
Oleh Dudy Oskandar
(Jurnalis dan Peminat Sejarah Sumatera Selatan)
Kebangsaan adalah sebuah proses panjang dan melelahkan ihwal perumusan apa yang disebut identitas untuk pemuliaan manusia.
Karena itu kebangsaan kerap disandingkan dengan perjuangan mencipta kondisi tumbuhnya situasi kemanusiaan yang di kemudian hari memadat menjadi semangat baru bernegara, yakni nasionalisme.
Perjuangan itu mengambil banyak bentuk dan varian dalam skema perjuangan.
Sebelum abad 20, skema perjuangan dominan dilakukan lewat cara-cara peperangan dan adu pasukan di medan laga.
Namun dalam dasawarsa pertama abad 20, pola perjuangan memasuki titik perubahan yang cukup signifikan.
Titik perubahan itu dipicu oleh sebuah kesadaran baru tentang jalan cetak atau jalan pers.
Sekaligus jalan pers ini menjadi semacam pembeda dengan jalan nasionalisme yang ditempuh India yang bertumpu pada hirarki kasta atau nasionalisme Rusia yang memperjuangkan perbenturan kelas dan melahirkan komunisme atau Inggris yang lahir dari gilda dan pasar para borjuis.
Tesis bahwa bangunan kebangsaan kita dididirkan dari tradisi pers bisa dilihat dari fakta sejarah bahwa nyaris seluruh tokoh kunci pergerakan kebangsaan dan nasionalisme adalah tokoh pers. Dan posisi mereka dalam struktur pers umumnya pemimpin redaksi (hoofdredakteur) atau paling rendah adalah redaktur.
Seperti HOS Tjokroaminoto yang kita kenal sebagai salah satu “guru pergerakan” adalah pemimpin redaksi Oetoesan Hindia dan Sinar Djawa. “Tiga Serangkai” Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, dan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo menukangi De Express.
Walau tingkat pendidikan mayoritas rakyat masih rendah, para tokoh pergerakan itu sadar bahwa lembar pers bisa dijadikan medium mengampanyekan ide-ide nasionalisme selain mimbar-mimbar pertemuan.
Dengan pers pula pesan dan gagasan memiliki tingkat aksesibilitas dengan cakupan luas, terutama di kancah internasional. Selain itu, dan ini menjadi ciri dari masa percobaan ini, bahasa Indonesia memungkinkan dibentuk dan diberi rumah baru.
Yang menjadi soal kemudian kapan permulaan pertama yang dengan kesadaran penuh menjadikan pers sebagai alat pergerakan dan menjadi kuda tunggangan pembibitan semangat membuat rumah bagi bahasa dan usaha menyatukan kolektivitas tanah dan air dalam semesta kesadaran berbangsa.
Peritesis itu kemudian mempertemukan kita dengan sepotong nama Surat kabar “Teradjoe” yang diterbitkan Sarekat Islam (SI) Palembang.
Surat kabar yang mengusung tagline “Pers jang Djoedjoer Moestika Negeri,” Weekblad atau surat kabar mingguan “Teradjoe” edisi perdananya terbit pada Maret 1919. Alamat redaksi/ kantor di 17 Ilir Sajangweg (sekarang Pasar Sayangan) Palembang. Sebagai directeur adalah Raden Nangling, Presiden SI Palembang. R.M. Zen menjabat sebagai redacteur dan dibantu administrateur T.E. Zahidal Abidin.
Surat kabar “Teradjoe” terbit menjadi pers pergerakan yang profesional pada masanya. Beritanya bukan hanya berisi propaganda politik SI banyak juga tersaji berita pro rakyat dan kemajuan bangsa. Pada banner halaman “Teradjoe” memasang tulisan dengan huruf hitam tebal, “Organ boeat kaoem jang tertindas dan jang lemah.”
Koran Teradjoe adalah mingguan di Palembang yang berinduk pada Sarekat Islam (SI) Cabang Palembang, walaupun begitu, Teradjoe menjadi salah satu contoh bagaimana mesti berjarak dan tak menjadi corong partai induknya.
Situasi seperti ini memang problematis, apalagi pers yang tumbuh di tengah beragam kelompok dan organisasi pergerakan di Palembang saat itu.
Sikap kritis Surat kabar “Teradjoe” terlihat di kasus berikut: Di tanggal 19 April 1919 yang akan datang adalah hari besar: ulang tahun Pangeran Hendri, suami Ratu Wihelmina dari Belanda.
Untuk menyambut hari akbar itu, digelarlah persiapan besar-besaran oleh Kerajaan Belanda, juga di wilayah-wilayah jajahannya, termasuk Hindia Belanda alias Indonesia.
Suasana di Palembang pun tak jauh beda dengan daerah lain. Pemerintah kolonial setempat menginstruksikan perayaan yang tak kalah meriah. Pelbagai acara penghormatanpun dipersiapkan.
Dalam rangka itulah, terbit suratkabar Teradjoe di Palembang, sebagai kado kejutan perayaan ulangtahun Pangeran Hendri, suami Ratu Wihelmina dari Belanda tersebut, RM Zen, dedengkot Sarekat Islam (SI) Palembang, menyentakkan gegap-gempita yang sedang berlangsung itu dengan sebuah tulisan berjudul “Kaoem Proletariaat Gemetar !” yang dimuat di suratkabar Teradjoe.
Mau tidak mau. seantero Palembang yang sedang riuh harus menolehkan kepala, menyikapi, atau setidaknya hanya sekadar menoleh sambil lalu judul tersebut.
Dalam tulisannya, Zen mengecam sistem distribusi beras yang sentralistik pemerintah memberikan kuasa penuh kepada satu perusahaan, diduga Borneo Sumatra Handel Maatschappij (B.S.H.M), untuk mengurusi pengiriman beras ke Palembang.
Belum lagi ulah para saudagar beras yang semakin mematikan penghidupan rakyat kecil.
“Bagi kita, B. S. H. M. dengan saudagar-saudagar beras itoe, Tiadalah Ada Bezanja sedikitpoen. Pembatja poen ma’loem itoe bangsa asing.
Tetapi kita boekan tertarik oleh bangsa asing itoe, hanjalah kita mengetahoei, bahwa pedagang-pedagang beras itoe, baik B. S. H. M., baikpoen saudagar-saudagar yang lain itoe bangsa kaoemwang (kapitalist) belaka, jang selaloe mengoetamakan kantoeng atas rezeki, tegasnya jang tijada memikirkan orang ketjil, koeli-koeli (proletariers) asal dapat ija menoempoek -noempoekan kekajaannja……….. cuplikan tulisan di Teradjoe.
Protes yang dilancarkan Teradjoe dipicu kejadian beberapa bulan sebelumnya ketika perusahaan B.S.H.M mendatangkan beras beribu-ribu pikul ke Palembang.
Pemerintah Belanda saat itu berpendapat, kedatangan maskapai itu ke Palembang dapat mengatasi permasalahan harga beras yang semakin melonjak.
Namun, rakyat dan Teradjoe malah melihat hal itu justru “tidak akan mendatangkan kebahagiaan rakyat Palembang.
Kasus ini terus membesar dan berbuntut polemik yang berkepanjangan, dan inilah sebuah surprise dari rakyat Palembang dan Teradjoe di hari ulangtahun pangeran negeri Belanda tersebut. ***
Sumber:
1.Seabad Pers Kebangsaan (1907-2007), Taufik Rahzen, Muhidin M Dahlan, dkk, Iboekoe IBOEKOE, Desember 2008
2.Kepialangan Politik dan Revolusi ; Palembang 1900-1950, Mestika Zed, LP3ES, Jakarta, April 2003
3. Sarekat Islam dan Pergerakan Politik di Palembang, Dra. Triana Wulandari, Muchtaruddin Ibrahim, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta , 2001
4. Republik Indonesia, Propinsi Sumatera Selatan, Kementrian Penerangan, SiliwangiJakarta, Agustus 1954
sumber: palpres.com