
Oleh Dudy Oskandar
(Jurnalis dan Peminat Sejarah Sumatera Selatan)
KORAN Teradjoe adalah mingguan di Palembang yang berinduk pada Sarekat Islam (SI) Cabang Palembang, walaupun begitu, Teradjoe menjadi salah satu contoh koran bagaimana mesti berjarak dan tak menjadi corong partai induknya. Situasi seperti ini memang problematis, apalagi pers yang tumbuh ini di tengah beragam kelompok dan organisasi pergerakan.
Berbicara tentang Koran Terajdoe dan SI cabang Palembang, kita juga tidak bisa melepaskan peran dari Raden Nangling merupakan salah satu orang yang merebut kemerdekaan Kota Palembang dari tangan penjajah.
Raden Nangling adalah cucu dari Pangeran Soetonelondro bin Susuhunan Husin Diauddin. Sedangkan Anak dari Raden Nangling ini yang bernama Raden Ahmad Najamuddin, tercatat dalam sejarah hilang dalam pertempuran 5 hari 5 malam tahun 1947 yang lalu di Palembang.
Seperti diketahui, pemakaman keluarga Raden Nangling berada di Jalan Kol Atmo Kecamatan Ilir Timur I Palembang, tepatnya di samping pos polisi di depan Pasar Cinde Palembang.
Walaupun sempat tak sejalan dengan SI Palembang yang pada masa awalnya cukup antipati terhadap kaum Tionghoa, Koran Teradjoe justru melenggang dengan merekrut peranakan ras kuning sebagai pemimpin biro untuk wilayah Sekajoe.
Kho Kim Soey namanya. Sedangkan agen-agen di daerah lainnya tetap dipimpin para pribumi, di antaranya adalah M Aboebakar untuk Pasar llir, A Endah Kajo di Pajakoemboeh, R Mohamed Akip di Tandjong Priok, serta Mahmoed untuk Soengai Liat.
Sayangnya, Teradjoe mulai lamban melaju saat memasuki penghujung Juli 1919.
Kala itu RM Zen tak bisa bertahan dan digantikan Raden Bratanata. Tak lama kemudian, datanglah dua redaktur lagi, KA Karim dan RHM Rasjid.
Kepergian Zen rupanya tak lantas membuat Teradjoe patah, malah semakin solid dengan datangnya beberapa tenaga baru itu. Jargonnya pun dipertegas dengan cetakan tebal: “Organ Boeat Kaoem jang Tertindis dan Jang Lemah!”.
Hari ke hari selanjutnya, isi, visi, dan misi Teradjoe bertambah lebih bernyali. Mingguan ini terus bertumbuh dengan artikel-artikel dan pengarang-pengarang yang semakin berkualitas lagi berpengaruh.
Teradjoe memasang logo yang bernuansa cukup sakral, berwujud sinar yang terpancar dari perpaduan kitab, keris pusaka, dan timbangan.
Sebuah penggabungan yang anggun sekaligus klenik, yang bisa ditafsirkan sebagai harmonisasi dari tiga unsur rakyat: agama, adat-budaya, serta keadilan.
Tak disangkal, Teradjoe adalah mustika negeri pers dari lembah Sungai Musi. ***
Sumber:
1. Seabad Pers Kebangsaan (1907-2007), Taufik Rahzen, Muhidin M Dahlan, dkk, Iboekoe IBOEKOE, Desember 2008
2. Kepialangan Politik dan Revolusi ; Palembang 1900-1950, Mestika Zed, LP3ES, Jakarta, April 2003
3. Sarekat Islam dan Pergerakan Politik di Palembang, Dra. Triana Wulandari, Muchtaruddin Ibrahim, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta , 2001
4. Republik Indonesia, Propinsi Sumatera Selatan, Kementrian Penerangan, SiliwangiJakarta, Agustus 1954
5. https://palembang.tribunnews.com/2014/06/08/tetap-pertahankan-pemakaman-raden-nangling
sumber: palpres.com