Siapa orang yang tidak kenal dengan “kantuk”. Setiap kita tentu pernah dan senantiasa mengalami apa yang disebut kantuk atau rasa mengantuk itu. Jika hal yang satu ini menjelma atau hadir pada seseorang maka tak ada cara yang lebih baik daripada memberi kesempatan tubuh ini istirahat, tidur. Tidur agak sejenak dan apalagi sampai terpulaskan sungguh memberikan kesempatan untuk sang kantuk pergi. Ketika bangun badan ini pun terasa segar.
Mengapa harus ada rasa kantuk? Itu sudah menjadi fitrah kehidupan bagi manusia yang memberikan pertanda agar bersegeranya seseorang rehat dari rutinitas kesibukannya, melepaskan segala beban di tubuh dan di pikiran. Hempaskan apa yang tengah dikerjaan, lupakan semua, dan terlelaplah.
Beraktivitas dalam keadaan mengantuk amatlah dilarang, karena bisa-bisa berujung pada kecelakaan. Pengemudi yang sedang mengendarai kendaraan bermotor lalu diserang rasa kantuk amat-sangat, wajib baginya untuk menghentikan kendaraan. Jika dipaksakan juga untuk melajukan kendaraan, maka risikonya amatlah fatal.
Dua hal yang membuat rasa kantuk itu hadir adalah akibat kekenyangan dan kelaparan. Seorang yang perutnya penuh sesak amat mudah dihinggapi rasa kantuk. Tetapi kondisi perut lapar pun dapat juga menghadirkan suasana mengantuk, dengan demikian ketika kenyang maupun lapar setiap orang bisa dihinggapi rasa kantuk.
Rasa kantuk sebagai momentum pengantar tidur yang diapresiasi dalam Islam adalah yang disebabkan dari “perut yang lapar” bukan yang dari “perut yang kenyang”. Sebab Rasulullah pernah bersabda, “Barangsiapa yang kenyang dan tidur, maka keras membatu hatinya.”
Sementara tatkala seorang yang berpuasa, dengan perut yang kosong, ia tetap bekerja tetapi lalu ia letih, mengantuk berat kemudian tertidur sehingga terlupakan sejenak rasa laparnya, maka tidurnya itu dikatakan sebagai ibadah.
Perhatikan pula pesan Lukman pada anak-anaknya, “Wahai anak-anakku, apabila perut ini penuh maka tidurlah pikiran, menjadi bisulah kebijakan, dan malaslah anggota-anggota tubuh untuk ibadah.”