Jakarta, CNN Indonesia —
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva menilai perbaikan Undang-undang Cipta Kerja sebagaimana diperintahkan Mahkamah Konstitusi (MK) harus terlebih dulu merevisi Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3).
Pasalnya, UU Cipta Kerja menggunakan metode omnibus law yang selama ini tidak dikenal dalam UU 12/2011. Menurut Hamdan, putusan MK itu dapat diartikan bahwa prosedur pembentukan omnibus law harus diatur dalam UU P3.
“Sehingga pada saat yang sama, kalau pemerintah dan DPR hendak mempergunakan metode omnibus law dalam UU Cipta Kerja dengan campur sari yang begitu banyak, maka dia harus mengubah dulu UU nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, agar dia memiliki standar yang pasti, baku,” kata Hamdan dalam sebuah webinar yang dikutip Selasa (30/11).
Menurut Hamdan, putusan MK itu juga memberikan pesan penting bahwa DPR dan pemerintah sebagai pembentuk undang-undang tidak bisa lagi sembarangan menggunakan metode omnibus law.
Lebih lanjut, dampak putusan MK ini memang mengharuskan pemerintah dan DPR memperbaiki UU Cipta Kerja dalam waktu dua tahun untuk menyempurnakan berbagai aspek prosedur, metode, ketelitian, serta asas-asas pembentukan perundang-undangan.
“Yang paling berat adalah pemenuhan asas pada cara dan metode yg pasti baku dan standar, ini lah yang tentukan perubahan terlebih dahulu dalam UU PPP, karena distate secara khusus, omnibus law campur sari yang sangat luas itu mengandung problem yuridis,” ujarnya.
Menurut dia, Omnibus Law Cipta Kerja yang menyatukan 78 UU sekaligus itu tidak memiliki kesatuan yang jelas. Padahal, sebuah UU itu, mulai dari filosofi hingga akhir, mestinya memiliki kesatuan yang utuh.
“Ketika dicampur demikian banyak itu runtunnya bisa hilang. Karena banyak sekali titipan-titipan pasar yang sebenarnya tidak berkaitan dengan filosofi dasarnya. Ini lah saya kira menjadi perhatian khusus dari MK,” ujar dia.
Sementara itu, pakar hukum tata negara Universitas Padjajaran Susi Dwi Harijanti menilai bahwa perbaikan UU Cipta Kerja tidak bisa hanya dengan merevisi UU PPP. Menurut dia, ada banyak hal yang harus dilakukan untuk memperbaiki itu.
“Tidak cukup dengan hanya mengubah UU 12/2011. Itu (perbaikan UU Cipta Kerja) diperintahkan oleh MK karena metode omnibus itu, yang banyak diberikan contoh oleh ahli itu adalah metode omnibus yang hanya satu bidang, kalau ini kan kompleks, sampai dengan 78 UU,” ujar Susi dalam acara yang sama.
Menurut dia, kalaupun akan diatur metode omnibus dalam UU 12/2011, maka yg diatur adalah bagaimana ruang lingkupnya, dan metodenya tidak bisa dibiarkan secara liar.
“Metode itu tidak bisa dianggap remeh, maka kalau Indonesia mau pakai metode omnibus, apakah metode omnibusnya itu kita biarkan semua? Jangan sampai kemudian liar, pilihannya apakah membatasi ruang lingkup penggunaan metode omnibus, atau membiarkan secara terbuka, atau lagi-lagi jalan tengah,” jelasnya.
Di sisi lain, menurut Susi, memasukan metode omnibus ke dalam UU PPP juga tidak berarti persoalan dalam UU Cipta Kerja selesai. Pasalnya, pembentuk UU juga harus menjawab pertanyaan atau merespons pertimbangan dari MK.
“Ini UU baru, UU revisi, atau UU pencabutan? Itu kan ada di UU 12/2011, mereka harus tunduk pada standar-standar itu,” kata Susi.
“Jadi jangan sampai kemudian perbaikan dengan memasukan metode omnibus, kemudian akan digunakan sebagai justifikasi bahwa UU Cipta Kerja tidak ada masalah,” ucapnya menambahkan.
MK sebelumnya menolak sebagian gugatan Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang diajukan sejumlah elemen buruh. Namun, Mahkamah memerintahkan pemerintah dan DPR untuk memperbaiki dalam jangka waktu dua tahun ke depan.
Apabila dalam ketentuan waktu itu tidak menyelesaikan perbaikan, maka UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.
Menyikapi hal ini, Anggota Badan Legislasi DPR RI Fraksi Partai Golkar Christina Aryani menyatakan revisi UU 12/2011 merupakan jalan terbaik untuk mengadopsi metode penyusunan regulasi dengan model omnibus law.
sumber: cnnindonesia.com