Ukuran baik dan tidaknya seseorang adalah terletak pada apa yang keluar dari mulutnya. Ini berlaku bagi orang mana saja dan dari penganut agama apa saja, bahkan seorang atheis sekalipun. Ini menjadi tolok ukur pergaulan hidup. Betapa kita merasa tidak respek pada seseorang yang membuang ludah (meludah) sembarangan. Apalagi jika ada yang sengaja meludahi kita, rasa sakit hati karena direndahkan tentulah sukar disembuhkan. Siapalah pula orang yang ingin dianggap dirinya rendah?
Dari mulut pula, sesuatu yang lain yang keluar darinya bisa menjadi baik atau tidak baik. Itulah yang kita kenal sebagai tutur bahasa sebagai suara lisan. Dalam pergaulan hidup, betapa senangnya hati ketika berhadapan dengan seseorang yang tutur basanya elok, lemah, lembut, dan bernas. Sementara bagi yang sedang ‘kasmaran’ amat menyukai tutur lisan dalam kalimat-kalimat yang penuh bujuk-rayu, mendayu-dayu, puitis, bahkan yang gombal-gombal juga oke. Bohong sekalipun dipandang indah. Betapa banyak kaum Hawa yang terpedaya oleh bahasa lisan lelaki yang penuh janji-janji dan pengharapan, tetapi pada akhirnya semua hanyalah bualan dari janji-janji yang tak bertepi.
Kita diajarkan, seorang muslim terpelihara diri dan lingkungannya pada apa yang tertutur dari lisannya. Bicara yang seperlunya dan bermakna amatlah disukai. Diam, bahkan jauh lebih baik ketimbang bicara yang ngalor-ngidul tanpa makna dan bisa-bisa terselip ghibah di dalamnya.
Kesaksian seseorang dalam suatu perkara pun diambil menjadi hujjah dari apa yang dituturkannya. Islam melarang kita bersaksi palsu. Juga amat dibenci janji-janji yang sekadar memberikan angin sorga, sebagaimana halnya para calon wakil rakyat yang merayu rakyat, bakal konstituennya tapi tak ia wujudkan ketika ia benar-benar duduk di kursi empuk.
Dengan medium puasa itulah mulut yang bisa menularkan racun berbahaya dilatih, dijaga, dipelihara, dikendalikan. Karena apalah artinya kita berlapar-haus dalam puasa, tetapi dari mulut ini terlontar kata atau kalimat yang menyakiti orang perasaan orang lain. Dalam kaidah, model seperti ini memang tidaklah membatalkan puasa, tetapi ia telah menyengaja membuang atau mengurangi pahala puasa atas dirinya. Lalu, kalau pahala itu terbuang, apa artinya kita berpuasa? Maka jaga baik-baik mulut kita itu.