
Oleh Dudy Oskandar
(Jurnalis dan Peminat Sejarah Sumatera Selatan )
Perlawanan SI di Daerah Uluan Palembang
HINGGA periode 1914-1920, anggota SI di Onderafdeling Lematang Ulu sudah tercatat + 5.000 orang.
Pemimpin-pemimpin SI di daerah yang terkenal antara lain adalah Anang Abdurrahman sebagai Presiden SI Lokal daerah Lahat, Nang Buyung dan M. Nasir sebagai Presiden SI Lokal Lematang Ulu, dan Haji Muhammad Apil sebagai Presiden SI Lokal Marga Gumai Lembak yang termasuk daerah onderafdeling Lematang Ulu.
Sedang Presiden SI lokal onderafdeling Lematang Ilir, yang beribukota Muara Enim adalah Sahim.
Presiden SI Lokal daerah Langkayat adalah Dulwahid dan sebagai Presiden SI Lokal daerah Tanah Abang adalah Topah.
Dalam tahun 1914 SI memasuki daerah Pagaralam, daerah onderafdeling Pasemah dan berdiri cabang SI di daerah tersebut.
Tokoh setempat yang ikut mendirikan organisasi tersebut adalah seorang pesirah bernama Sanibar Sadat dan dialah yang kemudian menjadi Presiden SI Lokal yang pertama.
Tetapi tanpa alasan yang jelas ia kemudian mengundurkan diri. Sementara orang menduga hal itu terjadi karena ia seorang pesirah yang merupakan bagian dari pegawai pemerintah Hindia Belanda.
Mungkin tindakan itu terpaksa dilakukan karena ia mendapat ancaman atasannya. Karena itu, demi kelancaran pergerakan SI, ia menyerahkan jabatan terse but kepada orang yang geraknya lebih bebas.
Untuk mengisi kekosongan pimpinan SI Lokal Cabang Lahat, maka diadakan rapat anggota. Rapat berhasil menetapkan Aburahim bin Alis sebagai ketua, dengan Tame sebagai wakil dan Senamak Penantian sebagai sekretaris.
Susunan 50 pengurus baru ini kemudian dilaporankan kepada Pengurus Pusat SI di Surabaya.
Tidak lama kemudian datanglah Surat Keputusan Ketua Pusat SI, Umar Said Cokroaminoto, tentang pengangkatan Aburahim bin Alis sebagai Ketua SI Lokal cabang Pagaralam.
Dalam Kongres SI III Aburahim bin Alis turut hadir di Surabaya. Ia turut berperan aktif dalam kongres tersebut yang berlangsung pada 29 September- 6Oktober1918 di Gedung Panti Aryoso Surabaya.
Kongres ini diikuti oleh 87 cabang SI Lokal dengan jumlah peserta sebanyak 450.000 orang. Kongres ini antara lain membicarakan kesukaran-kesukaran hidup yang dialami rakyat sebagai akibat dari kekejaman yang dilakukan Pemerintah Hindia Belanda.
Oleh karena itu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, kongres menuntut penurunan pajak, menghapuskan hak atas tanah partikelir, untuk kepentingan rakyat dan memperluas pengajaran. Khusus tentang perpajakan tersebut kongres meminta agar dibentuk sebuah panitia yang terdiri atas pegawai negeri dan orang-orang partikelir yang bertugas untuk meneliti keberatan-keberatan yang diajukan rakyat yang berkaitan dengan peraturan perpajakan.
Mengenai tanah partikelir kongres menuntut penghapusan ponenale sanetie. Agenda penting yang dibicarakan dalam kongres ini adalah pembentukan Volksraad.
Selaku pengurus Aburahim bin Alis selalu berusaha mewujudkan cita-cita SI seperti yang telah diputuskan dalam kongres III di Surabaya. Ia terus bekerja keras, walau mendapat rintangan dari pemerintah kolonial Belanda, karena dianggap mengganggu kelancaran roda pemerintahannya.
Namun demikian, rintangan-rintangan itu tidak membuat Aburahim mundur. Semakin dihalangi aksi mereka semakin hebat dan semangat mereka semakin berkobar karena didorong oleh semboyan jihad yang terus didengung-dengungkan oleh pemuka agama (ulama).
Aksi dan tuntutan itu mereka ditujukan kepada pemerintahan kolonial, terutama dalam menentang bermacam-macam bentuk pajak yang memberatkan rakyat dan menentang kerja rodi yang diwajibkan kepada rakyat.
Demikianlah akibat aksi-aksi yang dilakukan oleh SI, Aburahim selaku Ketua SI Cabang Pagaralam mendapat tindakan dari pemerintah Hindia Belanda.
Kegiatan yang dimotori oleh Aburahim bin Alis itu telah mengganggu kelancaran pemerintah kolonial di daerah Pagaralam. Oleh karena itu demi keamanan dan ketentraman pemerintah kolonial, Aburahim bin Alis yang dianggap membangkang itu ditangkap.
Kemudian ia dibuang ke Bulongan Kalimantan dan ia mendapat hukuman selama 2 tahun 9 bulan. Akan tetapi semangat juangnya tidak pernah padam, karena setelah menjalani masa hukumannya, Aburahim bin Alis kembali aktif dalam SI.
Ia kembali menyumbangkan tenaga dan fikirannya untuk memajukan SI dan membela kepentingan rakyat di daerahnya. Begitu juga halnya nasib yang dialami oleh Nang Buyung Ketua SI Lematang Ulu dan Anang Abdurrahman Ketua SIdi Labat.
Mereka mengalami nasib yang sama dengan Aburahim bin Alis yang dianggap pengacau.
Dengan alasan tersebut pada tahun 1919 Anang Aburahim ditangkap. Mula-mula dibuang ke Surabaya, tetapi kemudian dipindahkan ke Kalimantan dan ia meninggal di sana. Sedang Nan Buyung mendapat hukuman selama 3 tahun.
Nasib yang sama dialami pula oleh Haji Muhammad Apil, Ketua SI di Marga Gumai Lembak, karena dianggap bersalah ia ditangkap dan dipenjarakan di Lahat.
Selain itu, Keling Midar yang berasal dari dusun Jati, Lahat, juga ditangkap dan dipenjarakan selama 2 tahun.
Mengikuti mobilitas SI di Karesidenan Palembang, agaknya cukup menarik untuk mengungkapkan perjuangan organisasi ini di daerah Bingin Teluk, onderaf deling Rawas Ilir. Berdirinya SI di daerah ini juga tidak terlepas dari peranan Raden Gunawan. Seperti di tempat-tempat lain, kedatangannya di Bingin Teluk, onderafdeling Rawas Iir, Raden Gunawan disambut dengan semangat oleh Pesirah Abdulhamid dan kawan-kawannya.
Ketika itu Abdulhamid sedang menjabat Pesirah (Dipati) di marga Suka Pindah. Setelah mendapat penjelasan dan pengarahan dari Raden Gunawan, Pesirah Abdulhamid beserta kawan-kawan langsung mendirikan cabang Sarikat Islam di Bingin Teluk.
Pengurus SI Cabang Bingin Teluk adalah Abdulhamid bin Setipal sebagai presiden (ketua) Lokal, Dulhaji bin Sebayan sebagai sekretaris dan Dulkasip bin Setipal, adik Pesirah sebagai bendahara.
Tersusunnya pengurus SI di daerah ini telah memperlancar penyaluran informasi-informasi penting organisasi tersebut kepada penduduk di daerah ini dan daerah sekitarnya.
Sehingga dalam waktu singkat pengaruhnya telah tersebar luas di kalangan penduduk. Keberhasilan SI untuk mendapat pengikut yang banyak dalam waktu yang singkat ini, tidaklah terlepas dari usaha dari para aktivisnya untuk cepat menyadarkan para pemuka rakyat, pamong desa, tokoh-tokoh agama serta guru guru ngaji.
Seperti yang dilakukan Haji Lasjim, yang mempropagandakan kedudukan dan peran SI di daerah Biaro dengan cara yang sangat mengesankan, sehingga hampir seluruh rakyat daerah ini menjadi anggota SI.
Pendekatan lain, yang dilakukan oleh para aktivis SI adalah dengan turut melibatkan diri secara aktif dalam melakukan berbagai kegiatan sosial, seperti menghidupkan kebiasaan tolong-menolong bagi warga yang sedang dalam kesusahan atau sedang membutuhkan.
Juga untuk meringankan beban bagi warga masyarakat, para aktivis SI menghidupkan semangat gotong-royong.
Dengan kegiatan-kegiatan itu, organisasi yang masih terhitung berusia muda itu telah menjadi sangat populer di kalangan masyarakat di daerah Teluk Bingin dan sekitarnya.
Sementara itu, pemerintahan kolonial Hindia Belanda dibawah pimpinan Van Wijk selaku kontroleur yang berkedudukan di Surolangon, merasa cemas melihat perkembangan SI
Kontroleur merasa was-was dan apabila organisasi yang didukung oleh umat Islam itu dibiarkan dan tidak dibatasi ruang geraknya pasti akan menyulitkan Belanda.
Hal itu akan berakibat pada rencana pembukaan jalan sepanjang lima kilometer antara Dusun Lesang dan Batun tidak akan terselesaikan.
Apalagi dalam Kongres SI III di Surabaya diputuskan, bahwa kerja rodi yang dipaksakan oleh pemerintah Hindia Belanda agar dihapus.
Abdulhamid bin Setipal dengan tegas telah menanamkan hal itu kepada rakyatnya. Selain itu, keberhasilan Sarikat Islam dapat menembus lapisan bawah di daerah Uluan, seperti di daerah Rawas umpamanya, adalah karena daerah ini merupakan basis perlawanan Sultan Badaruddin III pada awal abad ke-19.
Tetapi kemudian dalam mewujudkan Pax Nederlantika, Belanda dapat menguasai daerah Uluan.
Pada masa awal abad ke-20 campur tangan pemerintah kolonial Belanda sangat terasa, terutama dalam pemerintahan paling bawah, yaitu pemerintahan marga-marga.
Dikeluarkan bermacam-macam peraturan, seperti pajak, kerja rodi dalam pembukaan jalan-jalan dan lainnya sangat memberatkan rakyat. Kesemua itu telah menimbulkan kegelisahan di kalangan masyarakat serta membangkitkan kebencian rakyat terhadap Belanda.
Kegelisahan dan kebencian rakyat itu ditampung oleh Sarikat Islam yang datang tepat pada waktunya, sehingga rakyat merasa mendapat pelindung. Karena itulah rakyat berbondongbondong masuk menjadi anggota SI.
Seperti yang telah tertuang dalam anggaran dasarnya tujuan SI adalah memajukan rakyat, menjalin persaudaraan di antara sesamanya, tolong-menolong di kalangan muslimin dan melindungi rakyat dari penindasan dan tindakan sewenang-wenang. Sehubungan dengan itu para tokoh SI daerah ini menganggap tindakan pemerintah kolonial Belanda tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Tindakan pemerintah tersebut secara keseluruhan telah meningkatkan emosi SI di daerah ini terhadap pemerintah kolonial Belanda. ***
Sumber :
1. Kepialangan Politik dan Revolusi ; Palembang 1900-1950, Mestika Zed, LP3ES, Jakarta , April 2003
2. Sarekat Islam dan Pergerakan Politik di Palembang, Dra. Triana Wulandari, Muchtaruddin Ibrahim, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta , 2001
3. Republik Indonesia, Propinsi Sumatera Selatan, Kementrian Penerangan, Siliwangi-Jakarta, Agustus 1954
sumber: palpres.com