WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA – Sosok Ferry Juliantono sudah tak asing lagi dalam percaturan politik nasional.
Aktivis yang dua kali ia ditangkap dan dijebloskan ke penjara, tahun 1993 dan 2008 itu miliki kiprah politiknya cukup fenomenal.
Masuk partai Gerindra pada tahun 2013, dan segera terpilih menjadi anggota DPR RI periode 2014-2019.
Hanya berselang setahun, Ferry Juliantono pun dipercaya sebagai Wakil Ketua Umum Prabowo Subianto sejak tahun 2015 sampai sekarang.
Dalam banyak acara talkshow di televisi ataupun medsos, kata-kata Ferry yang menohok kerap bikin panas kuping lawan bicaranya.
Dan, mungkin banyak orang belum tahu kalau ‘DNA’ Ferry Juliantono adalah aktivis.
Ia bergerak, turun ke jalan sejak mahasiswa di era Orde Baru menentang ketidakadilan atau keserakahan penguasa.
“Itu risiko perjuangan,” ujarnya pendek dalam video acara Bursah Interaktif yang ditayangkan di channel youtube berjudul ‘Ferry Juliantono: Saya Terpnggil Jadi Aktivis Karena Tidak Tahan dengan Ketidakadilan.’
Meski saat ini berada di jajaran elit Partai Gerindra, Ferry rupanya tak bisa menolak panggilannya sebagai aktivis.
Tapi, arena perjuangannya bukan lagi di bidang politik, melainkan bidang ekonomi.
Politik dipakainya untuk perjuangan keadilan ekonomi.
Ia terusik oleh ketidakadilan akibat dominasi sistem ekonomi kapitalisme liberalisme yang mencengkram kehidupan perekonomian nasional.
Politisi kelahiran 27 Juli 1967 itu mengaku saat ini bekerja di dua area, yaitu di level kebijakan negara dan di level implementasi.
“Saya ingin memanfaatkan posisi saya sebagai orang partai untuk bekerja di level elit, level suprastruktur kekuasaan supaya sistem ekonomi kita kembali ke Pasal 33 UUD 1945, khususnya ayat 1 sampai ayat 3 sebelum diamandemen,” ujar alumnus jurusan Akuntansi Universitas Padjadjaran itu.
Pada saat bersamaan, ia bekerja di dunia nyata. Ia terjun di gerakan ekonomi rakyat.
Ia memimpin asosiasi pedagang pasar dan menjadi ketua umum Induk Koperasi Pasar (Inkoppas).
Ia juga aktif mengurus Koperasi Unit Desa (KUD).
Bahkan, di Dewan Koperasi Indonesia, ia duduk sebagai Wakil Ketua Umum Nurdin Halid.
“Kerja saya sebagai aktivis membangun kekuatan infrastruktur di level rakyat bersama kekuatan rakyat. Saya tetap aktif bekerja di wadah gerakan koperasi sebagai wakil ketua umum Dekopin,” ujar Ferry.
“Kemudian saya juga aktif di asosiasi pedagang pasar,” kata Ferry, penyandang gelar Doktor Sosiologi dari Universitas Indonesia (UI).
Ia percaya bahwa sistem koperasi adalah sistem terbaik untuk menekan dampak buruk dari dominasi sistem kapitalisme liberalisme yang mencengkram sistem perkonomian nasional.
“Saya harus percaya sistem koperasi. Karena saya merasa bahwa koperasi inilah sebenarnya kekuatan ekonomi rakyat yang selama ini ditinggalkan oleh pemegang kekuasaan,” kata Fery.
Tuntaskan Agenda Reformasi
Badai pandemi Covid-19 rupanya membakar adrenalin Ferry. Ia gelisah melihat kondisi keterpurukan ekonomi rakyat sebagai dampak pandemi Covid-19.
“Sebagai aktivis, saya tidak mungkin diam melihat ketidakadilan masih mencolok di depan mata kita,” ujar Ferry.
“Inilah saatnya kita menuntaskan tugas sejarah yaitu demokrasi ekonomi yang sesungguhnya,” tambahnya.
Ferry menuturkan, setelah 23 tahun hidup di era Reformasi, reformasi politik berjalan relatif baik.
“Namun, demokratisasi bidang ekonomi terseok-seok. Penyebabnya karena usaha reformasi bidang ekonomi tidak atau kurang mengacu kuat pada jatidiri ekonomi Indonesia, yaitu Ekonomi Gotong-royong
berdasarkan Pasal 33 UUD 1945,” tegas Ferry.
Pasal 33 memang tidak diamandemen, kata Ferry.
“Namun secara praksis sistem ekonomi kita sangat liberal dan kapitalistik. Itulah yang menyebabkan semua indikator pembangunan kita diarahkan kepada satu tujuan yaitu pertumbuhan ekonomi,” jelas Ferry lagi.
Ferry tidak menampik bahwa pertumbuhan ekonomi penting bagi sebuah negara bangsa.
Namun, pertumbuhan yang tidak mempedulikan pemerataan justru melahirkan kemiskinan, rentan miskin, dan kesenjangan sosial.
“Kesetaraan dan keadilan sangat jarang kita lihat dan kita rasakan. Inilah sebenarnya yang ingin saya perjuangkan sebagai aktivis dan sebagai orang partai,” ungkap Ferry.
“Jadi, memang harus ada revolusi perubahan sistem ekonomi kita,” tambahnya.
Kekuasaan yang ada dijelaskan Ferry harus memberikan kesempatan yang sama kepada semua
anak bangsa, semua pelaku usaha yang berujung pada pemerataan pembangunan.
Aspek equality seharusnya menjadi indikator pembangunan nasional, bukan pertumbuhan.
“Kita harus tetap percaya bahwa partai politik adalah salah satu alat untuk memperjuangkan tujuan menyejahterakan rakyat. Namun kita juga tidak boleh hanya menggantungkan ide-ide perubahan hanya pada partai politik,” jelas Ferry.
“Tugas kita, apalagi sebagai aktivis, harus tetap menggunakan kekuatan sendiri tadi, yaitu kekuatan ekonomi rakyat, untuk bisa mengartikulasikan keinginan dan tujuan kita untuk kembali ke sistem ekonomi konstitusional,” tuturnya.
“Inilah saatnya kekuatan rakyat, tentu bersama partai politik, untuk mengambil porsi penting dalam perjuangan cita-cita perubahan,” tutup Ferry.
sumber: wartakota.tribunnews.com