TAUSIAH KEAGAMAAN
TUJUAN MUHASABAH
Jakarta-Kediaman Matraman, Sabtu subuh, 21 Agustus 2021
Ahmad Thib Raya-UIN Jakarta
Ada beberapa aspek penting yang terkait dengan muhāsabah di dalam hadis di atas, yaitu:
1. Orang yang kuat ialah orang yang dapat menundukkan hawa-nafsunya. Kekuatan yang ada di dalam diri seseorang akan dinilai dari kemampuan dan kekuatannya untuk mengendalikan hawa nafsunya. Hawa nafsu tidak mungkin dihilangkan, tetapi harus dikendalikan ke arah kebaikan dan kemaslahatan. Sebab, nafsulah yang mendorong setiap orang untuk melakukan apa saja, yang baik maupun yang buruk.
2. Orang yang kuat ialah orang yang beramal untuk kehidupannya sesudah mati. Kekuatan yang di dalam diri seseorang akan dinilai dari kemampuannya untuk beramal untuk mempersiapkan dirinya menghadapi kehidupan akhirat dengan mempersiapkan diri dan bekal untuk kehidupan di akhirat. Ingatlah, amalmu akan selalu mendampingi ketika berada di alam akhirat. Amal baikmu akan mendampingimu dalam kebahagiaan dan kesenangan dan amal burukmu akan selalu mendampingi dalam keburukan.
3. Orang yang lemah adalah orang mengikuti hawa nafsunya. Kelemahan yang ada di dalam diri seseorang akan dinilai dari ketidakmampuannya dan ketidakberdayaannya untuk mengendalikan hawa nafsunya. Dia tidak boleh membiarkan hawa nafsunya untuk melakukan apa saja yang sesuai dengan keinginannya tanpa menyaring dan memilihnya dengan amal yang baik. Membiarkan hawa nafsu mendorong Anda kepada keburukan akan menimbulkan hal buruk bagi dirimu.
4. Orang yang lemah adalah orang yang berangan-angan kepada Allah, selalu mau dekat dengan Allah, tetapi angan-angannya itu tidak terwujud karena tidak dibarengi dengan kemampuan untuk mengamalkan apa yang diperintahkan Allah dan meninggalkan apa yang dilarang Allah. Seharusnya dia berharap kepada Allah dengan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya.
5. Setiap orang harus menundukkan dirinya dengan cara-cara ber- muhāsabah atau menghitung-hitung (menilai) dirinya di dunia ini dengan mengukur sejauh mana amal saleh yang dilakukannya, sejauh mana pula amal buruk yang pernah dilakukannya. Dengan muhāsabah ia mampu memilih dan menilai amal yang telah dilakukannya. Amal salah yang masih kurang harus ditingkatkan dan amal buruk yang telah dilakukannya harus ditinggalkan dan dijauhkan dari dirinya. Muhāsabah di dunia ini perlu dilakukan oleh setiap orang sebelum ia dihitung (dinilai) di akhirat nanti. Sebab setiap orang akan dihisab di akhirat nanti.
6. Umar bin Khattab berpesan kepada kita semua: “Hitunglah (nilailah) diri kalian sebelum kalian dihitung (dinilai) di akhirat nanti. Semua amalmu yang besar maupun yang kecil, yang nyata maupun yang tersembunyi, yang disengaja maupun yang tidak disengaja, yang berat maupun yang ringan semuanya akan dihitung dan dinilai oleh Allah swt. Tidak ada satu pun amal yang luput dari penghitungan Allah di hari hisab nanti.
7. Salah satu bentuk muhāsabah itu berhias diri dengan akhlak yang mulia. Akhlak-akhlak yang mulia salah satu faktor yang mendukung amalmu di akhirat. Sebab, sesungguhnya penilaian di akhirat nanti akan menjadi ringan bagi seseorang yang terlebih dahulu menghitung (menilai) dirinya di dunia ini.
8. Maimun bin Mahran berkata bahwa: “Seorang hamba tidak dipandang bertakwa sehingga ia menghitung (menilai) dirinya sebagaimana ia menilai dan melihat kepada kawannya dari mana ia mendapat makanan dan pakaiannya.
sumber: facebook.com/ahmad.thibraya.1