TAUSIAH KEAGAMAAN
AKHLAK YANG MULIA: MENGONTROL DIRI
ESENSI PENGOTROLAN DIRI
Ahmad Thib Raya
Jakarta-Matraman Dalam, Senen pagi, 26-4-2021
Harus ada keyakinan di dalam hati kita bahwa kita adalah manusia, yang diciptakan Allah, yang diberi tugas oleh Allah untuk melakukan amal yang baik, bahkan yang terbaik dan menjauhi amal buruk. Allah adalah Zat Yang Mahaagung, yang telah menciptakan manusia, dan yang memberi amanat kepada manusia untuk beribadah kepada-Nya dan berbuat, dan menjauhkan diri dari kemusyrikan dan hal-hal yang buruk.
Kita harus meyakini bahwa seluruh keadaan dalam kehidupan kita, pikiran, tutur kata, ucapan, sikap, tindakan, dan perbuatan yang dilakukan dan segala apa yang ada pada diri kita, semuanya berada dalam pengawasan Allah. Allah Maha Mengetahui apa yang kita pikirkan dan apa yang terlintas di dalam hati, Maha Mendengar segala yang kita ucapkan, Maha Melihat apa yang kita lakukan, Maha Menghitung segala yang kita perbuat. Tidak sedikit pun hal yang ada pada kita dan tidak ada sedikit pun ucapan yang kita ucapkan, dan perbuatan yang kita lakukan, kecuali selalu dilihat, diketahui, dan dicatat oleh Allah swt. Allah adalah pengawas kita.
Pengotrolan diri akan menyadarkan seseorang bahwa dirinya selalu dekat dengan Allah, dan Allah sangat dekat dengannya. Allah tidak pernah jauh darinya. Karena Allah tidak pernah jauh darinya, maka ia akan takut kepada-Nya. Pengontrolan diri akan membawa seseorang kepada kondisi hati yang selalu makrifat kepada Allah. Kalau makrifat kepada Allah sudah ada, maka ia akan mencintai Allah. Kalau dia sudah mencintai Allah, maka cintanya akan segera terbalas. Kalau cintanya sudah terbalas, maka Allah mencitainya. Kalau Allah sudah mencintainya, maka segala keinginannya akan dipenuhi oleh Allah. Di sinilah rahmat Allah akan selalu bersamanya kapan pun dan di manapun.
Bila hal ini sudah mendarah daging di dalam diri seseorang, mulai dari awal hingga akhir, maka setiap nafasnya yang terhembus akan mengarah kepada Allah, setiap niatnya ditujukan karena Allah, dan segala perbuatannya diridai-Nya, setiap tindakannya harus sesuai dengan keinginan-Nya. Kondisi ini akan berjalan terus selamanya sehingga pada saatnya nanti, jika Allah akan mencabut nyawanya, maka ia akan mengakhiri hidupnya denga predikat HUSNUL KHATIMAH (akhir yang baik bagi kehidupannya di dunia). Inilah yang mengantarkan dirinya menjadi manusia yang jiwanya tenang (al-nafs al-mutham’innah) ke dalam ramhat Allah dan rida-Nya.
sumber: facebook.com/ahmad.thibraya.12