Baru-baru ini kita dikejutkan atas laporan seorang perempuan kepada pihak KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) perihal anak hasil kawin sirinya dengan seorang profesor. Aduannya selama ini tidak dinafkahi suami sirinya sejak memiliki anak. Selama ini perempuan tersebut menjalin hubungan sembunyi-sembunyi tanpa diketahui pihak istri sah.
Ia “disembunyikan dalam apartemen” yang disediakan suami sirinya. Kelak laporan ini tidak dilanjutkan, entah karena suami sirinya sudah memberi uang atau memang perempuan ini menyadari bahwa hak-hak anak dalam perkawinan siri tidak dilindungi hukum negara.
Tentu kita masih ingat juga kasus penyanyi dangdut v pejabat era Orde Baru yang juga mengisahkan ikhwal yang sama, peristiwa hukum yang sama. Meski hasil tes DNA menunjukkan anak tersebut adalah anak biologis sang Pejabat, namun hak-hak materi apalagi hak waris untuk anak ini tidak kunjung diberikan, meski telah keluar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas pemberian hak-hak pada anak hasil hubungan kawin siri.
Sejak awal kasus ini bergulir dan terbuka di publik hingga meninggal dunia, suami siri ini tidak mengakui telah dilaksanakan perkawinan dan menolak mengaku sebagai bapak biologis anak yang dikandung.
MK mengeluarkan putusan uji materi atas Pasal 43 Ayat 1 UU No 1/1974 tentang Perkawinan yang diajukan pemohon Machica Mochtar, istri siri (alm) Moerdiono. Keputusan MK no.: 46/PUU-VIII/2010 tertanggal 17 Februari 2012 dikeluarkan oleh Moh. Mahfud MD sebagai Ketua MK dan para anggota majelis yaitu Achmad Sodiki, Harjono, Anwar Usman, M. Akil Mochtar, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva dan Muhammad Alim.
Dalam putusannya MK menyatakan, Pasal 43 Ayat 1 UU No 1/1974 yang menyebutkan, anak di luar nikah hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya bertentangan dengan UUD 1945 dan HAM.
MK memutuskan anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan ayah sepanjang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan.
Pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dilaksanakan dengan tes DNA. Tes DNA lantas menjadi salah satu alat bukti terkait hubungan darah antara seorang anak yang dilahirkan di luar pernikahan dan ayah biologisnya. Tes DNA digunakan sebagai dasar putusan untuk mengetahui hubungan darah seseorang.
Keberadaan anak hasil hubungan di luar nikah kini dilindungi hukum, khususnya terkait hubungan perdata dengan ayah biologis mereka. Ketentuan ini merupakan terobosan hukum yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi di dalam putusan uji materi atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Putusan MK ini memberi efek sosial dan hukum yang luar biasa besar di masyarakat. Anak di luar nikah kini memiliki kekuatan hukum untuk menuntut hak warisan, akta kelahiran, termasuk kewajiban pertanggungjawaban nafkah dari ayah biologisnya.
Putusan MK yang menggembirakan ternyata tidak terjadi pada putusan Mahkamah Agung (MA) yang menguatkan putusan pengadilan di bawahnya.
MA menolak seluruh gugatan Machica. “Dengan ditolaknya tuntutan pemohon kasasi mengenai pengesahan perkawinan di atas, maka tuntutan pemohon agar M. Iqbal Ramadhan dinyatakan sebagai anak yang sah, maka harus ditolak,” putus majelis dengan ketua majelis hakim agung Habiburrahman dan anggota Mukhtar Zamzami dan Abdul Manan pada 22 Juli 2014.
Mengutip Achmad Sodiki, Wakil Ketua MK saat putusan dikeluarkan: ”Jangan dilihat secara yuridis anak itu dari perkawinan sah atau tidak. Anak itu hakikinya terlahir suci. Dia tak pernah bisa memilih terlahir dalam perkawinan sah atau bukan. Maka dari itu, hak mereka harus juga dilindungi”.
Lantas apakah putusan MK dalam prakteknya dilaksanakan para bapak terhadap anak-anak hasil hubungan kawin siri dalam hal pertanggungjawaban pemberian nafkah materi atau hak waris?.
Ternyata tidak berimplikasi pada “kekuatan memaksa” untuk bertanggungjawab memberikan hak materi, apalagi hak waris. Negara ini belum memiliki peraturan hukum yang membuat jera para bapak yang menelantarkan anak biologisnya, belum ada hukuman badan sebagai ancaman atas tidak tunduknya pada putusan pengadilan.
Dari semua pemaparan di atas perihal hilangnya hak-hak anak hasil hubungan kawin siri, lantas mengapa kawin siri semakin marak dilakukan, bahkan jasa pelaksanaan kawin siri di media online semakin banyak ditawarkan?.
Saat ini para selebritas seolah bangga menyandang status perkawinan siri, sementara banyaknya kasus merugikan timbul di kemudian hari perihal perlindungan anak. Mengapa hal ini terjadi?. Silakan telaah kembali tulisan saya sebelumnya di Kompasiana perihal “Kawin Siri: Sebuah Fenomena Baru”.
sumber: kompasiana.com