanan kehidupan kebangsaan Indonesia. “Ketimpangan ekonomi yang demikian mencerminkan masih jauhnya kita dari cita berkehidupan berdasarkan falsafah negara (philosophy grondslag), karena terabaikannya aspek keadilan sosial. Padalah, Pancasila seharusnya dimaknai secara utuh. Kondisi tidak terciptanya keadilan sosial memberi pertanda bahwa kita belum sepenuhnya mengamalkan Pancasila,” tegas Hamdan.
Menatap Masa Depan
Kondisi kesenjangan dalam kehidupan ekonomi bangsa kita, tidak akan pernah bisa berubah, kecuali dengan mengembalikan kehidupan kenegaraan berdasarkan prinsip keadilan sosial dengan kebijakan politik, gerakan yang masif, gerakan membangun kesadaran bersama untuk maju, keluar dari lingkaran kelompok kebanyakan yang miskin, yang mereka telanjur terjerat dalam kemiskinan kultural maupun struktural. TUgas besar kita adalah bagaimana membalikkan kemiskinan itu menjadi kesejahteraan.
Oleh karena itu untuk bisa lepas dari situasi semacam ini ada dua jalan untuk memperbaiki keadaan yaitu:
• Pertama, negara dan pemerintah harus memiliki pemi¬hakan yang kuat kepada kaum kebanyakan dalam bentuk kebijakan ekonomi yang afirmatif, dan;
• Kedua, harus ada kesadaran tinggi dan perjuangan keras untuk merebut sumber-sumber penguasaan ekonomi itu.
Pada perspektif kebijakan politik negara maka pemerintah seharusnya dapat dengan mudah melalui kebijakan yang memaksa mendistribusi kekayaan kepada semua orang, mendistribusi hak guna memperoleh pendidikan dan ilmu pengetahuan yang sama, serta mendistribusi hak setiap orang mendapatkan kesetaraan hukum dan keadilan. Dalam kondisi yang demikian negara harus melakukan kebijakan afirmatif, yaitu kebijakan yang memihak kepada kelompok mayoritas yang lemah dengan berbagai regulasi yang bersifat memaksa.
Harus ada strategi jangka panjang untuk mengatur perim¬bangan penguasaan ekonomi, antara pribumi dan nonpribumi yang diterapkan secara konsisten. Memperkuat kepemilikan lahan oleh rakyat banyak dengan kemudahan sertifikasi tanah, memperkuat kepemilikan saham pribumi pada pasar modal, membuat kebijakan afirmatif untuk memajukan UMKM, memajukan koperasi, dan memerkuat permodalan bagi usaha kecil dan menengah serta mendorong kesadaran dan pengetahuan melalui pendidikan.
Maka ke depan, organisasi dan gerakan dakwah yang selama ini lebih menekankan pada dakwah keagamaan dan sosial, serta politik, haruslah berbenah menyiapkan diri untuk mengarah kepada suatu langkah serius yang berfokus mensyi’arkan dakwah ekonomi. Bersama Syarikat Islam, semua komponen dan eksponen keumatan harus menyatukan gerakannya dalam membangun kemandirian ekonomi umat sebagai bagian utama dari ekonomi bangsa.
Bukankah dakwah sosial, keagamaan, dan politik hanya akan efektif dan berhasil jika ditopang oleh kekuatan ekonomi. Oleh karena ketidakberdayaan secara ekonomi itulah, dakwah tidak bisa mengubah kondisi masyarakat miskin di perdesaan, sehingga akhirnya banyak di antara mereka yang kemudian terpaksa ‘dilayani’ oleh para misionaris yang dapat memberdayakan kalangan miskin secara ekonomi. Alhasil, lantaran kondisi kemiskinan, ajaran Islam tidak bisa dipraktikkan dengan sempurna.
Ibda’ Binafsika
Rasulullah SAW mengajarkan untuk melakukan pekerjaan, termasuk pekerjaan yang besar, hendaklah dimulai dari diri sendiri (ibda’ binafsik). Dan sesuai dengan prinsip hidup dalam Islam yang ber¬jama’ah dalam membangun hubung¬an sosial maka tema saling tolong menolong adalah menjadi pembenarannya. Tolong-menolong dimaksud tentu¬lah dalam hal kebajikan untuk saling memelihara satu sama lain atas dasar taqwa (ta’aawanuu ‘alal birri wat taqwa).
Memulai dari diri sendiri dan mengikatkan diri dalam urusan ber¬muamalah dengan tema saling menolong antar¬sesama akan mengukuhkan nilai persaudaraan. Kesalihan individual yang kita miliki akan berbuah manis ketika diwujudkan da¬lam kesalihan sosial, yakni terbangunnya sikap kebersamaan dalam kerangka membangun bangsa dari keterpurukan. Kehendak menegakkan kebenaran secara kolektif sejatinya dilaku-kan secara terorganisasi dengan baik, karena bukankah kita telah diingatkan pesan bahwa, “Kebenaran yang tidak terorganisir akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir”. Selain itu, “Kezhaliman akan terus ada bukan karena banyaknya orang-orang jahat tetapi karena diamnya orang-orang baik”.
Dimulai dari penguatan ekonomi keluarga dan melalui pengikatan diri dalam kelompok yang kecil, kita lakukan gerakan dakwah ekonomi sebagai tema strategis dalam rangka mengejar ketertinggalan selama ini. Lakukan secara masif. Dakwah ekonomi yang masif, tidak berarti melupakan dakwah keagamaan dan dakwah di bidang lainnya. Buatlah berimbang, karena sesungguhnya kehidupan dunia adalah jembatan menuju akhirat. Kita patut berkhidmat, dan tak bosan membiasakan (mendawamkan) dakwah ekonomi.
Fattaqullaaha mastatha’tum
#obrolanlepas@hamdanzoelva#suatuhari
Kategori: Ekonomi
Penulis adalah Wakil Ketua Dewan Pertimbangan PB Pemuda Muslimin Indonesia
sumber: pemudamuslim.org