
Oleh Dudy Oskandar
(Jurnalis dan Peminat Sejarah Sumatera Selatan)
Perlawanan-perlawanan Lain di Wilayah Keresidenan Palembang
Perlawanan di Muara Tulung Selapan (1916)
Sarekat Islam mulai masuk wilayah Palembang pada tahun 1911, dibawa oleh dua orang tokoh Sarekat Islam yaitu RM. Tirto Adisuryo dan R. Gunawan.
Dalam waktu singkat pengaruh Sarekat Islam telah tersebar di kalangan masyarakat di wilayah Keresidenan Palembang, bahkan masyarakat menganggap Sarekat Islam sebagai “Juru Selamat” terhadap segala macam bentuk penindasan pemerintah kolonial.
Pada tahun 1915 di Keresidenan Palembang mulai berdiri cabang Sarekat Islam yang aktif melawan segala bentuk penindasan kolonial.
Sebagai suatu organisasi massa Sarekat Islam selalu membela kepentingan rakyat banyak. Pimpinan Cabang SI mulai berusaha menggerakkan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda di Keresidenan Palembang. Perlawanan tersebut dimulai dengan adanya aksi pembangkangan rakyat (mata gawe) Marga (Dusun) Tulung Selapan, rakyat tidak bersedia membayar pajak kepada pemerintah kolonial Belanda.
Aksi pembangkangan tersebut menimbulkan kerusuhan, sehingga suasananya menjadi tegang dan rakyat semakin bersemangat mengadakan perlawanan.
Dalam aksi kerusuhan itu seorang mata gawe Dusun Tulung Selapan berhasil menikam seorang Asisten Demang sampai meninggal dunia. Pemerintah kolonial Belanda di Tulung Selapan merasa kesulitan juga menghadapi aksi masyarakat itu.
Dalam upaya memadamkan perlawanan pemerintah Belanda di Palembang terpaksa mengirimkan 40 orang serdadu ke Dusun Tulung Selapan, tapi belum berhasil juga memadamkan aksi pemberontakan tersebut.
Aksi perlawanan rakyat Tulung Selapan baru berhasil dipadamkan setelah pemerintah kolonial Belanda memperoleh bantuan dari seorang Pasirah, yaitu Pasirah Kayu Agung yang bernama Haji Bakeri Gelar Pangeran Koesoma Joeda.
Berkat bantuan Pasirah Kayu Agung akhirnya ketentuan mata gawe (rakyat) Tulung Selapan kembali seperti sediakala, dan para mata gawe itu juga akhirnya mau kembali mematuhi dan membayar pajak yang telah ditetapkan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Perlawanan di Daerah Onderafdeeling Komering Ulu (1918)
Sewaktu Onder Afdeeling Rawas sedang berlangsung “Perang Kelambit”, di Dusun Kotanegara wilayah Onderafdeeling Komering Ulu (sekarang masuk wilayah Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur) juga timbul perlawanan rakyat yang dimotori oleh organisasi Sarekat Islam.
Teryata perlawanan rakyat “Kelambit” tersebut banyak memberi pengaruh terhadap aksi perjuangan rakyat dusun Kotanegara tersebut.
Perlawanan rakyat Dusun Kotanegara tersebut antara lain dipimpin oleh Naga Beriang, HA. Hamid Ronik, Singo Putro dan lain-lain, bertujuan untuk menentang peraturan-peraturan pajak pemerintah Belanda yang memberatkan rakyat.
Namun karena senjata serta strategi sangat lemah perlawanan, dengan mudah dapat dipadamkan oleh Pemerintah Kolonial. Di daerah Onder afdeling Komering Ilir, pada tahun 1915, juga telah berdiri Cabang Sarekat Islam dengan tokohnya bemama Burniat yang dilahirkan pada tahun 1901 didusun Sugih Waras. Burniat aktif di organisasi Sarekat Islam terutama pada Partai Kaum Tani (PKT) yang merupakan Onderbouw Sarekat Islam.
Pada tahun 1925 Burniat diangkat sebagai pemimpin PKT Sugih Waras. Di samping Sarekat Islam dan Partai Kaum Tani (PKT), Burniat juga aktif di Partai Komunis Indonesia. Pada tahun 1926 ia termasuk seorang pengendali dan pengurus partai itu.
Selanjutnya Burniat dengan Sarekat Islam dan PKTnya mulai melancarkan aksi-aksi perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda, seperti gerakan tidak mau membayar pajak dan tuntutan penghapusan tanah-tanah Erfah yang timbul akibat adanya penanaman modal asing yang sangat merugikan rakyat.
Akibat aksi-aksi tersebut Burniat ditangkap oleh Belanda dan dipenjarakan di Cipinang, Jakarta, dari tahun 1926-1928.
Hukuman itu diakhiri di penjara Palembang, karena ia dikirim kembali ke Palembang oleh pemerintah Kolonial Belanda.
Setelah keluar dari penjara Palembang perjuangan Burniat bukannya surut, tetapi malahan semakin bersemangat. Karena itulah pada 10 Agustus 1928 ia kembali ditangkap dan dijatuhi hukuman yakni dibuang ke Boven Digul (Irian Jaya) bersama seluruh keluarganya, dan Bunniat baru kembali lagi ke Palembang pada tahun 1939.
Perlawanan di Dusun Karta Mulia (1918)
Dusun Karta Mulia terletak di daerah Onder afdeeling Organ Ilir. Awalnya dusun ini aman tentram rakyatnya hidup dengan ketenangan dan kebahagiaan.
Setelah pemerintah kolonial Belanda masuk ke daerah Palembang, desa yang aman tentram ini mulai terganggu dengan berbagai macam aturan pajak dan kerja rodi yang ditetapkan oleh Belanda.
Masuknya Sarekat Islam ke Palembang sampai juga ke Dusun Karta Mulia ini, yang disambut hangat oleh masyarakat karena dianggap membawa perubahan.
Dengan dukungan Sarekat Islam, rakyat Dusun Karta Mulia pada awal tahun 1918 mulai melancarkan aksi perlawanan terbuka terhadap kesewenang-wenangan pemerintah kolonial Belanda.
Perlawanan tersebut merupakan manifestasi protes rakyat Karta Mulia terhadap kesewenangwenangan Pemerintah dalam mengatur pajak dan kerja rodi (gawe raja).
Pada awalnya perlawanan rakyat Dusun Karta Mulia ini cukup menyulitkan Belanda, tetapi dengan kekuatan senjata dan taktik strategi yang jitu, Belanda akhimya dapat memadamkan pemberontakan. ***
Sumber :
1. Kepialangan Politik dan Revolusi ; Palembang 1900-1950, Mestika Zed, LP3ES, Jakarta , April 2003
2. Sarekat Islam dan Pergerakan Politik di Palembang, Dra. Triana Wulandari, Muchtaruddin Ibrahim, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta , 2001
3. Republik Indonesia, Propinsi Sumatera Selatan, Kementrian Penerangan, Siliwangi-Jakarta, Agustus 1954
sumber: palpres.com