ORANG MISKIN
Oleh: Syafrudin Djosan
Orang miskin itu ada gak sih di negeri kita? Pertanyaan ini bisa dianggap sinting dan ‘nyleneh’ karena dalam realitasnya menurut pemberitaan selama ini masih sekian juta penduduk Indonesia berada dalam garis kemiskinan dan yang sebagiannya lagi justru tak terdeksi berada di bawah garis kemiskinan.
Mengaca dari tema pengelolaan ZIS yang dilakukan oleh masjid-masjid, pada tingkat akar padi (grass-root), di perumahan misalnya, kita mengetahui yang terjadi agaknya adalah senantiasa meningkatnya jumlah pemasukan/penerimaan ZIS dari jamaahnya. Amat relatif memang. Tapi begitulah keadaannya ada tren peningkatan dari tahun ke tahun.
Lalu kepada siapa dana umat terkumpul di masjid-masjid, yayasan, dan panitia lainnya itu didistribusikan? Bukankah tema zakat, infaq, dan shadaqah seyogianya jika dikelola dengan baik dan terpadu akan membantu proses ‘pemakmuran’ atau mengangkat tragedi kemiskinan untuk pada gilirannya akan benar-benar membalikkan kemiskian menjadi ‘kesejahteraan’ atau sebutlah berkecukupan.
Coba iseng amati, jelang Lebaran ini banyak orang yang pulang mudik dengan segala daya dan kemampuannya untuk bisa sampai ke kampung halaman. Dishub dan Polri pun sibuk atur jalan dengan melakukan serangkaian rekayasa lalu lintas. Menjadi sebuah pemandangan hebat. Apatahlagi mudik tahun ini adalah sebagai ‘bentuk dendam’ masyarakat akibat tak bisa mudik lantaran Pandemik Covid-19 dua tahun berselang.
Logika sederhananya, yang bisa pulang mudik adalah mereka yang saat ini berkecukupan (minimal untuk ongkos dan bea konsumsi perjalanan) dan otomatis yang miskin-miskin tetap tinggal di perantauan. Tapi kenyataannya gak gitu juga. Karena, maaf, yang miskin-miskin itu juga sebagiannya masuk dalam arus mudik lebaran itu. Artinya mereka juga punya bekal untuk pulang kampung, kendati dengan pas-pasan.
Dari gambaran serupa itu, asumsi kasar kita bahwa panitia-panitia ZIS semestinya kelebihan dana atau terjadi surplus dalam penerimaan, karena calon mustahiknya pada sebagiannya tidak berada di lokasi atau di tempat kediamannya.
Nah, di sinilah agaknya perlu kearifan dari para pengelola ZIS itu, bahwa taklah harus semua dana masuk atau diterima dari jamaah itu harus habis dibagi di saat jelang lebaran. Bagus melakukan saving atau menyimpan untuk ‘mendayakan’ kehidupan kaum miskin pascalebaran.
Setahu saya, kebanyakan masjid biasanya ‘menghabiskan dana’ sebagai bentuk pertanggungjawaban dana umat dan dibagikan kepada para mustahik yang ada. Lalu sebagiannya (khususnya dalam konteks zakat maal, infaq, dan shadaqah) disimpan dalam kas bendahara, untuk kemudian biasanya untuk mendanai urusan fisik masjid. Sudah tepatkah ini?
Yang terjadi selanjutnya, tentu tak semua, adalah dana dimanfaatkan untuk keperluan perbaikan dan memperindah masjid; itu menjadi salah satu alternatif, dan kehendak membela kaum miskin ‘teristirahatkan’ sementara waktu, menunggu sampai masa datangnya bulan Ramadhan tahun berikutnya. Begitu selalu yang terjadi dalam kurun waktu berpuluh-puluh tahun. Maksud membalikkan kemiskinan tidak akan pernah terjadi.
Sekadar usulan buat semua, sebaiknya Kepanitiaan ZIS itu yang ada di mana-mana baik masjid, kelembagaan agama, yayasan tidak hanya bekerja untuk kepentingan pengelolaan di bulan Ramadhan semata, akan tetapi ia menjadi semacam Panitia Tetap yang terus menjalankan fungsi-fungsi pengelolaan ZIS di sepanjang tahun. Permanen dan bukan sesaat. Lebih dari, mereka satu sama lain sejatinya memiliki keterjalinan kerja sama di antara kepanitiaan/kepengurusan amil zakat yang lainnya untuk mengolah daya dan upaya dengan secara terpadu. Tidak lagi berjalan sendiri-sendiri.
Nah, kita punya BAZNAS sebagai instansi resmi negara yang bertugas mengelola ZIS secara nasional yang juga berdiri di daerah-daerah. Ada baiknya semua yang terlibat dalam urusan pengelolaan ZIS terkoneksi ke Manajemen BAZNAS, sehingga akan menjadi jelas seberapa banyakkah orang miskin yang kudu disambangi oleh saudaranya yang kaya atau berpunya itu?
Dengan terkoneksinya kepanitiaan ZIS di masjid-masjid misalnya, akan semakin memudahkan upaya bersama untuk kita membalikkan kemiskinan menjadi kemakmuran. Ada data, fakta, dan realita sehingga modal untuk keterukuran kerja-kerja kemaslahatan di dalamnya.
Kalaulah masih seperti selama ini, semua berjalan dengan nawaitu baiknya secara sendiri-sendiri (dan tentu bermaksud mulia) tetapi tidak terorganisasi secara padu padan, maka akan sulit ‘menata’ dan ‘membenahi’ tema kemiskinan itu. Apatah pula rumusan orang miskin kategorinya beda-beda. Ini yang harus diperjelas supaya kita memiliki validitas data yang terukur.
Bukan apa-apa, dari fenomena dasawarsa ke dasawarsa selama ini pengelolaan ZIS terus ada dan tersekat dalam lingkup-lingkup yang kecil dan bersamaan dengan itu ada pengelolaan ZIS secara besar-besaran dari kelembagaan Amil Zakat profesional, sehingga klaim kemiskinan menjadi berbeda-beda. Kita pun faham bahwa tema miskin atau kemiskinan adalah bersifat situasional atau kondisional, sebab boleh jadi hari ini seseorang menjadi mustahik, esok hari dia menjadi seorang aghniya’ atau muzakki. Sebab jalan nasib siapa yang tahu, kecuali diimbuhi kalimat Allahu a’lam….
Dan kita mungkin pantas untuk menyatakan bahwa Orang Miskin di Indonesia itu Ada tapi Tiada; atau sebaliknya Orang Miskin Tidak Ada tetapi sebenarnya Ada!
edisi#malamtakbiran#1443
Kategori: Majelis Ilmu
Penulis adalah Wakil Ketua Dewan Pertimbangan PB Pemuda Muslimin Indonesia
sumber: pemudamuslim.org