TAUSIAH KEAGAMAAN
HAKIKAT IKHLAS (3)
APA SYARAT AGAR SESEORANG BISA IKHLAS (4)
Ahmad Thib Raya
Jakarta-Matraman, Jumat subuh, 20-11-2020
Manusia dengan dua fitrahnya, fitrah baik dan fitrah, yang dianugerahkan Allah kepadanya, tentu memiliki sifat-sifat baik dan sifat-sifat buruk. Sifat-sifat baik tidak akan pernah menyatu dengan sifat-sifat buruk. Ketika suatu ketika muncul sifat-sifat baik di dalam diri seseorang, maka sifat-sifat buruk itu pasti terpendam. Demikian pula sebaliknya, ketika sifat-sifat buruk muncul pada suatu waktu, maka sifat-sifat baik itu terpendam (hilang). Penyatuan dua kelompok sifat-sifat itu tidaklah munkin bagaikan menyatukan air dengan minyak.
Sifat ikhlas adalah salah sifat yang baik dan terpuji. Sifat ini harus diupayakan untuk ditanamkan di dalam diri setiap mukmin. Akan tetapi, menanamkan sifat ikhlas itu bukanklah persoalan yang mudah, karena sifat-sifat lain yang selalu menghhalaninya. Di antara sifat-sifat buruk itu ialah dua sifat buruk, yaitu sifat ingin dipuji oleh orang lain dan sifat tamak (rakus). Jika salah satu dari dua sifat itu muncul, maka jangan berharap sifat ikhlas itu akan muncul. Jika sifat ingin dipuji hidup subur di dalam jiwa seseorang, maka sifat ikhlas tidak akan mungkin ada/muncul. Demikian juga kalau sifat tamak, terus bersemayam di dalam jiwa seseorang, maka sifat ikhlas itu tidak akan pernah ada.
Oleh sebab itu, dua sifat buruk meng menghalangi lahir dan munculnya sifat ikhlas harus dihapuskan, harus digilas, dan harus disembelih. Mahmud al-Mishri mengatakan bahwa jika jiwa seseorang memanggilnya untuk ikhlas, hal yang pertama kali yang dilakukan adalah menjumpai ketamakan terlebih dahulu. Setelah itu sembelihlah ia dengan pisau keputuasaan. Lalu temuilah rasa ingin dipuji dan hadapilah ia dengan kezuhudan. Hal itu seseprti seseorang yang sangat merindukan kehidupan akhirat kemudian ia berzuhud di dunia. Jika seseorang berhasil menundukkan kedua sifat itu, kata Mahmud al-Mishri (Ensiklopedi Akhlak Nabi, hal. 44), maka menanam dan menghidupkan sifat ikhlas di dalam diri akan menjadi lebih mudah dan lebih ringan.
Untuk memudahkan seseorang menyembelih sifat tamak di dalam dirinya, ia harus dibekali dengan pengetahuan dan keyakinan, yaitu bahwa apa yang ada pada Tuhan, berupa ganjaran dan pahala jauh lebih bernilai dari sesuatu yang berbentuk materi yang ia gapai dalam ketamakannya. Yang ia gapai dari ketamakannnya itu tidak bernilai apa-apa di mata Tuhan. Ia bersifat semua dan sementara. Sedangkan sesuatu yang diperoleh dari Allah adalah sesuatu yang sangat berharga. Ia bersifat hakiki dan bersifat kekal, dan itu digapai sepanjang hidup di alam akhirat nanti.
Dalam upaya memudahkan seseorang untuk menyembelih/ menghilangkan sifat ingin dipuji, seseorang harus memiliki keyakinan bahwa tidak ada satu pun pujian yang dapat mendatangkan manfaat bagi dirinya, sebesar dan sebanyak apa pun pujian itu diberikan kepadanya. Seiring dengan itu, tidak ada satu pun celaan yang dapat memberikan madharat bagi dirinya sebanyak dan sebesar apa pun celaan itu dilontarkan kepadanya. Pujian manusia tidak akan ada manfaatnya, dan celaan manusia tidak ada madharatnya.
Tanamkanlah di dalam diri masing-masing sebuah keyakinan dengan sebuah semboyan: “Berzuhudlah (hindarkanlah dirimu) dari pujian siapa pun yang ditujukan kepadamu, karena ia tidak akan pernah mendatangkan manfaat, dan berzuhudlah pula dari celaan siapa pun yang ditujukan kepadamu karena ia tidak akan pernah mencelakakanmu. Rajinlah kamu untuk memuji Tuhanmu, Zat Yang Maha Terpuji yang karena izin-Nya engkau akan mendapatkan manfaat. Pujian-Mu terhadap-Nya akan membuat engkau mendapat pujian dari-Nya. Rajinlah kamu untuk tamak (rakus) untuk melakukan ibadah dan zikir kepada-Nya. Ketamakanmu kepada-Nya akan menambah kecintaan-Nya kepadamu.
Melenyapkan dua hal ini tidaklah mudah karena membutuhkan modal pengetahuan, modal kesabaran, dan modal keyakinan yang tinggi.
sumber: facebook.com/ahmad.thibraya.12