JAKARTA – Sebanyak 27 warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri membeberkan alasan terkait gugatan ambang batas pencalonan presiden di Mahkamah Konstitusi, (3/2). Di sisi lain, hakim MK membuka peluang merubah persepsi, jika dalil gugatan bisa meyakinkan mereka.
Meski berada di luar negeri, Refly menjelaskan bahwa para WNI itu memiliki kepedulian tinggi terhadap Indonesia. ’’Mereka berkedudukan sebagai warga negara yang memiliki hak memilih, tetapi implisit di dalamnya ada hak untuk dipilih,’’ ujar dalam persidangan. Menurut Refly, ada lima kerugian yang dialami para pemohon dengan ketentuan presidential threshold (PT) 20 persen. Diantaranya, mereka tidak dapat memilih kandidat yang lebih banyak dan lebih selektif. Kans menjadi calon presiden dan/atau calon wakil presiden juga terhambat.
PT juga membuat pemohon tidak mendapatkan keadilan dan akses yang sama dalam proses berpemilu. Kemudian, terhambat untuk memajukan diri dalam memperjuangkan pembangunan masyarakat, bangsa dan negara. ’’Terakhir, (aturan PT) menimbulkan polarisasi di masyarakat sehingga menimbulkan pertikaian,’’ imbuhnya.
Kuasa hukum lainnya, Muhammad Raziv Barokah mendesak MK membuka mata dengan dinamika yang ada. Banyak pandangan dari akademisi, ahli tata negara, aktivis kepemiluan, politikus, partai politik, hingga organisasi keagamaan yang juga menolak PT 20 persen. ’’Prof. Jimly Asshiddiqie dan juga Dr. Hamdan Zoelva yang merupakan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi juga menolak,’’ ujarnya.
Menurut para pemohon, persepsi MK terkait threshold tidak bisa dikatakan sebagai open legal policy. ’’Perubahan pandangan Mahkamah Konstitusi dapat dilakukan dan bukanlah merupakan suatu keharaman,’’ tuturnya. Menanggapi itu, Hakim MK Saldi Isra menyarankan pemohon untuk memperkuat dalilnya. Secara prinsip, MK berpeluang mengubah pandangan. Namun pemohon harus bisa membeberkan alasan yang bisa mengubah pendirian para hakim. ’’Kira-kira apa yang menjadi basis bagi Mahkamah untuk meninggalkan open legal policy di sini,’’ ujarnya.
Hakim berdarah Minang itu menambahkan, pemohon bisa menyertakan dan belajar putusan-putusan terdahulu. Di mana MK terbukti melakukan perubahan sikap. ’’Bisa diperkuat dengan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya,’’ tuturnya. Hal yang sama disampaikan Hakim MK Daniel Yusmic. Pemohon bisa mengkomparasikan praktik sistem pencapresan di negara lain. Termasuk pandangan para pakar luar negeri yang bisa menjadi input bagi MK untuk mengubah sikap. ’’Paling tidak, ahli dari negara tempat pemohon tinggal,’’ kata dia. MK memberikan waktu perbaikan selama dua pekan. (far/bay)
sumber: kaltim.prokal.co