Maluku, CNN Indonesia —
Tak banyak pemuda dari Indonesia bagian timur yang aktif berperan sejak masa pergerakan nasional hingga kemerdekaan. Namun bukan berarti minim jasa.
Pemuda dari Indonesia timur dalam pergerakan seringkali menjadi simbol atau representasi bahwa tidak hanya Jawa atau Sumatera yang ingin merdeka. Mereka menjadi spesial, tapi kerap terlupakan.
Salah satunya Abdul Muthalib Sangadji asal Maluku. Mengisi posisi penting dalam Sarekat Islam yang termasyhur, hingga terlibat dalam BPUPKI selaku peletak dasar Republik Indonesia.
Masa Kecil
AM Sangadji lahir di Desa Rohomoni, Pulau Haruku, Maluku Tengah, Provinsi Maluku pada 3 Juni 1889. Keturunan ningrat dari Abdul Wahab dan Sitti Pattisahusiwa.
Ayahnya seorang raja negeri Rohomoni. Sementara ibunya seorang putri dari keturunan raja Siri Sori Islam. Hidup di keluarga berkecukupan membuat Sangaji bisa memperoleh pendidikan Belanda.
Mulai mengenyam pendidikan dasar di Holandsch Inlandsche School (HIS). Lanjut ke Meer Uitgebreid Lager (MULO) dan Algemeene Middlebare School (AMS) saat remaja.
“Orangnya suka membikin gaduh dengan teman-teman sekelas seperti siswa keturunan Belanda dan China, karena sering anak-anak keturunan Belanda dan China selalu menekan siswa-siwsi pribumi,” ujar Kamil Mony Cicit Tokoh Kemerdekaan AM Sangadji kepada CNNIndonesia.com.
Sangadji ingin lanjut menimba ilmu ke Jawa. Namun tidak langsung direstui sang ayah, sehingga memutuskan untuk bekerja dengan pemerintah Hindia Belanda di Kota Saparua, Pulau Ambon, Maluku. Setelah itu, barulah di bisa hidup di Jawa usai ditempatkan di Surabaya.
Melanglang Buana
Pergaulan Sangadji terbilang luas. Pula memiliki ketertarikan untuk berorganisasi. Pada 16 Oktober 1905, Sangadji mulai bergabung dengan pedagang Islam pribumi dalam naungan Sarekat Dagang Islam.
Sangadji senang berada di sana. Dia mulai tertular dengan pandangan-pandangan baru. Terutama tentang kolonialisme dan masa depan Indonesia.
Beberapa kali terlibat dalam gerakan melawan kolonial. Tak heran jika dia termasuk orang yang diperhatikan oleh pemerintah Belanda. Terlebih, dia pun tercatat sebagai anggota Sarekat Islam yang manuvernya telah membuat khawatir pihak kolonialis.
Sangadji pun terlibat dalam Kongres Pemuda II di Jakarta pada 1928. Kongres itu sempat mencetuskan Sumpah Pemuda. Reputasinya kian dihormati. Terlebih, Sangadji pun terbilang pandai berpidato. Retorikanya bagus.
Pada 1932, Sangadji pulang ke kampung halaman. Dia turut membawa pandangan yang diperolehnya dari Jawa, yakni optimisme tentang masa depan Indonesia. Demi mencapainya, dia inisiatif bergerak di bidang pendidikan.
Bersama kakaknya, Abdoullah Sangadji, dia mendirikan pendidikan sekolah madrasah di kampung halaman. Dukungan dari masyarakat setempat mengalir deras. Namun, sekolah tak pernah sempat digunakan.
Itu karena Sangadji selalu diintai oleh pemerintah Belanda. Kala itu, Sangadji sudah termasuk pejabat teras Sarekat Islam, yakni pimpinan Lajnah Tanfidziyah menggantikan Hos Tjokroaminoto yang legendaris.
Sangadji tak patah semangat. Saat kunjungan kerja Desa Iha, Luhu, Ketapang, Olas dan ani Seram Bagian Barat, dia mendirikan sekolah Madrasah Ibtidaiyah (MI) pertama yang pertama.
“Di sana AM Sangadji sebagai tenaga guru namun sekolah yang sempat beroperasi selama beberapa tahun itu terhenti akibat minim tenaga guru,” tutur Mony cicit Sangadji.
Sejarawan Soedjono Hardjosoediro mengatakan AM Sangadji juga sempat mengoordinir buruh hingga sopir di masa pergerakan. Tempat tinggalnya di Jalan Molenvliet West nomor 100 (kini Jalan Gajah Mada) jadi markasnya.
“Di rumahnya tempat berkumpul anak-anak muda yang berprofesi sopir angkot, mereka diajari tentang keislaman,” kata Mony mengutip cerita Prof Soedjono.
Indonesia merdeka. Gegap gempita tampak di mana-mana. Tetapi daerah luar Jawa telat mengetahuinya. Sangadji tahu itu dan tak hanya diam.
Dia menyampaikan berita kemerdekaan dari Samarinda hingga Banjarmasin, Kalimantan Timur. Sangadji pun senantiasa mengibarkan bendera merah putih di wilayah yang dikunjunginya. Dia ingin segalanya menjadi terang, bahwa Indonesia telah merdeka.
Manuvernya tercium oleh Belanda yang kembali datang usai Jepang menyerah. Sangadji ditangkap lalu dipenjarakan di Banjarmasin. Tak jera, Sangadji ingin lanjut berjuang dengan hijrah ke Jawa. Sempat memimpin laskar Hizbullah di Yogyakarta.
Militansinya kala itu tak perlu diragukan meski telah berumur. Para pemuda pun angkat topi untuk dirinya. Sangadji wafat di Yogyakarta saat Belanda melancarkan Agresi Militer yang pertama.
Usul Pahlawan Nasional
Warga desa Rohomoni, Pulau Haruku, Maluku Tengah menemui Komisi IV DPRD Provinsi Maluku pada 9 Agustus 2021 lalu. Mereka mengusulkan mendiang Abdul Muthalib Sangadji menjadi Pahlawan Nasional.
Masyarakat yakin AM Sangadji berperan penting hingga Indonesia merdeka. Kontribusinya besar. Mulai dari bidang pendidikan hingga mencerahkan masyarakat umum tentang pentingnya masa depan Indonesia yang lebih baik.
“Jadi AM Sangadji tokoh Maluku yang mempunyai peran penting selama kemerdekaan, itu fakta dan sejarah,”ucap ketua Komisi IV DPRD Maluku, Samson Atapari, di gedung DPRD Maluku, Senin, (9/8).
Samson mengatakan Komisi IV sudah menerima usulan itu. Pula, telah disepakati, sehingga akan diusulkan kepada pemerintah pusat di Jakarta.
Sekda Pemprov Maluku Sadli Lei menuturkan bahwa Pemprov Maluku mendukung penuh pengusulan AM Sangadji sebagai tokoh Pahlawan Nasional. Dia berharap syarat-syarat administrasi bisa lekas rampung.
“Mudah-mudahan seluruh dokumen secepat rampung agar secepat diteruskan kepada kementerian terkait untuk diputuskan oleh Presiden Jokowi,” ucapnya.
sumber: cnnindonesia.com