Penjajah, seiring waktu diliputi kemauan kuat untuk tetap menguasai negeri sekaligus bangsa yang dijajah, di bawah aura depolitisasi Islam yang dirujuk Snouck Hurgronje (dan Deventer), tetap berkutat dengan upaya meneguhkan kolonialisme Belanda. Berbagai kebijakan ketenaga-kerjaan yang diselenggarakan Pemerintah Hindia Belanda, termaktub niat menyiapkan ambtenaar (pelaksana kolonial) yang ”masih sanggup” membeli hasil produksi pabrik, perkebunan, dan aktivitas ekonomi Belanda. Kaum pribumi dimungkinkan mendapat akses terbatas terhadap pusat ekonomi dan politik (sebatas tidak sampai mampu mengubah kondisi sosial ekonomi masyarakat).
Suasana kemasyarakatan, dengan intensitas organisasi yang besar saat itu: Sarekat Islam, berkat kepiawaian Tjokroaminoto, mampu menghimpun 2,5 juta anggota dari berbagai wilayah di India Belanda. Bukan saja hebat membangun mindset baru Bumiputera, tapi juga menyusupkan strategi baru: tidak lagi berhadap-hadapan dengan Kaum Cina dan Eropa tetapi membangun kesatuan dan kebersamaan ekonomi di antara para anggota SI (setiap anggota menyerahkan modal pada organisasi [Sarekat Islam]– dan itu dipatuhi. Dengan itu dibentuklah badan usaha koperasi). Ini lompatan bukan saja strategis, tapi mentransformasi level kesadaran masyarakat. Dalam vergadering (rapat raksasa) SI, 26 Januari 1913, pendahulu Indonesia sebelum negeri ini merdeka, sudah menyatakan, Sarekat Islam tidak bertujuan politik, tetapi menghidupkan jiwa dagang dari bangsa Indonesia, memperkuat ekonominya agar dapat menghadapi bangsa asing dengan mendirikan perkumpulan koperasi. Salah satu kegiatan yang digalakkan secara nasional yaitu koperasi dalam bentuk Gerakan Toko Serba-Ada untuk anggota SI, digencarkan mulai 1913. Gerakan ekonomi tidak hanya keinginan para pedagang, tetapi merupakan bagian dari organisasi untuk menumbuhkan kesadaran kemandirian berekonomi membebaskan diri dari kuasa Belanda maupun persaingan yang tidak sehat dengan pengusaha nonpribumi terutama Cina.
Tahun 1913 gerakan dimulainya pencanangan pendirian koperasi. Setiap anggota dianjurkan mengadakan iuran bersama untuk membuka toko serba ada, yang menyediakan segala bentuk kebutuhan sehari-hari bagi anggota dengan harga murah. Pak Tjokro sendiri bersama pengurus SI Surabaya mendirikan koperasi bernama “Setia Oesaha” (Korver, 1985, h. 89-90). Kolonialisme dulu, eksis. Meski begitu, saya ingin nukil fakta-fakta yang relevan seputar gerakan yang sangat sukses.
SI Surabaya tercatat berdiri lebih dari sepuluh koperasi, berbentuk toko dan warung. Antusiasme anggota amat luar biasa menyambut pendirian koperasi. Pak Tjokro menyebutkan, pada Kongres Pertama SI itu sudah ada 17 koperasi dalam berbagai wujud. Ada yang merintis pengadaan beras, bahan bakar, layanan menjahit pakaian dan sebagainya. Penghimpunan modalnya juga beragam, antar f 300 (baca: 300 gulden) sampai dengan f 5,000, dikumpulkan dari anggota dengan minimal saham f 5. SI Bogor buka buka usaha bersama dalam bidang perdagangan dan ikut proyek pembangunan, serta pengadaan barang-barang dari pemerintah Kolonial Belanda. SI Banyumas membentuk koperasi tekstil dan Tembakau. Di Temanggung, SI lebih berorientasi pada koperasi pertanian, di Kudus koperasi percetakan dan usaha dagang, demikian pula di Madiun dan Bangil membentuk koperasi perdagangan. Tak kalah juga SI di Sumatra, seperti di Bengkulu mendirikan koperasi serba-usaha untuk kepentingan anggota, koperasi angkotan (mobil-mobil milik koperasi SI dicat merah berlambang Bulan Bintang), usaha tekstil, perikanan, gadai, dan industri sepatu (untuk industri sepatu didatangkan perajin dari Jawa). SI Muara Enim Palembang mengadakan kegiatan usaha persewaan kapal motor dan mobil. SI Kotabumi Lampung tahun 1915 mendirikan koperasi dagang dengan saham yang terkumpul mencapai f 30.000; SI Kalimantan Tenggara tahun 1915 membentuk koperasi transportasi dengan modal f 26.000 dan menjalankan kapal uap untuk palayaran pantai dan sungai. Di samping cabang, SI Pusat juga membuat desain yang lebih besar, yaitu proyek bank dan asuransi serta usaha ekspor-impor untuk menyaingi kantor dagang Eropa dan Cina (Korver, 1985: h. 90-92).
Pimpinan SI sejak awal menegaskan, aktivitas koperasi dan seluruh aktivitas ekonomi di cabang-cabang maupun pusat SI harus berbasis nilai-nilai Islam. Model dan mekanisme ekonomi islami dirancang sedemikian rupa melalui rapat-rapat organisasi di masing-masing cabang SI di seluruh Indonesia (Korver, 1985: h. 90). Dinamika intelektual yang diasuh Tjokroaminoto sendiri, termasuk “mementori” para pimpinan SI berbagai daerah, dikodifikasi menjadi Wasiat Azas, bertarikh 26 Oktober 1931. Tiga tahun kemudian , tepatnya 4 Februari 1934, terbit Wasiat Pedoman Azas: Reglemen Umum bagi Umat Islam, ditulis sendiri oleh Pak Tjokro (diterbitkan SI Pusat). Penulis buku biografi Jang Oetama: Jejak dan Perjuangan H.O.S. Tjokroaminoto menyebutkan, sebagai penanda historis, ia mengatakan itulah momentum munculnya gerakan ekonomi Islam di Indonesia (Aji Dedi Mulawarman, 2015: h. 91).
SI membangun citra pendirinya sebagai Ratu Adil, yang dipercaya sebagai pembebas dari ketertindasan (seperti dalam ramalan Jayabaya). Di kemudian hari, Tjokro tampil memimpin umat tanpa anasir klenik – mengikuti nasihat Haji Agus Salim yang lebih rasional dan juga sebagai “dwi-tunggal” bersama Tjokro, memimpin Sarekat Islam. Tjokro pun tetap berjuang sampai akhir hayatnya di akhir tahun 1934.
Semangat kekinian yang harus kita pancarkan, “jiwa dagang” layak dikumandangkan, setelah Indonesia memahami bahwa Sarekat Islam bisa bermetamorfosa dari “organisasi dagang” menjadi bagian signifikan dalam perjuangan meraih kemerdekaan. Kita masih perlu elan juang Pak Tjokro dan perjuangan menggaungkan gerakan membangun jiwa dagang sebagai pengokoh nasionalisme yang makin relevan hari ini. Wallahu a’lam.
sumber: pbpemudamuslimindonesia.blogspot.com