
Oleh Dudy Oskandar
(Jurnalis dan Peminat Sejarah Sumatera Selatan)
Pemberontakan Sarekat Abang
“A.P.E. Korver, dalam bukunya, Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil, (Grafiti, 1982), menyebutkan Sarekat Abang menyebar ke sebagian besar Sumatra Selatan sebelum tahun 1916. Selain di Jambi, Sarekat Abang juga terdapat di Lampung.
Korver menambahkan janganlah membayangkan Sarekat Abang sebagai organisasi yang kompak dan tunduk di bawah satu pimpinan pusat, serta terdapat cabang-cabang organisasi. Sarekat Abang lebih merupakan bermacam-macam sub-gerakan kecil lepas yang memiliki persamaan milenaristis tertentu.
Tak hanya sebatas itu, Sarekat Abang disebut sebagai gerakan rakyat yang unik, yang di dalamnya bercampur antara ajaran Islam, klenik, dan perjuangan politik yang mempunyai sikap tegas, yaitu menolak pemerintah kolonial Belanda. Selain itu, Sarekat Abang juga memiliki sifat nativistis yang akhirnya mampu meledak dalam pemberontakan di Jambi, dan juga di Palembang”…………
Selama tahun 1915 Residen Palembang sering menerima laporan tentang aksi permogokan dan agitasi yang dilakukan oleh penduduk hampir di setiap distrik.
Umumnya berkisar di seputar penolakan membayar pajak dan kerja rodi yang dalam laporan-laporan disebut “didalangi” oleh orang-orang Sarekat Islam.
“Agitasi” dan unjuk rasa yang dijalankan seringkali terkesan kasar, bahkan ada yang melempar tutup panci atau benda-benda keras lain ke tubuh pejabat-pejabat lokal, terutama Pasirah. Apa yang dikhawatirkan penguasa selama itu sekarang menjadi kenyataan. Pemerintah kolonial di daerah Palembang pun mulai menerapkan langkah lebih.
Pemerintah melarang pendaftaran anggota baru SI di setiap dusun lingkungan marga pada bulan Juni 1916.
Pelarangan tersebut, menurut pemerintah, terpaksa diambil mengingat sering terjadinya ancaman pembunuhan terhadap pejabat-pejabat pemerintah, baik pasirah maupun controleur, di Sekayu, Abab, Tebing Tinggi, Rawas, dan tempat-tempat lain.
Banyak calon anggota SI daerah pedalaman sudah mendaftarkan diri, tapi belum diambil sumpahnya saat pelarangan dikeluarkan.
Hal ini terlihat di daerah Sarolangun, perbatasan antara Keresidenan Jambi dan Keresidenan Palembang.
Rakyat yang tinggal di wilayah perbatasan, termasuk penduduk dari Muara Tembesi, Jambi, secara diam-diam mendaftarkan diri ke Surulangun (ibu kota Distrik Rawas di Keresidenan Palembang).
Di antara kedua tempat yang namanya mirip ini memang tengah berlangsung lalu-lalang penduduk tidak seperti biasa.
Penguasa daerah Sarolangun-Jambi membekukan pendaftaran calon anggota SI, namun peluang ini masih terbuka lebar di Sarulangun-Palembang.
Walaupun penduduk dilarang melakukan perjalanan keluar Wilayah Karesidenan kecuali ada izin dari pemerintah setempat, arus lalu-lintas manusia di kawasan perbatasan itu tampaknya tidak dapat diawasi pemerintah karena letaknya jauh dari ibu kota karesidenan.
Sejak bulan Agustus 1915, dilaporkan hampir semua penduduk daerah perbatasan itu telah terdaftar sebagai anggota SI Rawas yang terbentuk pada bulan Juni 1914.
Rawas menjadi pusat perhatian bukan hanya karena hiruk pikuk pendaftaran anggota-anggota SI, melainkan propaganda SI yang ternyata mampu menjangkau hingga daerah perbatasan Jambi.
Propaganda dan agitasi antipemerintah semakin membesar dan mencapai klimaks pada bulan Oktober 1916.
Serangkaian pemberontakan massa berlangsung di daerah Rawas pada bulan itu.
Awal Mula Pemberontakan Sarikat Abang
Sekelompok anggota SI yang menamakan diri Sarikat Abang (SA) dianggap sebagai perancang dari pemberontakan.
Sejak akhir Agustus 1916 mereka sudah memperlihatkan tanda-tanda atau gelagat tidak lazim, dan memasuki bulan September 1916 mereka mulai melengkapi diri dengan simbol-simbol tertentu. Salah satu kebiasaan mereka yang oleh sebagian masyarakat dianggap aneh adalah seringnya mereka mengadakan pertemuan dengan mengenakan pakaian destar berwarna “abang” (merah) dilengkapi dengan berbagai senjata tajam.
Mereka juga acapkali menyelenggarakan pengajian agama dan berlatih ilmu bela diri.
Pimpinan SA adalah Haji Goh dari Dusun Talang Balai, Ogan Ilir, dan dibantu beberapa orang dari Rawas seperti Haji Arsyad serta Said bin Kikim alias Paswah.
Mereka biasanya berjalan bergerombol dari satu dusun ke dusun lain dan setiap kali beraksi (berbicara atau melakukan sesuatu) selalu mengucapkan “kam kim koem, kapiroen.” Bila berjumpa dengan penduduk mereka akan meneriakkan “kini kita tidak perlu lagi bayar pajak dan kerja rodi.”
Mereka mengancam, menyerang, dan melukai siapa pun yang tidak menyambut seruan itu.
Sarikat Abang tampaknya mengembangkan suatu aliran mistik melalui perguruan pengajian. Di tempat ini mereka mempelajari “hakikat ilmu,” yaitu “mengesankan dzat hak ta’ala dan difiilkan [diwujudkan dengan perbuatan] pada ma’rifat lewat zikir dan seterusnya.”
Radikalisme gerakan kemudian berpadu dengan propaganda dan isu politik meniru organisasi modern seperti kelompok SI. Gerakan yang menebarkan semangat “perang sabil” dengan jumlah pengikut yang semakin lama semakin membesar ini sesungguhnya dapat pula ditemukan di dalam gerakan protes sebagian besar negeri jajahan Eropa di Asia Tenggara.
Aksi berontak dimulai oleh sekitar 1.000 orang SA yang datang serentak dari Dusun Pauh dan Batu Kucing pada pukul 5 sore tanggal 9 Oktober 1916. Semula mereka berniat menyerbu kantor-kantor pemerintah di Surulangun, ibukota Distrik Rawas, Keresidenan Palembang.
Namun di tengah perjalanan mereka menyerang kantor Pasirah dan mengajak penduduk setiap dusun Yang dilewati untuk meneruskan aksi. Jumlah gerombolan SA bertambah banyak dan pada tanggal 12 Oktober sudah mencapai lebih dari 2.000 orang; kebanyakan berasal dari Muara Rupit, Sukapindah Ilir, dan Sukapindah Ulu.
Setelah berhasil memasuki Surulangun. mereka menyerang, membongkar, dan membakar gedung-gedung pemerintah dan rumah para pejabat.
Pasukan keamanan yang didatangkan dari Lahat dan Palembang. terdiri dari tiga brigade tiba di tempat kejadian pada sore hari. Pertempuran tak terelakkan, dan menelan banyak korban di pihak SA Pasirah Muara Rupit yang bergabung dengan SA meninggal dunia dalam patempuran.
Tercatat 38 anggota SA tewas di tempat, 5 orang luka berat, dan 3 orang ditangkap. Tidak ada laporan mengenai korban tewas atau teluka di pihak pasukan keamanan .
Pemerintah berhasil menyita sejumlah senjata dari tangan SA, antara lain 3 pucuk senjata otomatis, 9 pucuk senjata enkele achterload, 4 pucuk senjata double achterload, 453 pucuk senjata enkele voorload, 4 pucuk seniata double voorload, l pistol otomatis, 22 revolver, dan 7 lila, belum termasuk aneka senjata tajam yang jumlahnya sangat banyak.
Walaupun dapat dipadamkan, aksi pemberontakan tersebut tampaknya meninggalkan kesan amat mendalam di kalangan penduduk setempat dan pemerintah kolonial.
Pemuka-pemuka SI Kota Palembang beberapa hari setelah peristiwa, menampik tuduhan pemerintah yang menilai pengurus SI terlibat dalam aksi pemberontakan. Persoalan yang lebih penting tentu bukan sekadar apakah SI terlibat atau tidak dalam peristiwa itu, melainkan mengapa pemberontakan itu sampai terjadi.
Mengapa Rawas menjadi pusat perlawanan jika pajak dan kerja rodi merupakan isu umum di seluruh daerah Palembang?
Jawabannya tidak harus dicari di luar kondisi setempat. Kita perlu memperhatikan kondisi umum yang dikaitkan dengan suasana zaman saat pergerakan itu tercerahkan dengan “impian’ komunitas baru yang dibayangkan, sebagaimana dikemukakan Benedict Anderson.“ Nasionalisme (kebangsaan) yang dicita- citakan adalah produk peradaban sangat baru yang di Indonesia baru muncul pada awal abad ke-20.
Menurut Anderson, nasionalisme yang hidup dalam pikiran komunitas baru itu jauh melampaui batasan komunitas lama perdesaan atau marga.
Komunitas itu tidak lain adalah konstruk imajinatif. Di antara sesama anggota komunitas baru tidak pernah terjalin hubungan fisik atau tatap muka langsung, tetapi memiliki ikatan sangat kuat yang memungkinkan mereka bersedia mati demi memenuhi apa yang dibayangkan.
Sarikat Abang berhasil memadukan sentimen nasionalisme dengan semangat keagamaan yang tampak spesifik
Faktor utama kebangkitan nasionalisme yang dibayangkan komunitas baru itu adalah karena memudarnya dua bentuk komunitas “imajiner” lama: komunitas agama dan komunitas kerajaan atau dinasti. Komunitas yang terakhir kemudian direkayasa dan dilestarikan oleh kekuasaan kolonial lewat tatanan baru birokrasi.
Dalam konteks Palembang, SI datang menghidupkan komunitas agama yang tak pelak menggunakan simbol Islam berpadu dengan unsur mistik lokal. Perguruan pengajian “ilmu Abang” para pengikut SA membuat gerakan Sarekat Islam di tempat itu menjadi lebih radikal. Rawas menjadi pusat perlawanan mengingat lokasinya yang jauh dari pusat pemerintahan kolonial (Kota Palembang) sehingga sulit diawasi pemerintah.
Meski hubungan dengan pusat pemerintahan kolonial di Jambi lebih dekat ketimbang Palembang, kontrol di Jambi terlihat sangat lemah dan ini menjadi salah satu faktor yang memudahkan mengalir masuknya senjata-senjata “gelap.
Kebijakan pemerintah kolonial yang banyak membebani rakyat, terutama berbagai macam pajak dan kerja rodi, jelas membuat frustrasi dan membangkitkan rasa ketidakadilan serta memicu “pemberontakan rakyat” seperti yang lazim terjadi di Hindia Belanda masa itu.
Baik pemerintah kolonial maupun pengurus SI Kota Palembang “terlibat” dalam pemberontakan SA, Pemerintah menuduh SI merancang dan menggerakkan pemberontakan. Tuduhan ini diambil dari beberapa kesaksian pemberontak yang tertangkap. Haji Koeris, salah seorang tokoh SA yang tertangkap, dalam sidang pengadilan mengaku bahwa “SA adalah pengerasan dari SI,” suatu militant element dalam SI mirip dengan sumber lain yang menyebutkan bahwa SA tak lain soldadoe-nya SI .
Pengurus SI Palembang menampik tuduhan tersebut, dan menegaskan bahwa SI tidak pernah mengenal onderbouw yang bernama Sarikat Abang.
Menurut SI Palembang, ajaran yang dikembangkan SA mengandung aliran mistik atau “tareqat” dengan menggunakan beberapa simbol tertentu, seperti pakaian merah atau sejumlah lafaz doa yang diwajibkan kepada setiap anggota.
Semua bukan doktrin SI. Menurut pihak SI, Sarikat Abang sudah ada jauh sebelum SI masuk ke daerah Rawas.
Apa pun alasan mereka, pemerintah kolonial tetap terus menerus mencari, mengejar, dan menangkap anggota pengurus SI di Rawas dan tempat-tempat lain.
Nasib Presiden SI Kota Palembang Raden Nangling tidak lagi diketahui setelah serangkaian penangkapan terhadap beberapa koleganya, seperti Anang Abdoerrahman (Presiden SI Lokal Lematang Ulu), Nan Buyung (Presiden SI Lokal Lahat), Haji Mohammad Apil (Presiden SI Lokal Marga Gumai Lebak), Abdoerrahim bin Alis (Presiden SI Lokal Pagar Alam), dan lain-lain.
Mereka yang dituduh terlibat langsung dalam pemberontakan dijatuhi hukuman penjara. Sebagian lagi dihukum mati (dengan cara digantung) seperti dialami Mohammad Amin alias Glambit (salah seorang pemimpin SA) dan Depati Abdoel Hamid bin Setipal.
Tindakan keras pemerintah kolonial terhadap SA membuat SI daerah Palembang terpaksa mengurangi beberapa aktivitasnya Tidak ada lagi kegiatan propaganda atau pertemuan-pertemuan terbuka anggota SI sampai dengan 1919.
Bagaimanapun juga pemberontakan Sarekat Abang telah “menyadarkan” semua pihak baik pemerintah kolonial maupun kalangan SI daerah Palembang. Pemerintah meninjau kembali kebijaksanaan administratifnya, dan mencoba memperbaharui peraturan pungutan pajak dan heeren-diensten yang dituangkan dalam IGO (Inlandsche Gemeenteorv donantie) pada 1919.
Peraturan tentang keringanan pajak dan kerja rodi itu agaknya merupakan salah satu akibat “positif’ dari kerusuhan sosial, yang digerakkan oleh kelompok SA tiga tahun sebelumnya.
Sisa-sisa pengurus SI yang tidak berhasil ditangkap atau yang sudah dibebaskan dari penjara, akhirnya dapat berkumpul kembali.
Semenjak Tjokroaminoto datang untuk kedua kalinya ke daerah Palembang pada 1919, SI menempuh dan memprioritaskan garis “lunak” seperti tertuang dalam rancangan program meningkatkan “kepinteran yang lahir” (pendidikan) dan “kepinteran yang bathin” (agama). SI daerah Palembang mulai memasuki babakan baru.
Mengenai perlawanan di Musi Rawas ini sumber lain mengatakan berdirinya SI di daerah Bingin Teluk, onderaf deling Rawas Ilir tidak terlepas dari peranan Raden Gunawan. Seperti di tempat-tempat lain, kedatangannya di Bingin Teluk, onderafdeling Rawas Iir, Raden Gunawan disambut dengan semangat oleh Pesirah Abdulhamid dan kawan-kawannya.
Ketika itu Abdulhamid sedang menjabat Pesirah (Dipati) di marga Suka Pindah. Setelah mendapat penjelasan dan pengarahan dari Raden Gunawan, Pesirah Abdulhamid beserta kawan-kawan langsung mendirikan cabang Sarikat Islam di Bingin Teluk.
Pengurus SI Cabang Bingin Teluk adalah Abdulhamid bin Setipal sebagai presiden (ketua) Lokal, Dulhaji bin Sebayan sebagai sekretaris dan Dulkasip bin Setipal, adik Pesirah sebagai bendahara.
Sehingga dalam waktu singkat pengaruhnya telah tersebar luas di kalangan penduduk. Keberhasilan SI untuk mendapat pengikut yang banyak dalam waktu yang singkat ini, tidaklah terlepas dari usaha dari para aktivisnya untuk cepat menyadarkan para pemuka rakyat, pamong desa, tokoh-tokoh agama serta guru guru ngaji.
Sementara itu, pemerintahan kolonial Hindia Belanda dibawah pimpinan Van Wijk selaku kontroleur yang berkedudukan di Surolangon, merasa cemas melihat perkembangan SI
Kontroleur merasa was-was dan apabila organisasi yang didukung oleh umat Islam itu dibiarkan dan tidak dibatasi ruang geraknya, pasti akan menyulitkan Belanda.
Hal itu akan berakibat pada rencana pembukaan jalan sepanjang lima kilometer antara dusun Lesang dan Batun tidak akan terselesaikan.
Apalagi dalam Kongres SI III di Surabaya diputuskan bahwa kerja rodi yang dipaksakan oleh pemerintah Hindia Belanda agar dihapus.
Abdulhamid bin Setipal dengan tegas telah menanamkan hal itu kepada rakyatnya. Selain itu, keberhasilan SI dapat menembus lapisan bawah di daerah Uluan, seperti di daerah Rawas umpamanya, adalah karena daerah ini merupakan basis perlawanan Sultan Badaruddin III pada awal abad ke-19.
Oleh sebab itu, sebagai reaksi, pada tahun 1915 Abdulhamid bin Setipal, menunjuk Muhammad Amin, untuk memobilisasi massa dalam rangka melakukan perlawanan fisik terhadap pemerintahan kolonial Belanda.
Untuk kepentingan tersebut, Muhammad Amin, yang dianggap “sakti” (ilmu hitam) membentuk 40 kelompok kekuatan dan setiap kelompok itu dipimpin oleh seorang Hulubalang. Mereka dilatih taktik perang, dan juga ilmu kebatinan atau tenaga dalam.
Adapun anggota-anggotanya direkrut dari anggota SI dan para simpatisannya. Pasukan inilah yang dipersiapkan untuk melawan Belanda.
Pasukan ini biasa disebut pasukan kelambit dalam pemberontakan rakyat di Karesidenan Palembang.
Gerakan ini sering dihubungkan dengan Sarikat Abang (SA) yang diasosiasikan dengan Partai Komunis Indonesia. Kalau diamati lebih jauh, dugaan demikian merupakan kesalahpahaman belaka, karena Sarikat Abang di sini merupakan suatu bagian dari SI yang mendapat pengaruh kuat dari Turki yang pengikut pengikutnya selalu memakai ikat kepala dari kain warna merah sebagai identitasnya.
Tradisi memakai ikat kepala warna merah ini sudah ada sejak tahun 1916 di Karesidenan Palembang sampai ke daerah Uluan.
Pada masa itu di Kota Palembang sendiri banyak orang memakai kopiah Turki yang bentuknya bulat tinggi seperti selender, tetapi agak mengecil bagian atasnya, sehingga kelihatan seperti kerucut yang dipotong dan di atasnya dipasang jambul.
Warna kopiah ini merah dan disebut kupiah stambul. Kopiah merah inilah agaknya yang telah mengilhami organisasi ini untuk mengikatkan di kepala pengikutnya sebagai tanda pengenal.
Demikian pula di daerah Muara Rupit yang termasuk onderafdeling Rawas, tahun 1918 telah berdiri SI dengan Dauh sebagai presiden lokal, Akep dan Jabar sebagai propagandis.
Dalam pertengahan tahun 1918 mereka mengadakan rapat gelap yang dihadiri oleh 60 orang anggota.
Tujuan rapat ini adalah untuk membicarakan dan mengatur langkah-langkah dalam usaha pembayaran pajak yang dianggap terlalu tinggi. Akan tetapi nasib sial menimpa, karena tidak terduga, mereka itu tiba-tiba digrebek oleh polisi kolonial Belanda dan karenanya rapat bubar, pesertanya lari kocar-kacir untuk menyelamatkan diri. Dalam peristiwa ini banyak orang yang tertangkap, dan salah satu di antaranya adalah Jabar.
Selain dianiaya oleh polisi, mereka dimasukan ke penjara Musi Rawas selama tiga hari. Kemudian mereka itu diajukan ke Landraad Musi Rawas dan mereka itu termasuk Jabar mendapat hukuman masing-masing selama 6 bulan, karena dituduh melakuan rapat gelap.
Akibat kegiatan-kegiatannya yang cenderung melawan pemerintah SI dalam tahun dua puluhan dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda. Namun demikian, secara diam-diam, dengan dalih ceramah agama, kegiatan SI berjalan terus.
Di samping menyampaikan ceramah agama yang berkisar pada ajaran-ajaran Islam dan mereka juga menyelipkan cita-cita untuk membebaskan diri dari penjajahan kolonial Belanda. Sejalan dengan aktivitas ini, SI Muara Rapit dibawah pimpinan Daud Wijaya terus aktif melakukan kegiatannya.
Dengan perantaraan propagandis SI Muara Rapit organisasi ini mengadakan hubungan dengan gerakan Sarikat Abang di daerah perbatasan Jambi dan daerah Surolangon Rawas.
Begitu juga aktivitas SI di daerah onderaf deling Komering Ilir yang telah berdiri sejak tahun 1915.
Seorang tokohnya adalah Burniat yang lahir tahun 1901 di Dusun Sugih Waras, pendidikan yang ditempuhnya Vooroolk School, lima tahun dan kursus normal dua tahun.
Ia aktif dalam SI terutama Partai Kaum Tani yang merupakan onderbow SI.
Karena aksi-aksi yang dilancarkannya, ia keluar masuk penjara dan terakhir ia dibuang ke Boven Digul bersama-sama keluarga termasuk ibu, istri dan anak-anaknya.
Pada tahun 1939 ia dan keluarganya diperbolehkan pulang ke Palembang. Demikianlah mobilitas SI. Berkat propaganda yang hebat anggota SI, dapat mencapai dua juta orang. Begitu pula cabang SI di daerah Karesidenan Palembang, selain jumlahnya semakin meningkat aktivitasnya dalam menentang pemerintahan kolonial Belanda juga makin berkembang.
Aksinya terutama ditujukan pada penghapusan pajak-pajak yang memberatkan rakyat, penghapusan tanah-tanah partikelir (tuan tanah Eropa) dan membuat peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kaum buruh untuk mencegah tindakan sewenang-wenang penguasa setempat.
Akibat dari aksi-aksi yang telah dilancarkan oleh SI, adalah tindakan drastis yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Bahkan tanpa didukung oleh bukti yang kuat pemerintah menangkap para pemimpin organisasi tersebut dan selanjutnya dipenjarakan atau diasingkan di tempat-tempat di luar Karesidenan Palembang.
Pada tahun 1920 SI di daerah ini secara keseluruhan sudah menjadi organisasi terlarang atau dibubarkan secara paksa.
Dengan pembubaran SI tidaklah berarti organisasi yang telah dicintai rakyat ini lenyap begitu saja.
SI sebagai satu badan boleh saja dihilangkan, tetapi cita-cita dan semangat anti penjajah yang telah ditanamkan tidaklah mudah terhapus. Rakyat telah memiliki tingkat kesadaran yang tinggi dan harga diri sebagai suatu bangsa yang berbudaya.
Karenanya tanpa adanya unsur paksaan dari tokoh manapun, kebencian terhadap kaum penjajah tetap meluap-luap.
Jiwa mereka menuntut dan menginginkan kebebasan dari belenggu penjajah.
Sehubungan dengan itu, maka pemuka-pemuka SI berusaha menyatukan tokoh-tokoh masyarakat untuk melakukan gerakan gerakan meskipun dilakukan secara sembunyi-sembunyi. ***
Sumber :
1. Kepialangan Politik dan Revolusi; Palembang 1900-1950, Mestika Zed, LP3ES, Jakarta, April 2003
2. Sarekat Islam dan Pergerakan Politik di Palembang, Dra. Triana Wulandari, Muchtaruddin Ibrahim, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2001
3. Republik Indonesia, Propinsi Sumatera Selatan, Kementrian Penerangan, Siliwangi-Jakarta, Agustus 1954
sumber: palpres.com