Jember (beritajatim.com) – Soekarno lahir di Surabaya pada 6 Juni 1921 dari pasangan Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Rai Srimben. Ia dilahirkan di saat fajar menyingsing. Awalnya, Soekemi menamakan sang anak ‘Kusno’. Namun Kusno kecil sakit-sakitan, dan Soekemi memutuskan mengubah nama sang anak menjadi Soekarno.
Dalam bukunya mengenai sang presiden itu, wartawati Cindy Adams menuliskan betapa bangganya Soekarno dengan fakta kelahiran dirinya pada saat fajar. “Kita orang Jawa mempunyai suatu kepercayaan, bahwa orang yang dilahirkan di saat matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan terlebih dulu,” kata Soekarno.
“Bersamaan dengan kelahiranku menyingsinglah fajar dari suatu hari yang baru dan menyingsing pulalah fajar dari satu abad yang baru. Karena aku dilahirkan di tahun 1901. Bagi bangsa Indonesia abad ke sembilan belas merupakan zaman yang gelap. Sedangkan zaman sekarang baginya adalah zaman yang terang-benderang dalam menaiknya pasang revolusi kemanusiaan,” kata Soekarno.
Soekarno menggambarkan kehidupan masa kecilnya dalam kemiskinan. Kisah kemiskinannya di masa kecil, seolah meneguhkan, bahwa dia bagian dari kaum proletar, bukan borjuis, walaupun sang ayah adalah seorang raden. Gaji ayahnya yang bekerja pada pemerintahan kolonial Belanda hanya f 25 sebulan. Setelah dikurangi uang sewa rumah di Jalan Pahlawan 88, Surabaya, keluarga itu hanya punya f15. “Aku tidak mempunyai sepatu. Aku mandi tidak dalam air yang keluar dari kran. Aku tidak mengenal sendok dan garpu,” katanya.
Saat pindah ke Mojokerto, sebuah kota sekitar 30 kilometer dari Surabaya, kemiskinan belum juga beranjak dari keluarga Soekemi. “Kami tinggal di daerah yang melarat dan keadaan tetangga-tetangga kami tidak berbeda dengan keadaan sekitar itu sendiri,” kata Soekarno.
Namun Soekarno masih beruntung bisa bersekolah dan mengenyam ilmu politik dalam usia muda. Ini seperti menegaskan Takdir kepemimpinan Soekarno. Dia mulai mengenal pemikiran-pemikiran politik di rumah Ketua Sarekat Islam Haji Oemar Said Tjokroaminoto, di kawasan Peneleh, pada usia baru 14 tahun. Kala itu ia bersekolah di Hoogere Burger School.
Soekarno sengaja dititipkan oleh sang ayah kepada Tjokroaminoto. “Tjokro adalah pemimpin politik dari orang Jawa. Sungguhpun engkau akan mendapat pendidikan Belanda, aku tidak ingin darah dagingku menjadi kebarat-baratan. Karena itu kau kukirim kepada Tjokro, orang yang dijuluki oleh Belanda sebagai ‘Raja Jawa yang tidak dinobatkan,” kata Soekemi kepada anaknya.
Soekarno menyebut Tjokroaminoto gurunya. Dari Tjokro, ia menerima bahan-bahan bacaan yang kelak membentuk pemikirannya. Ia menyaksikan langsung para aktivis Sarekat Islam berdiskusi di Peneleh. “Aku menghirup lebih banyak lagi persoalan politik di rumah Pak Tjokro, dapur daripada nasionalisme,” katanya.
Selain memberikan sang anak, Oetari, untuk dinikahi Soekarno, Tjokroaminoto juga memberikan panggung bagi anak muda itu. Dalam usia 20 tahun, Soekarno sudah diminta menulis secara teratur di koran milik Sarekat Islam, Oetoesan Hindia. Tjokroaminoto adalah salah satu ilham bagi Soekarno untuk menyatukan tiga ideologi besar: Islam, Marxisme, dan nasionalisme. Tjokroaminoto adalah guru besar bagi tiga aliran gerakan di Indonesia itu.
Medio 1921, Soekarno diterima di Technische Hooge School (sekarang Institut Teknologi Bandung) jurusan Teknik Sipil. Selepas dari kuliah, ia aktif di dunia pergerakan. Tanggal 4 Juni 1927, ia mendirikan Partai Nasional Indonesia di Bandung. Tujuan pendirian partai ini cukup terang-benderang jika dilihat dari slogannya: ‘Merdeka sekarang juga!’. Ia ditangkap oleh Belanda karena dianggap makar.
Belakangan urusan ditangkap oleh Belanda menjadi ‘makanan sehari-hari’ bagi Soekarno. Tahun 1934, ia dibuang ke Ende, Flores. Tahun 1938, ia dipindahkan ke Bengkulu. Ia kembali ke Jawa saat Jepang berkuasa. Dan 17 Agustus 1945, bersama Mohammad Hatta, ia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dua orang ini kelak dijuluki ‘Dwitunggal’: Soekarno menjadi presiden, Hatta menjadi wakil. [wir/kun]
sumber: beritajatim.com