Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, meminta Presiden dan DPR agar tidak segera memproses penggantian antar waktu (PAW) eks Komisioner KPU RI, Evi Novida Ginting Manik.
Menurut dia, pada saat ini Evi sedang menempuh jalur hukum berupa mengajukan pembatalan pemecatan dirinya sebagai Komisioner KPU RI periode 2017-2022 ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
“Presiden dan DPR jangan tergesa-gesa melakukan PAW. Kalau ternyata putusan PTUN berbeda dengan langkah yang dilakukan presiden (Evi Novida memenangkan gugatan di PTUN,-red)” dalam keterangannya, Kamis (25/6/2020).
Untuk itu, kata dia, demi kepastian hukum dan rasa keadilan penggugat sebaiknya proses PAW ditunda.
“Kalau penggugat menang di PTUN, mau tidak mau presiden harus menindaklanjuti dan melaksanakan putusan PTUN,” ujarnya.
Pada Rabu kemarin, PTUN Jakarta menyidangkan perkara gugatan mantan Komisioner KPU RI Evi Novida Ginting terhadap SK Pemberhentian dirinya oleh Presiden RI.
Agenda sidang adalah mendengarkan saksi dari pihak penggugat. Evi Novida Ginting bersama tim kuasa hukumnya menghadirkan langsung ke hadapan majelis hakim PTUN Jakarta yakni mantan Ketua Hakim MK Hamdan Zoelva, Panitera Mahkamah Konstitusi Zainal Arifin Hoesein, Pakar Hukum Administrasi Negara dari Universitas Indonesia Harsanto, Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari dan Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini.
Barisan saksi ahli yang dihadirkan penggugat Evi Novida Ginting diberi kesempatan oleh majelis hakim PTUN untuk menjelaskan secara komprehensif mengenai putusan DKPP Nomor 317 Tahun 2020 dan SK Presiden yang memberhentikan Evi Novida Ginting Manik dari jabatan Anggota KPU RI.
Mantan Ketua Hakim MK Hamdan Zoelva di muka persidangan menjelaskan bahwa putusan DKPP Nomor 317 tersebut secara jelas cacat hukum dan tidak sah.
Menurut dia, ada dua permasalahan besar dalam putusan tersebut, yaitu aduan sudah dicabut oleh pengadu dan keputusan diambil ketika majelis DKPP tidak memenuhi kuorum.
“Pertama aduan sudah dicabut kok di proses? Itu jadi problem. Kedua, peraturan DKPP menyebut kuorum itu miniml 5 (anggota majelis), sementara keputusan diambil hanya 4 orang, menurut hukum, itu batal. Karena peraturan DKPP itu adalah Undang-Undang bagi DKPP sehingga posisinya sangat tinggi. Jadi ketika kurang kuorumnya maka putusan itu sendiri tidak sah,” ujar Hamdan.
.Kepada majelis hakim, Hamdan menjelaskan PTUN bisa menjadikan keputusan DKPP tersebut sebagai objek materil meskipun objek gugatan dari Evi Novida Ginting Manik adalah SK Presiden atas pemberhentian tetap dirinya.
Pengadilan harus memeriksa dan menilai keseluruhan dari proses keluarnya putusan DKPP Nomor 317. Menurutnya, Presiden hanya bertindak administratif dengan melaksanakan rekomendasi DKPP.
Presiden tidak punya kewenangan untuk memeriksa secara materil putusan DKPP Nomor 317, melainkan hanya melaksanakan rekomendasi semata. Oleh karena itu menurut Hamdan, majelis hakim punya kuasa dan wewenang untuk memeriksa materi putusan DKPP Nomor 317 dengan tetap menjadikan SK Presiden sebagai objek formilnya.
“Karena seluruh proses persidangan di DKPP tidak sah secara hukum, maka seharusnya posisi Evi Novida Ginting Manik sebagai anggota KPU RI harus dipulihkan. Presiden tidak memliki kewenangan untuk melihat secara materil putusan DKPP. Dia hanya melihat rekomendasi dimuka (putusan). Jadi Presiden hanya melakukan tindakan administratif. Jadi dalam persidangan PTUN, putusan DKPP bisa dijadikan objek materil untuk diperiksa oleh pengadilan,” terangnya.
Dalam persidangan tersebut, hadir juga Ketua KPU RI Arief Budiman, Anggota KPU RI Ilham Saputra dan Viryan untuk menyaksikan jalannya persidangan mendengarkan keterangan saksi ahli penggugat.
Sebelumnya, Evi Novida Ginting, mengajukan gugatan pembatalan pemecatan dirinya sebagai Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI periode 2017-2022 ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Evi mengatakan upaya pengajuan gugatan itu dilayangkan pada Jumat 17 April 2020. Dia bersama tujuh orang kuasa hukum yang menamakan diri “Tim Advokasi Penegak Kehormatan Penyelenggara Pemilu, mendaftarkan gugatan ke PTUN Jakarta.
“Saya selaku penggugat dan tergugat Presiden Republik Indonesia. Gugatan saya tercatat Nomor 82/G/2020/PTUN.JKT,” kata Evi, dalam keterangannya, Sabtu (18/4/2020).
Dia meminta pertama, pihak PTUN menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34/P Tahun 2020 tanggal 23 Maret 2020 yang memberhentikan secara tidak hormat sebagai anggota KPU masa jabatan 2017-2022.
Kedua, meminta pihak PTUN mewajibkan Presiden untuk mencabut Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34/P Tahun 2020 tanggal 23 Maret 2020 yang memberhentikan secara tidak hormat sebagai anggota KPU masa jabatan 2017-2022.
Ketiga, mewajibkan Presiden untuk merahabilitasi nama baik dan memulihkan kedudukan dia sebagai anggota KPU masa jabatan 2017-2022 seperti semula sebelum diberhentikan.
“Saya meminta PTUN membatalkan Keputusan Presiden, karena keputusan tersebut didasarkan pada Putusan DKPP 317/2019 mengandung kekurangan yuridis essential yang sempurna dan bertabur cacat yuridis yang tidak bisa ditoleransi dari segi apapun,” ujarnya.
Meskipun, kata dia, yang mengandung kekurangan yuridis essential putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 tanggal 18 Maret 2020., sayangnya menurut Sistem Hukum Indonesia yang menanggung akibatnya adalah Keputusan Presiden 34/P Tahun 2020, yang harus dijadikan objek gugatan dan dimintakan pembatalan kepada Pengadilan.
Menurut dia, kekurangan yuridis yang essential dari Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 tanggal 18 Maret 2020, karena mengkhianati tujuan dari putusan DKPP, yaitu untuk menyelesaikan perselisihan etika antara Pengadu dan Teradu sebagaimana diatur Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Serta, karena dia menilai DKPP menghkianati prinsip keramat penyelesaian perselisihan, yaitu asas “audi et alteram pertern” atau kewajiban menggelar sidang pemeriksaan perselisihan demi mendengar semua pihak yang berselisih dan berkepentingan.
“Semoga PTUN memberikan putusan yang adil dan kedepannya dapat dijadikan sumber hukum guna menentukan batas kewenangan DKPP terhadap kemandirian KPU,” tambahnya.
Sebelumnya, pihak DKPP menjatuhkan saksi peringatan keras terakhir kepada Teradu I Arief Budiman selaku Ketua merangkap Anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia, Teradu II Pramono Ubaid Tanthowi, Teradu IV Ilham Saputra, Teradu V Viryan, dan Teradu VI Hasyim Asy’ari masing-masing selaku Anggota KPU RI.
Selain itu, DKPP menjatuhkan sanksi Pemberhentian Tetap kepada Teradu VII Evi Novida Ginting Manik selaku Anggota KPU RI.
Lalu, menjatuhkan sanksi Peringatan kepada Teradu VIII Ramdan selaku Ketua merangkap Anggota KPU Provinsi Kalimantan Barat, Teradu IX Erwin Irawan, Teradu X Mujiyo, dan Teradu XI Zainab masing-masing selaku Anggota KPU Provinsi Kalimantan Barat terhitung sejak dibacakannya Putusan ini.
Putusan itu diputuskan dalam rapat pleno oleh 4 (empat) Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, yakni Muhammad selaku Plt. Ketua merangkap Anggota, Alfitra Salam, Teguh Prasetyo, dan Ida Budhiati
Pengadu pada perkara ini adalah Hendri Makaluasc, calon anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat.
Pihak DKPP menyatakan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Arief Budiman dan enam komisioner yang lain diduga melakukan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu.
Arief Budiman cs mengintervensi jajaran KPU Provinsi Kalimantan Barat yang dikomandani Ramdan dalam penetapan hasil perolehan suara dan penetapan Calon Terpilih Anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat.
Lalu, Sebelumnya, pihak DKPP menjatuhkan saksi peringatan keras terakhir kepada Teradu I Arief Budiman selaku Ketua merangkap Anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia, Teradu II Pramono Ubaid Tanthowi, Teradu IV Ilham Saputra, Teradu V Viryan, dan Teradu VI Hasyim Asy’ari masing-masing selaku Anggota KPU RI.
Selain itu, DKPP menjatuhkan sanksi Pemberhentian Tetap kepada Teradu VII Evi Novida Ginting Manik selaku Anggota KPU RI.
Lalu, Evi Novida Ginting diberhentikan secara tidak hormat dari jabatan sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI periode 2017-2020.
Hal itu tertuang di Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34/P Tahun 2020 tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Masa Jabatan Tahun 2017-2020.
Keputusan Presiden itu ditetapkan di Jakarta pada 23 Maret 2020. Keputusan Presiden itu ditandatangani Presiden Joko Widodo.
“Memutuskan menetapkan Keputusan Presiden Tentang Pemberhentian Dengan Tidak Hormat Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan 2017-2020,” bunyi putusan itu, seperti yang diterima, Kamis (26/3/2020).
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Hendra Gunawan
sumber: tribunnews.com