Sudah sangat banyak jargon, simbol, dan slogan kepemimpinan pemuda yang kita dengar dinarasikan di ruang-ruang publik. Optimisme generasi emas 2045 terasa sangat meriah, menyusul puncak bonus demografi yang diprediksi akan mencapai puncak kulminasinya pada tahun 2030.
Hegemoni ini mengalami kesinambungan semangatnya dengan terpilihnya banyak kepala daerah di berbagai kota di Indonesia yang masih berusia cukup muda, tak terkecuali Kota Surabaya yang baru saja melantik walikotanya. Terlepas dari berbagai variabel kuasa dan pengaruh yang terjadi dalam proses kontestasi yang sangat dinamis, suasana itu semakin membawa angin segar terhadap narasi kepemudaan yang dibangun dalam mengambil alih pengaruh dan kepemimpinan di ruang-ruang kota.
Secara historis, Kota Surabaya sangat sulit untuk dilepaskan dari peran dan pengaruh pemuda dalam menuliskan sejarah republik. Presiden RI pertama Sukarno misalnya, lahir dan bertumbuhkembang di Surabaya. Ia dilahirkan di Lawang Seketeng, bersekolah di Hoogereburgerschool (HBS) Kebonrojo, dan kemudian belajar berorganisasi serta berlatih orasi di Kampung Peneleh.
Bisa dikatakan Kota Surabaya adalah tempat pembentukan gagasan Sukarno dalam mengimaginasikan masa depan bangsa Indonesia. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari kehadiran pendiri Sarekat Islam (SI) Tjokroaminoto yang memilih untuk tinggal dan mengoperasikan kegiatan di Surabaya. Dari tangan dinginnya, lahir tokoh-tokoh pemikir dan penggerak muda di jaman pergerakan yang sangat memengaruhi pembentukan kesadaran sejarah masa depan bangsa ini. Bisa dikatakan, Surabaya adalah kota yang sangat penting bagi persemaian gagasan-gagasan mewah para pemuda dalam mendirikan bangsa ini.
Oleh karena itu, kepemimpinan anak-anak muda yang menonjol di Kota Surabaya sebenarnya bukan hal baru. Pengaruh itu sudah ada sejak lama dalam rupa-rupa yang beragama. Hanya saja di era saat ini, dalam proses mencapai ruh kepemimpinan anak muda secara substansial, menyerahkan pilihan pengambilan kebijakan hanya kepada kepala daerah tentu saja sama sekali bukan pilihan.
Kita patut berbangga pada anak-anak muda yang berhasil terpilih menjadi pimpinan daerah. Namun bukan berarti lantas tugas untuk menjaga kota bersama-sama sudah selesai. Gagasan anak-anak muda dalam mengusulkan dan mengawal pelaksanaan ide-ide kreatif harus diorkestrasi sedemikian rupa agar masyarakat dapat senantiasa merasakan peta jalan pembangunan kota ke dengan sentuhan karakteristik khas anak muda.
Keberlanjutan Kota Masa Depan
Berbicara tentang anak-anak muda adalah berbicara tentang masa depan. Seth Stephen-Davidowitz (2017) melalui penelitian data algoritmik memaparkan bahwa terdapat tiga elemen penting yang harus dibangun untuk membangun kota yang berkelanjutan dan berorientasi masa depan, antara lain misalnya mendorong migrasi dan pluralisme, memberi prioritas pada seni budaya, dan mendorong keterbukaan dan subsidi universitas.
Cita-cita tersebut penting untuk diwujudkan karena memiliki korelasi sangat erat dengan tingkat kesejahteraan dan kebahagiaan warga kota. Kemudahan mengelaborasi gagasan-gagasan menuju kesana, baik secara teoretikal maupun praktikal dapat dicapai apabila anak-anak muda diberikan ruang untuk mengekspresikan keresahan dan mengaspirasikan kehendaknya melalui kanal-kanal yang tersedia.
Kanalisasi ini misalnya, sangat bisa dilakukan melalui maksimalisasi ruang publik yang “hidup” dan tidak statis. Taman-taman kota dapat ditambah perannya sebagai ruang perjumpaan gagasan, perpustakaan didorong menjadi etalase gagasan, dan pedestrian diarahkan untuk menjadi tempat penampilan seni, para mahasiswa dan pelajar yang ada di ruang-ruang formal dapat diajak untuk keluar dan menerapkan ilmunya sebagai bentuk pengabdian kreatif kepada masyarakat.
Tentu saja semua melalui pengorganisasian yang dikolaborasikan oleh pemerintah sebagai regulator dan elemen anak-anak muda sebagai subyek di dalamnya. Pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator, namun tetap menempatkan kebebasan gagasan para pihak sebagai kata kunci utamanya. Habermas menyebutnya sebagai ruang demokrasi deliberatif, dimana warga negara dapat terlibat dalam proses-proses diskursif praktif, pengarusutamaan opini, maupun penyaluran aspirasi secara bertanggung jawab tanpa mengalami intervensi dari kekuatan di luarnya.
Akhir-akhir ini, penelitian mengenai pentingnya melibatkan aktor non-pemerintah dalam pengambilan kebijakan makin banyak dipandang semakin urgen oleh para peneliti. Di dunia pendidikan misalnya, analisis kritis kebijakan (Critical Policy Analysis) banyak digunakan untuk menjelaskan mengenai pengaruh dan relevansi pengorganisasian aspirasi para pelajar dalam memengaruhi pengambilan kebijakan mengenai pendidikan (Educational Policy) di berbagai negara. Hal ini tak ada salahnya, sebab dalam memandang masa depan, tampak kian mustahil bagi kita untuk tidak mendorong demokratisasi di semua wilayah. Sebagai kota terbesar di Indonesia, Surabaya harus menjadi kota yang terus belajar untuk melibatkan seluruh warga kotanya.
Tugas Sejarah
Membangun kepemimpinan anak muda tidak boleh berhenti hanya pada terpilihnya kepala daerah muda. Tugas mengawal pembangunan kota melalui proses pengusulan, pengambilan, lalu pengawalan, adalah tugas sejarah yang harus dimaknai sebagai satu tarikan nafas dan sebaiknya melibatkan anak-anak muda dalam tiap prosesnya. Pun demikian anak-anak muda dalam simpul dan elemen komunitas maupun akademik tidak boleh berdiam diri dan merasa terpisah dari proses pengambilan kebijakan. Kebijakan publik bukan sekedar “urusan orang tua” atau sekedar urusan pemerintah semata.
Proses pembangunan jiwa raga kota adalah tugas gotong royong melalui pemberian ruang dialogis yang strategis dan konstruktif bagi anak-anak muda di ruang-ruang publik. Hal ini sejalan dengan tarikan nafas para pendiri bangsa (founding fathers) dalam membangun bangsa bersama-sama tanpa meninggalkan satu pun agensi sosialnya. Oleh karena itu, kepercayaan untuk anak-anak muda harus senantiasa diberikan secara bertahap di ruang-ruang kota, baik di lingkar kepemimpinan maupun di lingkar-lingkar komunitas. Itu hanya bisa tercapai jika kita semua setia pada visi masa depan Indonesia dan konsisten tidak ingin menjadikan narasi kepemimpinan muda hanya tinggal sebagai sebatas narasi.
Aryo Seno Bagaskoro
*)Penulis adalah Ketua DPC Taruna Merah Putih Surabaya
sumber: beritajatim.com