MALANG, NETRALNEWS.COM – Semaun lahir di Jombang, Jawa Timur pada 1899 dari keluarga yang begitu sederhana. Ayahnya bukan seorang golongan priyayi, melainkan hanya seorang pegawai kereta api biasa.
Beruntung karena tumbuh dalam zaman politik etis, ia mendapat kesempatan mengenyam pendidikan modern di sekolah bumiputera kelas satu. Dalam usia 7 tahun, Semaun mengikuti pendidikan di Sekolah Kelas Dua Tweede Klas yang setaraf dengan Sekolah Dasar sekarang.
Selain mengikuti pendidikan di Tweede Klas, Semaun mengikuti tambahan pelajaran di Eerste Klas Inlansche School yang kemudian dikenal dengan HIS (Holland Inlansche School).
Karena kecerdasan dan keuletan Semaun maka, pada saat ia duduk di kelas VI diperbolehkan mengikuti ujian pegawai Pamong Praja tahun 1912 dan Semaun muda berhasil mendapatkan Sertifikat.
Semaun masuk Hollandsch Lagere School (Sekolah Dasar Belanda) di Surabaya. Kecerdasan dan ketajaman otaknya telah tampak pada masa pendidikan ini. Pada 1912, waktu ia duduk dikelas VI, berkat kecakapannya, ia diperkenankan menempuh ujian “Klein Ambtenaar” (Pegawai Pamong praja Rendah), ternyata dapat lulus dengan hasil baik.
Ia tidak melanjutkan pelajarannya karena keadaan orangtuanya tidak mampu. Namun demikian hasratnya untuk belajar tidak pernah padam di sore hari di samping kegiatan-kegiatan lainnya ia masih sempat belajar, sehingga ia berhasil mencapai ijazah Hollandsche Komis atau Komis A, suatu prestasi yang pertama-tama berhasil dicapai oleh seorang Bumiputra di Surabaya pada saat itu.
Beberapa waktu kemudian ia bahkan berhasil mencapai ijazah Komis C yang merupakan suatu ijazah yang pada saat itu dihargai setingkat dengan ijazah Hoogere Burgerschool (HBS).
Setelah lulus sekolah, Semaun bekerja sebagai juru tulis di Staatsspoor (SS), ketika itu ia baru berusia 13 tahun.
Pada tahun 1914 Semaun menjadi anggota Sarekat Islam Surabaya dan menjabat sebagai sekretarisnya.
Latar belakang pekerjaan Semaun sebagai pegawai kereta api membuat ia banyak terlibat dalam aktivitas serikat buruh kereta api sehingga mengantarkan dirinya sebagai bumiputera pertama yang menjadi propagandis serikat buruh.
Bertemu dengan sosok Mijn Goeroe
Semaun bertemu dengan seorang Belanda yang bernama HJF Sneevliet yang datang ke Indonesia pada 1913 dengan pemikiran-pemikiran Marxisnya yang membuat Semaoen kagum karena sifat manusiawi dan ketulusannya, hingga Semaoen menganggap Sneevliet sebagai gurunya. Dalam bahasa Belanda berarti Mijn Goeroe.
Sneevliet datang ke Indonesia untuk mencari pekerjaan, dalam bulan Mei 1913 ia ke Semarang untuk menggantikan kedudukan D.M.G. Koch sebagai sekretaris Asosiasi Dagang Semarang (Semarang Handelsveregining).
Ia bersama J.A Bransteder, H.W. Dekker dan P. Bergsma mendirikan Indische Sociaal Democratische Vereniging atau yang biasa disebut ISDV. Pada 9 Mei 1914 di Surabaya di samping bergiat dalam ISDV, Sneevliet juga merangkap kerja sebagai editor De Volharding, surat kabar berbahasa Belanda yang menjadi organ Vereniging van Spoor-en Tramweg Personeel (VSTP).
Semaun adalah orang Indonesia dan anggota SI yang pertama kali mempelajari ajaran-ajaran Marxisme. Menurut Semaun, ia tertarik kepada ajaran-ajaran Marxisme-sosialisme bukan karena filsafatnya tetapi karena sikap adilnya dalam memecahkan masalah-masalah kemasyarakatan.
Kedekatan Semaun dengan Sneevliet merupakan salah satu faktor penting mengapa ia dapat menempati menempati posisi-posisi cukup berarti di kedua organisasi tersebut, di antaranya Semaun menjabat sebagai wakil ketua ISDV Surabaya.
Pada Juli 1916, Semaun meninggalkan pekerjaannya di Staatsspoor (SS) dan pindah ke Semarang, karena diangkat menjadi propagandis VSTP yang digaji bulanan.
Ia juga diangkat oleh SI Semarang menjadi salah satu propagandisnya. Karena kecerdasan dan kehandalannya dalam tugasnya dan juga Semaoen diangkat menjadi propagandis Sarekat Islam (SI) cabang Semarang, hingga tahun 1917 ia menjadi ketua Sarekat Islam (SI) cabang Semarang menggantikan Joesoep.
Semaun dan Sarekat Islam Semarang
Semaoen berusaha untuk menggerakkan Sarekat Islam agar mengarah ke radikal. Semaoen juga menjadi pemimpin redaksi media pergerakan Sarekat Islam Semarang yaitu Sinar Djawa yang mengemukakan pemikiran kiri sebagai bentuk kesadaran masyarakat yang tertindas khususnya buruh dan rakyat biasa.
Semaoen mulai melancarkan gerakannya dengan gerakan pemogokan, menentang kapitalis atau pemerintah, serta perjuangan melawan kaum borjuis yang menindas penduduk desa di daerah partikelir.
Kepemimpinan Semaoen membuat perubahan, yaitu para pendukungnya karena perubahan paradigma pergerakan yang semulanya untuk kaum menangah berkembang menjadi pergerakan untuk kaum rakyat kecil.
Sarekat Islam Semarang semakin berkembang pesat dari mulanya beranggotakan 1.700 menjadi 20.000 orang pada tahun 1917.
Melalui organisasi-organisasi politik tersebut Semaun menyerukan dengan berbagai tulisan-tulisan di surat kabar serta diplomasi-diplomasi yang dilakukan atas nama Sarekat Islam.
Tujuannya adalah agar pemilik modal memperhatikan kehidupan kaum buruh dan mengkritik kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang tidak memihak rakyat.
Pada tahun 1918, Semaoen dan Sarekat Islam Semarang melancarkan aksi pemogokan pekerja mebel dan bengkel mobil dengan 3 tuntutan; gaji dibayar penuh, setiap pemecatan diberikan uang pesangon 3 bulan gaji dan pengurangan jam kerja dari 8,5 menjadi 8 jam.
Lima hari setelah tuntutan itu, pemogokan pun dihentikan. Sarekat Islam Semarang juga membangkitkan rasa kesadaran politik melalui media dan mengadakan aksi.
Aksi yang paling pecah adalah “Aksi Caping” di dekat Stasiun Tawang di mana anggota SI diwajibkan memakai caping sebagai identitasnya. Aksi tersebut berisi program-program Sarekat Islam Semarang supaya masyarakat umum mengetahuinya.
Respons masyarakat yang tadinya hanya sebagai penonton menjadi ikut serta dalam aksi tersebut. Berbagai seruan seperti:
“Hidup Semaun”
“Hidup SI”
“Hidup Sosial Demokrat”, dan terdengar pula teriakan
“Merdeka” yang membuat polisi-polisi kolonial kerepotan akibat lumpuhnya lalu lintas jalanan.
Kongres Sarekat Islam ketiga membuat Sarekat Islam Semarang semakin berjaya. Pemerintah tidak tinggal diam, yang dilakukan pemerintah adalah penangkapan tokoh sosialis revolusioner seperti Sneevliet yang dikirim pulang ke Eropa, Darsono yang dipenjara di Surabaya, Douwes Dekker, Marco, dan Semaun yang dipenjara selama 5 bulan.
Penangkapan tokoh Sarekat Islam justu membuat kekuatan Sarekat Islam bertambah kuat dengan pembentukan Sarekat Islam Aliansi Perempuan yang beranggotakan 3041 dan Sarekat Kere yang ditakuti oleh tuan tanah atau orang kaya.
Semaun kokoh memperjuangkan ide-ide Marxisnya di dalam Sarekat Islam dibantu oleh Alimin Prawirodirdjo dan Darsono.
Kuatnya hubungan komunitas Islam dengan mencapai puncak jayanya pada 1919 ketika Semaoen menyatukan pergerakan Sarekat Islam, VSTP, dan ISDV yang melahirkan Persatuan Pekumpulan Kaum Buruh dengan gabungan dari 20 serikat pekerja di bawah arahan Sarekat Islam dengan 72.000 buruh.
Pecahnya Sarekat Islam
Pegerakan yang dilakukan oleh Semaoen dari Sarekat Islam Semarang ini sangat bertolak belakang dengan Central Sarekat Islam (CSI).
Semaun merasa tidak puas terhadap CSI yang dianggap tidak mewakili kaum buruh. CSI menganggap bahwa aksi yang dilakukan oleh Semaoen melenceng karena terlalu kiri.
Puncaknya ketika Kongres Sarekat Islam ke empat dengan adanya perdebatan antara Semaoen dengan pemikiran kirinya dengan Agus Salim dengan keagamaannya.
Akibatnya, Semaoen secara resmi dikeluarkan dari Sarekat Islam lalu membentuk SI Merah dengan pemikiran sosial-komunis. Sedangkan Agus Salim membentuk Sarekat Islam Putih dengan unsur keagamaan.
Abdul Muis selaku wakil ketua CSI yang menjadi pejabat ketua CSI menggantikan Tjokroaminoto yang masih di dalam penjara menetapkan hasil kongres dengan mengeluarkan ketetapan aturan disiplin, yaitu setiap anggota-anggota SI tidak boleh merangkap jabatan dan harus memilih salah satu antara Sarekat Islam atau organisasi yang dirangkap jabatanya.
Kebijakan yang telah dirancang tersebut memang sengaja menarget Semaun, Alimin Prawirodirdjo, Darsono dan anggota-anggota Sarekat Islam lainya yang aktif serta menjadi penggerak di serikat komunis Hinda-Belanda atau ISDV.
Tan Malaka meminta toleransi untuk anggota ISDV agar tetap diterima di kalangan SI, namun pada akhirnya Semaun, Alimin Prawirodirdjo, Darsono resmi dipecat dari SI pada tahun 1923 dalam kongres SI yang digelar di Madiun dan dari peristiwa inilah SI terbelah menjadi dua, yaitu Sarekat Islam Merah dengan pemikiran sosial-revolusioner.
Sedangkan Agus Salim membentuk Sarekat Islam Putih dengan unsur keagamaan.
Dampak perpecahan tersebut telah meningkatkan rasa persaingan dalam memperoleh perhatian penduduk desa antar cabang-cabang SI Merah dan SI Putih.
Terlebih lagi, Semaun diasingkan oleh pemerintah ke Amsterdam akibat pergerakannya yang membuatnya kewalahan.
Setelah itu, perkembangan SI Merah terus berkembang. Hal ini didukung pula dengan berbagai pandangan tokoh SI yang berorientasi pada komunisme.
Marco Martodikromo pernah menyatakan bahwa ada kesamaan antara tujuan Islam dengan sosialisme, yakni kesejahteraan Hal ini diperkuat oleh pandangan Haji Misbach yang menyatakan bahwa ada keterkaitan antara cita-cita Marxisme dan ajaran Al-Quran.
Sarekat Islam Merah dibawah komando Semaun dan kawan-kawanya terus mengembangkan sayap kirinya dengan beragam cara pada setiap golongan masyarakat.
Tujuanya adalah untuk mencari simpati serta dukungan dan proses tersebut membawa mereka ke dalam perjalanan yang panjang hingga finalnya SI Merah bermetamorfosis menjadi Sarekat Rakyat dan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1924 dengan Semaun yang menjabat sebagai Ketua Umum PKI pertama.
Penulis: Fiqi Akhmad Fauzi
Mahasiswa Universitas Negeri Malang
sumber: netralnews.com