TAUSIAH KEAGAMAAN
KUNCI KE-5: IKHLAS DALAM SEGALA PERBUATAN
Ahmad Thib Raya UIN Jakarta
Kota Mataram-Perumahan Permata Anggrek, Ahad subuh, 3 Oktober 2021
Ikhlas adalah salah satu dari dua belas kunci hidup yng sangat penting dalam kehidupan manusia. Ikhlas artinya menyucikan hati atau melepaskannya dari sifat-sifat pamer (riya’) dan sum’ah. Setiap orang yang melakukan amal, sekecil apa pun amal yang dilakukannya, harus disertai dengan hati yang ikhlas (tulus). Sebab, hanya amal yang dilakukan dengan tulus yang diterima oleh Allah swt. Amal yang dilakukan dengan riya dan sum’ah (pamer) tidak akan diterima oleh Allah swt.
Dengan ikhlas, seseorang dapat melakukan amal dengan sempurna. Ikhlas yang ada di dalam hatinya akan menyebabkan seseorang melakukan amal dengan sangat baik, tanpa ada pengawasan dari orang lain, dan tanpa paksaan dari orang lain. Ikhlas akan mewujudkan hasil amal yang optimal untuk dunia dan akhirat. Rasulullah menyatakan di dalam hadisnya: “Sesungguhnya amal harus dilakukan dengan niat yang ikhlas.”
Allah memerintahkan hamba-hamba untuk beribadah dan beramal dengan hatinya yang tulus dan ikhlas. Hal ini antara lain dinyatakan di dalam QS. al-Bayyinah [98]: 5: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus [jauh dari syirik dan kesesatan], dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.”
Rasulullah telah menyatakan dalam beberapa hadisnya tentang perlunya ikhlas dalam melakukan amal. Hal ini antara lain dapat dilihat di dalam hadis riwayat al-Nasa’i dari Abu Umamah al-Bahili: “Dari Abu Umamah, ia berkata: Seseorang telah datang kepada Rasulullah, lalu dia bertanya: Bagaimana pendapat Rasulullah tentang seseorang yang berperang yang menuntut pahala dan menyebut apa yang ada pada dirinya. Rasulullah menjawab: Tidak ada bagian (pahala) baginya sedikit pun, lalu Rasulullah mengulangi hal itu sebanyak tiga kali. Lalu Rasulullah berkata kepadanya: Tidak ada sedikit pun bagian baginya. Kemudian beliau berkata: Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal, kecuali amal itu dilakukan dengan ikhlas dan mengharapkan rida Allah swt. HR al-Nasa’i.”
sumber: facebook.com/ahmad.thibraya.1