PORTAL NGANJUK – Ferry Juliantono, seorang Politikus Gerindra menyinggung tentang alasan Pemerintah menahan Habib Rizieq Shihab dan Munarman.
Ferry Juliantono menilai bahwa Habib Rizieq Shihab dan Munarman merupakan tahanan politik, tetapi sikap Pemerintah dalam menetapkan tahanan politik antara dulu dan sekarang sudah sangat berbeda.
Wakil Ketua Umum (Waketum) Gerindra tersebut juga mendesak Jokowi selaku Presiden agar mau membebaskan Habib Rizieq Shihab dan Munarman.
“Jadi udahlah nggak penting lah menurut saya, jadi menurut saya surat ini kita buat Resmi kepada pemerintah, Presiden dalam hal ini, supaya membebaskan lah,” kata Ferry Juliantono sebagaimana dikutip Portal Nganjuk dari kanal YouTube Hersubeno Point, pada Kamis, 12 Mei, 2022.
Ferry Juliantono, turut mengungkap tentang alasan pihaknya membela Habib Rizieq yang ditahan lantaran melanggar protokol kesehatan.
“Memang dalam kasus Habib Rizieq Shihab, semua orang tahu ini politiklah, begitu beliau sampai di Jakarta dengan semua kontroversi dalam pengertian sudah dapat izin tapi karena ya nyambutnya banyak terus saya enggak tahu apa yang ada di pikiran pemerintah pada saat itu, terus mulai dicari-cari itu, kelihatan banget itu,” terangnya.
Menurut Ferry Juliantono, pada saat Habib Rizieq menggelar acara, pasti sudah melaksanakan sesuai dengan peraturan protokol kesehatan yang berlaku.
“Nah pada saat itu karena masih dalam Covid varian Delta, ya orang melaksanakan resepsi pernikahan putrinya itu Pak Habib Rizieq pasti ada yang dateng, dan tentu juga sudah membatasi lah penyelenggaraan itu supaya sesuai dengan kaidah-kaidah atau aturan-aturan yang ada pada saat itu,” ujar Ferry Juliantono.
Namun, Pemerintah terlihat seolah-olah sedang mencari-cari kesalahan mantan pimpinan Front Pembela Islam (FPI) tersebut.
Ferry Juliantono juga membandingkannya dengan Jokowi yang juga diketahui sering kali membuat kerumunan warga ketika melakukan kunjungan daerah.
“Tapi kalau tokoh seperti Habib Rizieq kemudian dicari apa kesalahannya, ditangkap, apalagi ditahan dengan alasan karena melanggar protokol, ya saya tanyakan harusnya beberapa, presiden bahkan menyelenggarakan kegiatan yang pada saat yang sama itu juga gerombol-gerombol, melibatkan orang banyak juga, kok enggak bisa dikenakan dengan sanksi yang sama? ini kan aneh,” jelasnya.
Lebih lanjut, dia juga menyoroti kasus Munarman, eks sekretaris FPI itu yang ditangkap seolah-olah teroris, padahal tuduhan tersebut tidak terbukti di pengadilan.
“Kemudian dalam kasus munarman, itu juga begitu, ditangkap dengan Densus dengan cara penangkapan yang seolah-olah teroris, itu saya sebagai sahabatnya Munarman kan tahu bahwa dia nggak begitu,” jelas Ferry Juliantono.
“Terus ternyata di pengadilan nggak terbukti baiat-baiat dan sebagainya, apa sih hubungannya, relevansinya baiat dengan terorisme tuh?,” imbuhnya.
Ferry Juliantono lantas menekankan tentang pentingnya penyamaan persepsi antara aparat, Badan Intelijen Negara (BIN), dan juga publik.
“Ini definisi terorisme tuh apa? Kemudian fundamentalisme, radikalisme, ini cap-cap yang terlalu mudah disampaikan di negara yang mayoritas penduduknya muslim seperti ini, lucu jadinya gitu loh,” tegasnya.
Ferry Juliantono membandingkan antara dulu dan sekarang terkait alasan penahanan seorang tahanan politik, dia menilai dulu masih cukup masuk akal, beda dengan sekarang.
“Tapi dasarnya, kalau dulu ada pasal subversif, ada pasal 160, ada pasal-pasal yang meskipun itu diada-adakan oleh penguasa biasanya masih agak masuk akal,” ujarnya.
“Tetapi kalau ini bikin resepsi ditersangkakan, terus Munarman ditangkap Densus antiteror dan lain sebagainya dan tidak ada buktinya, kemudian Edi Mulyadi gitu,” tambahnya.
sumber: nganjuk.pikiran-rakyat.com