Oleh: Yusuf Septian Nur Effendy (Mahasiswa Pasca Sarjana Program Sudi Komunikasi Penyiaran Islam UIN Sunan Kalijaga)
Belajar sejarah bagi sebagian orang merupakan sesuatu yang menyenangkan, bagi sebagian lagi yang lain mungkin merupakan aktifitas yang menjemukan. Pendapat itu tidak sepenuhnya dapat disalahkan, karena penyerapan ilmu kesejarahan yang dimulai dari bangku pendidikan, lebih ditekankan melalui literatur. Bukan pada studi lapangan dan media pembelajaran lain, seperti melalui video edukasi.
Di dalam sejarah dunia, banyak kita temui nama-nama besar yang memainkan peranan politik dan ahli dalam bidang pemikiran. Tidak perlu disebutkan, yang jelas pastinya para pembaca cukuplah mengetahui nama-nama besar yang dimaksud. Lebih mengerucut ke tanah air, sebenarnya pun kita mempunyai nama-nama yang tidak kalah besarnya. Baik dalam perpentasan politik dan pemikiran, terlebih pengaruhnya hingga di mata dunia. Sebab kondisi masa pra dan pasca kemerdekaan saat itu yang tidak bisa dihindari lekat dengan gejolak arus situasi perpolitikan global.
Semisal Soekarno yang menjalin banyak hubungan dengan Negara lain guna menguatkan posisi dan daya tawar Indonesia, ada juga bung Hatta yang berjuang melalui tulisan-tulisannya saat masih menimba ilmu di Belanda. Dua nama tokoh itu sudah barang pasti familiar di buku-buku pelajaran dan telinga anak-anak kita. Tapi sudahkah mereka mengetahui nama Hadji Oemar Said Tjokroaminoto? Atau yang akrab dipanggil H.O.S Tjokroaminoto.
Orang yang pernah dikagumi dan menjadi guru Soekarno inipun nyatanya tidak setenar nama muridnya. Meski, banyak nilai positif yang bisa di ambil dari beliau. Seperti gagasan, ketokohan, dan idealisme, terlebih khusus bagi umat Islam yang ada di Indonesia. World view pergerakan beliau yang Islamis namun tidak kaku tetapi sekaligus juga tegas, bisa menjadi alternatif referensi bagi mereka yang berkutat di ranah aktivisme. Terlebih di akui kita sekarang mengalami krisis figur tokoh umat yang mampu menyatukan berbagai lapisan dan kalangan.
Dari ranah gagasan, dalam karyanya yang berjudul, “Tafsir program asas dan tandhim Sarekat Islam”, dalam salah satu bagiannya beliau menulis “Kita berdaya upaya agar supaya dunia Islam tidak membesar-besarkan masalah perselisihan-perselisihan seperti yang ada pada dewasa ini, ialah perselisihan-perselisihan yang khilafiyah dan cuma mengenai perkara-perkara yang furu’ belaka. Oleh karena sudah ternyata perselisihan-perselisihan yang serupa itu menjadikan perpecahan dalam dunia Islam dan kurangnya kekuatan untuk menjalankan perkara yang wajib, dan lagi menyebabkan dunia Islam tidak sadar akan bencana dan bahaya yang mengancam Islam dan umat Islam”.
Lebih jauh lagi, beliau menegaskan, “Sungguh pun di negeri kita ada berpuluh-puluh juga orang Muslimin atau bangsa Islam, mereka itu belum sekali-kali menjadi suatu umat, jika tidak ada maksud dan tujuan bersama, tidak ada keperluan bersama, dan tidak merasa hidup bersama di dalam suatu ruh”.
Tulisan-tulisan beliau bernarasikan sebuah gagasan menyeru persatuan umat, jika dikaji lebih jauh persatuan umat tersebut akan kuat jikalau mampu menguasai bidang-bidang yang krusial seperti politik, pendidikan, dan ekonomi. Dalam implementasinya, diketahui beliau menjalin komunikasi dengan salah satu sosok penggagas Nahdlatul Ulama yaitu K.H. Wahab Hasbullah dan cukup akrab dengan pendiri Muhammadiyah, yaitu K.H. Ahmad Dahlan.
Melalui konteks ketokohan, banyak kita dapati tanggapan positif yang mengungkapkan tentang karakteristik beliau. Pada umumnya digambarkan sebagai sosok yang tegas serta berjiwa pemimpin, cerdas dalam mengolah informasi dan mengambil strategi demi kepentingan Islam juga bangsa. Hal itu yang menjadikan konon beliau begitu berwibawa di mata masyarakat Indonesia pada zamannya. Bahkan, di pandangan kaum imperialisme Belanda.
Buya Hamka semasa hidupnya pernah berkata, “badannya sedikit kurus, tetapi matanya bersinar. Kumisnya melentik ke atas. Badannya tegak dan sikapnya penuh keagungan sehingga walaupun beliau telah tidak memperdulikan lagi titel “Raden mas” yang tersunting di hadapan namanya, namun masuknya ke dalam majelis tetap membawa kebesaran. Sehingga segala wajah mesti tertunduk kepadanya, tunduk dengan penuh dengan cinta”. Jika kita tarik ke depan di masa sekarang ini, agaknya cukup sulit menemukan sosok pemimpin yang memahami berbagai persoalan seperti beliau. Tentu dengan tuntutan persoalan yang berbeda di masing-masing zamannya. Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika hingga sekarang ini kita belum melihat atau memunculkan kembali sosok yang memiliki karakteristik ketokohan yang kuat seperti beliau.
Kata Datuk Tan Malaka, “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki pemuda”, rasanya tepat jika kita sematkan kepada sosok H.O.S. Tjokroaminoto. Meskipun beliau tidak termasuk dalam kriteria usia pemuda, namun idealismenya akan penghibahan dirinya berjuang untuk Islam patut di acungi jempol. Juga baik jika ditanamkan di benak pikiran kaum pemuda Islam sekarang. Dengan idealisme dan keinginan beliau yang gigih ingin melepaskan umat dan bangsa dari jerat kaum imperialisme, beliau memutuskan mengundurkan diri dari pegawai pemerintahan Belanda yang penuh dengan kemapanan. Juga salah satu ujian beliau yang berat dikarenakan lebih memilih jalan juang itu adalah rela melepas istrinya yang sedang dalam kondisi hamil. Sebab sang mertua tidak menyetujui jalan perjuangan yang anak mantunya pilih.
Di era serba materialistik, bisa dikatakan sangat sedikit kita menjumpai para pemuda yang masih mempedulikan kepentingan umat dengan kriteria; open minded, inklusif, namun kuat dalam bernarasi dan berdialektika, serta tegas sekaligus bernafaskan Islam. Idealisme keikhlasan berjuang ikut hanyut bersama kepentingan ingin menjadi tenar, pragmatisme menjadi budaya, dan sebagai batu loncatan memasuki organisasi dengan background Islam untuk memperoleh jabatan. Di samping itu, diskusi ketokohan kaum kiri di tempat-tempat kopi rasanya lebih keren ketimbang memperbincangkan gagasan serta merefleksikan perjuangan bernafaskan Islam seperti H.O.S Tjokroaminoto. Meski hal tersebut juga sepenuhnya tidak dapat disalahkan.
Di penghujung tulisan, tidak bisa dipungkiri menghidupkan spirit perjuangan beliau dirasa penting dalam menjaga semangat perjuangan Islam di Indonesia, terlebih di kalangan pemuda yang telah dan sedang terpapar berbagai paham. Berbagai sektor krusial dalam hidup berbangsa ini mestilah dipegang mereka yang mewarisi ruh perjuangan beliau. Olehnya, saya merekomendasikan kepada para pimpinan pusat organisasi Islam baik di level mahasiswa dan pelajar agar spirit perjuangan beliau terhidupkan kembali dan memperbincangkan gagasannya menjadi budaya. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah meramu formula khusus dimana gagasan, ketokohan, dan idealisme aktivis yang identik dengan Sarekat Islam ini menjadi role model pada pembahasan topik training di masing-masing tubuh internal organisasi tersebut.
“Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepandai-pandai siasat”
sumber: suarasi.com