Oleh: Zelig Ilham Hamka
Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan salah satu lembaga peradilan yang merdeka untuk menjalankan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Dibentuk dari semangat reformasi yang dituangkan dalam amandemen ketiga Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) pada tahun 2001, MK diberikan kewenangan secara spesifik dan fundamental untuk memastikan nilai-nilai konstitusi Indonesia dilaksanakan secara bertanggung jawab oleh pemerintah dan seluruh elemen bangsa.
Salah satu bentuk pelaksanaan dari fungsi tersebut tertuang dalam kewenangan konstitusional MK, yaitu mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang (UU) terhadap UUD. Feri Amsari dalam bukunya Perubahan UUD 1945 (2013) menyatakan bahwa, kewenangan pengujian UU yang melekat pada MK menimbulkan kewenangan yang mutatis mutandis untuk menafsirkan konstitusi itu sendiri, oleh sebab itu sering dinyatakan bahwa Constitutional Court adalah the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution.
Mahfud MD dalam bukunya Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi isu (2012) menjelaskan bahwa, pengujian UU terhadap UUD oleh MK biasa disebut constitutional review, sedangkan istilah judicial review digunakan untuk pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Kewenangan Mahkamah Agung). Penggunaan istilah constitutional review dipandang lebih tepat untuk menggambarkan fungsi pengujian UU yang melekat pada MK, mengingat tujuan hakiki dari kewenangan tersebut adalah untuk menguji konstitusionalitas suatu UU, yang mana batu uji nya dalam pengujian materil adalah konstitusi atau UUD NRI 1945 itu sendiri dan dalam pengujian formil diperiksa dan diputuskan berdasar pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan (Pasal 51 A ayat (3) UU Nomor 8 Tahun 2011 Tentang MK). Di sisi lain, tidak pula salah menggunakan istilah judicial review untuk menyebutkan pengujian peraturan perundang-undangan secara umum, hal ini dalam artian pengujian yang dilakukan oleh lembaga yudisial.
Constitutional review merupakan instrumen yang sangat penting dalam negara hukum. Secara khusus Mahfud MD dalam bukunya Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi (2010) menyatakan, secara historis pengujian UU terhadap konstitusi pertama kali terjadi di Supreme Court Amerika Serikat pada Tahun 1803 yang dilakukan oleh Chief Justice John Marshal. Ada 3 alasan yang mendasari John Marshal untuk melakukan constitutional review, meskipun konstitusi Amerika Serikat tidak memberikan hak untuk melakukan hal tersebut secara eksplisit pada saat itu.
Ketiga alasan itu adalah, pertama hakim bersumpah untuk menjunjung tinggi konstitusi, sehingga jika ada peraturan yang bertentangan dengan konstitusi ia harus melakukan uji materi.
Kedua, konstitusi sebagai the supreme law of the land, sehingga harus ada pengujian terhadap peraturan yang ada di bawahnya agar isi the supreme law itu tidak dilangkahi.
Ketiga, hakim tidak boleh menolak perkara, sehingga kalau ada yang mengajukan permintaan judicial review haruslah dipenuhi. Setelah melakukan penelitian tentang politik hukum Indonesia, Mahfud menemukan bahwa selain ketiga alasan tersebut, ada satu alasan lagi yakni karena hukum merupakan produk politik.
Pengujian konstitusionalitas dilakukan agar isi maupun prosedur pembuatan suatu UU benar secara hukum dan bukan hanya sebagai alat justifikasi kehendak pemegang kekuasaan politik belaka, hal ini penting dilakukan karena UU merupakan kristalisasi atau formalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaing karena hegemoni ataupun suatu kompromi.
Berdasar pada urgensi constitutional review tersebut, maka tidak mengherankan begitu banyak pengujian UU yang diadili dan diputuskan oleh MK. Merujuk data rekapiitulasi perkara pengujian UU yang diakses melalui situs resmi MK (https://mkri.id/index.php?page=web.RekapPUU , diunduh pada 16 Mei 2020), terhitung sejak berdirinya MK Tahun 2003 hingga Bulan Mei Tahun 2020, telah terdapat 2056 kali pengujian UU, adapun perkara yang diregistrasi oleh MK berjumlah 1353 perkara, dan dari keseluruhan perkara pengujian UU di MK telah menghasilkan 1307 putusan.
Secara yuridis merujuk pada Pasal 56 dan 57 UU Nomor 8 Tahun 2011 juncto UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang MK, amar putusan MK dalam memutus perkara pengujian UU baik pengujian formil ataupun pengujian materil dibagi menjadi tiga jenis amar putusan yaitu permohonan tidak dapat diterima, permohonan dikabulkan dan permohonan ditolak. Bahkan dalam hal permohonan dikabulkan, secara eksplisit Pasal 57 ayat (2a) butir a menyatakan, putusan MK tidak memuat amar selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) dan (2), yaitu, menyatakatan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan atau bagian UU bertentangan dengan UUD NRI 1945 (materil) atau menyatakan bahwa pembentukan UU dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD NRI 1945 (formil).
Namun dalam pelaksanaannya ada pula perkembangan dalam amar putusan MK di luar dari ketentuan Pasal 56 dan 57 UU MK tersebut, seperti putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), putusan tidak konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutionally), putusan yang melakukan penundaan keberlakukan putusan, dan putusan yang memuat norma di dalamnya.
Perkembangan putusan MK dalam dinamika ketatanegaraan dewasa ini banyak menuai pro dan kontra, tidak hanya karena MK berani membuat putusan di luar dari ketentuan yang ada, namun langkah MK yang ditampilkan melalui putusannya acap kali dianggap menciderai semangat awal berdirinya MK itu sendiri. Misalnya saja putusan MK yang merumuskan sebuah norma didalamnya, hal ini sering dikatakan bahwa MK telah berubah menjadi lembaga yang melaksanakan fungsi positive legislature (pembentuk norma) dan mengakuisisi fungsi lembaga negara lainnya, hal ini secara jelas bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 57 ayat (2a) butir c UU MK yang menyebutkan bahwa, putusan MK tidak memuat rumusan norma sebagai pengganti norma dari UU yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945.
Menjawab persoalan tersebut, Hamdan Zoelva sebagai mantan Hakim MK dan Ketua MK Tahun 2013-2015 sebagaimana dikutip Muhammad Junaidi dalam bukunya Hukum Konstitusi Pandangan dan Gagasan Negara Hukum (2018) menyebutkan, pergeseran MK yang seolah-olah menjadi positive legislature ini disebabkan karena adanya kebutuhan untuk menyeimbangkan secara proposional anatara kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Langkah demikian dilakukan oleh MK untuk menghindari kekosongan hukum jika MK hanya membatalkan suatu norma UU.
Pendapat Hamdan Zoelva tersebut secara jelas bertolak belakang dengan pemikiran Mahfud MD yang juga merupakan mantan Hakim MK dan Ketua MK Tahun 2009-2013, dalam bukunya Politik Hukum di Indonesia (2012), Mahfud mengungkapkan bahwa dalam membuat putusan, MK tidak boleh memuat isi yang bersifat mengatur, MK hanya boleh menyatakan sebuah UU atau sebagian isinya batal karena bertentangan dengan bagain tertentu di dalam UUD, betapapun MK mempunyai pemikiran yang baik untuk mengatur sebagai alternatif atas norma yang dibatalkannya, maka hal itu tetap tidak boleh dilakukan karena urusan mengatur itu adalah hak lembaga legislatif. Pendapat ini menurut Mahfud sejalan dengan latar belakang sejarah pembentukan MK yang tertuang dalam risalah-risalah persidangan Panitia Ad-Hoc Majelis Permusyawaratan Rakyat (PAH MPR) yang membahas mengenai kekuasaan kehakiman disaat melakukan amandemen UUD.
Perdebatan terkait kewenangan constitutional review yang dianggap telah menjadikan MK sebagai lembaga superbody tidak hanya berkutat pada amar putusan yang di luar ketentuan dalam UU MK semata, ada pula permasalahan lain mengenai kewenangan konstitutional MK, yaitu MK menerima pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU). Akhir-akhir ini persoalan pengujian PERPPU kembali diperbincangkan setelah diajukannya constitutional review PERPPU Nomor 1 Tahun 2020 oleh beberapa kelompok masyarakat. Perdebatan mengenai boleh atau tidaknya MK melakukan constitutional review suatu PERPPU bukan pula tidak berdasar, hal ini mengingat kewenangan MK yang diatur dalam Pasal 24 C UUD NRI 1945 tidak menyebutkan mengenai pengujian PERPPU, begitupun hal nya dengan UU MK sebagai turunan dari Pasal 24 C yang juga tidak menyebutkan kewenangan untuk melakukan pengujian PERPPU. Di sisi lain, logika hukum yang menyatakan MK dapat menguji PERPPU sebagaimana dituangkan MK dalam putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 dapatlah diterima karena benar adanya secara formil PERPPU setingkat dengan UU dan akibat hukum dikeluarkannya PERPPU sama dengan UU. Namun pertanyaan selanjutnya adalah, apakah cukup suatu kewenangan dilahirkan dari suatu putusan, yang terlebih lagi lahir dari putusan MK itu sendiri.
Pelbagai persoalan dalam kewenangan constitutional review MK yang telah dijabarkan tersebut, mulai dari permasalahan putusan yang terkesan mengangkangi ketentuan regulasi yang ada hingga persoalan pengujian PERPPU yang dilahirkan dari putusan MK haruslah segera diselesaikan.
Tepat kiranya bahwa kewenangan MK dalam pengujian UU yang pada pelaksanaannya dianggap melebihi kewenangan yuridis yang telah ditetapkan, agar lebih ditegaskan dalam revisi UU MK sebagaimana telah diwacanakan oleh lembaga legislatif. Legal drafter harus memanfaatkan momentum perubahan UU MK untuk menyelsaikan permasalahan yang ada dan tidak hanya memfokuskan pada perubahan ketentuan-ketentuan formalitas belaka. Pilihannya adalah, berikan legitimasi kepada MK untuk melakukan atau pun untuk tidak melakukan hal-hal yang belum diatur sebelumnya dalam UU MK, mulai dari beragam putusan dalam pengujian UU hingga pada kewenangan untuk melakukan pengujian terhadap PERPPU. Hal ini dipandang perlu untuk dilakukan dalam semangat membenahi MK, karena harus disadari pentingnya constitutional review dalam negara hukum Indonesia dan di sisi lain jangan sampai MK dianggap sebagai lembaga adikuasa sehingga berhak melakukan hal-hal diluar dari ketentuan yang ada.
sumber: pedomanbengkulu.com