TAUSIAH KEAGAMAAN
AKHLAK NABI MUHAMMAD SAW (2)
Ahamad Thib Raya
Timika, Papua, Sabtu pagi, 31-10-2020
Salah satu sifat yang sangat terpuji yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah adalah sikapnya untuk mempersatukan umat. Pada tahun 606 Masehi telah terjadi kebakaran Ka’bah yang diikuti oleh banjir besar yang menyebabkan runtuhnya Ka’bah, termasuk Hajar Aswab yang ada di dinding Ka’bah. Ka’bah lalu dibangun kembali, dan pada saat akan diletakkan kembali Hajar Aswad itu di tempatnya, terjadi pertentangan yang seru di antara para kabilah. Setiap kabilah menyatakan bahwa merekalah yang paling berhak untuk meletakkan Hajar Aswad itu pada tempatnya. Peristiwa ini hampir saja menimbulkan pertumpahan darah di antara mereka. Untuk menentukan siapa yang berhak untuk meletakkan Hajar Aswad itu, lalu salah seorang di antara yang hadir itu, ABU UMAYYAH IBN AL-MUGHIRAH, yang dipandang sebagai yang tertua di antara mereka, mengusulkan agar orang yang pertama kali masuk melalui pintu Babussalam esok harinya yang dapat memutuskan siapa yang berhak meletakkan Hajar Aswad itu. Orang yang pertama kali masuk melalui pintu itu, ialah Muhammad, Rasulullah. Lalu beliau yang menjadi hakim dalam pertikaian itu. Beliau lalu membuka kain selempangnya lalu dihamparkannya di hadapan kerumunan orang itu sambil meminta kepada para pemimpin kabilah untuk memegang setiap ujung selempangnya itu. Beliau lalu memegang batu itu lalu meletakkannya di tengah-tengah kain selempang itu lalu memerintahkan mereka untuk mengangkat selempang itu menuju ke arah tempat Hajar Aswad. Sesampai di tempat itu, beliau lalu mengambilnya dan meletakkannya di tempatnya. Peristiwa ini terjadi ketika beliau berusia 35 tahun, lima tahun sebelum beliau diangkat menjadi Rasul dan peristiwa ini menambah kharisma dan penghormatan kaumnya kepada beliau.
Setelah berhijrah ke Madinah, sikapnya yang menonjol dalam mempersatukan umat juga telah ditunjukkan beliau, ketika beliau baru saja sampai di Madinah dalam perjalanan hijrah dari Mekkah. Rasulullah menyadari bahwa kaum yang dipimpinnya sangat heterogen terdiri atas berbagai kelompok yang berbeda, dan bahkan saling bermusuhan satu sama lainya sebelumnya. Bersama beliau dari Makkah adalah masyarakat muhajirin yang terdiri atas berbagai kabilah yang ada di Mekkah, sedangkan dari Madinah sendiri adalah kaum Anshar, yang menjadi pendukung dan penolong Rasulullah yang terdiri atas kabilah Aus dan Khajraj, yang sebelum kedatangan Rasulullah saling bermusuhan satu sama lain. Kaum yang bineka ini, jika tidak ditangani secara baik, maka boleh jadi akan terjadi pertikaian dan permusuhan di antara mereka.
Sesampainya di Madinah kegiatan pertama yang dilakukan untuk mempersatukan umat itu adalah membangun masjid sebagai wadah pembinaan rasa kebersamaan dan persatuan di antara kaum yang berasal dari kabilah-kabilah yang berbeda itu dan asal yang berbeda pula. Beliau bersama kaumnya membangun satu masjid, yang hingga sekarang terkenal dengan nama Masjid Quba’, yang hingga kini menjadi salah satu tempat yang diziarahi oleh para jamaah haji setiap tahunnya. Masjid ini tidak hanya dibangun untuk beribadah, tetapi juga menjadi tempat untuk menyelesaikan semua persoalan umat. Masjid yang dibangun oleh Rasulullah dan para sahabatnya atas dasar ketakwaan dan keimanan. Hal ini seperti yang digambarkan oleh Allah dalam Al-Quran, surat at-Taubah, 9: 108 yang berbunyi:
لَا تَقُمۡ فِيهِ أَبَدٗاۚ لَّمَسۡجِدٌ أُسِّسَ عَلَى ٱلتَّقۡوَىٰ مِنۡ أَوَّلِ يَوۡمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِۚ فِيهِ رِجَالٞ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُواْۚ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُطَّهِّرِينَ ١٠٨
108. Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar takwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.
Bukanlah masjid yang dibangun untuk tujuan merusak dan memecah belah persatuan umat, seperti yang digambarkan Allah dalam Al-Quran surat At-Taubah, 9: 107 yang berbunyi:
وَٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُواْ مَسۡجِدٗا ضِرَارٗا وَكُفۡرٗا وَتَفۡرِيقَۢا بَيۡنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ وَإِرۡصَادٗا لِّمَنۡ حَارَبَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ مِن قَبۡلُۚ وَلَيَحۡلِفُنَّ إِنۡ أَرَدۡنَآ إِلَّا ٱلۡحُسۡنَىٰۖ وَٱللَّهُ يَشۡهَدُ إِنَّهُمۡ لَكَٰذِبُونَ ١٠٧
107. Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudaratan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka Sesungguhnya bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain kebaikan”. Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).
Karena itu, Allah lalu melarang Rasulullah untuk melakukan salat di dalamnya, dalam ayat 108 surat at-Taubah, yang berbunyi: لا تقم فيه أبدا. (Janganlah engkau salat di dalamnya selama-lamanya).
Allah mempertanyakan tentang perbandingan orang yang membangun masjid berdasarkan takwa dan orang yang membangun masjid untuk tujuan memberi mudarat itu, seperti yang telah digambarkan oleh Allah dalam Al-Quran, surat at-Taubah, 9: 109 yang berbunyi:
أَفَمَنۡ أَسَّسَ بُنۡيَٰنَهُۥ عَلَىٰ تَقۡوَىٰ مِنَ ٱللَّهِ وَرِضۡوَٰنٍ خَيۡرٌ أَم مَّنۡ أَسَّسَ بُنۡيَٰنَهُۥ عَلَىٰ شَفَا جُرُفٍ هَارٖ فَٱنۡهَارَ بِهِۦ فِي نَارِ جَهَنَّمَۗ وَٱللَّهُ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّٰلِمِينَ ١٠٩
109. Maka apakah orang-orang yang mendirikan mesjidnya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaan-(Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahanam. Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
Dalam negara Madinah, di mana Rasulullah langsung menjadi kepala negaranya, upaya-upaya pembinaan persatuan dan kesatuan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. mendapat perhatian besar dari Rasulullah. Pembinaan yang dilakukan oleh Rasulullah tidak hanya intern orang-orang yang beriman yang terdiri atas berbagai suku dan kabilah itu, tetapi juga membina hubungan dan persatuan dengan masyarakat Madinah non-muslim, yang terdiri atas orang-orang Yahudi. Untuk itulah maka Rasulullah mengadakan perjanjian untuk mengikat antara masyarakat muslim dam masyarakat Yahudi, sebagai salah satu unsur yang tak terpisahkan dari warga negara pemerintahan Madinah yang dipimpin beliau.
Semoga bermanfaat.
sumber: facebook.com/ahmad.thibraya.12