TAUSIAH KEAGAMAAN
MUHASABAH TERHADAP HARTA-KEKAYAAN
Jakarta-Kediaman Matraman, Rabu subuh, 25 Agustus 2021
Ahmad Thib Raya-UIN Jakarta
Harta benda adalah anugerah Allah yang secara temporal dimiliki oleh manusia sepanjang harta itu ada padanya dan selama seseorang masih menjalani kehidupan di dunia. Harta dapat ditarik kembali oleh Allah dengan berbagai macam cara walaupun pemiliknya masih hidup, dan jika nanti pemiliknya sudah meninggal dunia dan kembali kepada Allah, maka harta yang dimilikinya itu akan ditinggalkannya. Harta itu adalah sarana dunia yang diberikan oleh Allah swt untuk dimanfaatkan dan digunakan selama hidup dengan sebaik-baiknya sesuai dengan tuntunan Allah.
Agama menuntun manusia untuk mendapatkan harta benda itu dengan jalan yang benar, menyimpan dan memilikinya dengan cara yang benar, dan membelanjakan dengan jalan yang benar.
Dalam kaitan dengan harta ini, seseorang harus ber-muhāsabah dengan merenungkan kembali:
a. Apakah harta yang dimiliki sekarang ini adalah harta yang diperoleh dengan jalan yang benar (halal), yang sesuai dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya, ataukah dengan jalan yang tidak benar (haram)? Apakah ia memperolehnya dari jalan yang halal atau jalan yang haram? Ketahuilah dan ingatlah bahwa harta itu secara substansi ada yang haram secara substantif, haram secara total, seperti daging babi. Biar kita mengusahakannya dengan jalan yang benar, maka tetap saja haram. Ada harta yang secara substantif halal, seperti uang, makanan, dan minuman yang dihalalkan Allah. Yang hal ini bisa menjadi haram kalau memperolehnya dengan cara yang haram, seperti hasil curian, hasil rampokan, hasil riba, dll.
b. Apakah harta yang dimilikinya itu sekarang ini sudah mencapai batas-batas tertentu yang mengharuskan ia menunaikan kewajiban-kewajibannya. Dari harta itu, sudahkah dikeluarkan zakatnya?
c. Apakah harta yang dimilikinya selama ini sudah disalurkannya dan dibelanjakan di jalan-jalan yang sesuai dengan tuntutan agama? Apakah harta itu sudah dimanfaatkan untuk hal-hal yang dibenarkan agama, ataukah harta itu digunakan untuk maksiat kepada Allah.
Ingatlah bahwa harta yang engkau miliki itu akan dapat memalingkan kamu dari mengingat Allah. Perhatikan ayat 1 dan 2 dari QS. Al-Takatsur [102], di mana Allah menyatakan: 1. Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, 2. sampai kamu masuk ke dalam kubur.
Hartamu adalah kemegahan dan kemewahanmu. Hartamu akan dapat memalingkan kamu dari jalan Allah, dapat membuat engkau lupa akan Allah. Tidak sedikit orang yang memiliki kemewahan dan harta telah melupakan Allah.
Peringatan Allah yang lain yang terdapat di dalam QS. Al-Munafiqun [63]: 9: “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.”
Harta yang engkau miliki dapat mengancammu menjadi orang-orang yang merugi di akhirat nanti, kalau hartamu memalingkanmu dan menjauhkanmu dari mengingat Allah. Demikian pula anak-anakmu, bisa menjadi ancaman bagimu. Bisa jadi anak-anakmu akan memalingkanmu dari mengingat Allah.
Oleh sebab itu, menjadi penting bagi kita untuk muhāsabah tentang harta yang kita miliki. Sejauh mana harta itu diperoleh dari jalan yang halal, sejauh mana harta itu tersimpan di tempat yang halal, dan sejauh mana harta itu telah dimanfaatkan di jalan yang benar.
sumber: facebook.com/ahmad.thibraya.1