
Masyarakat Berbondong-bondong Masuk SI
Oleh Dudy Oskandar
(Jurnalis dan Peminat Sejarah Sumsel)
“HET Doel Der Vereeniging Heette Te Wezen Algehele Verbroedering Der z.g. ‘Koelit Hitam(Pribumi)”
(Tujuan Perkumpulan Ini Ialah Untuk Persaudaraan Yang Disebut Kaum “Kulit Hitam ( Pribumi)”
(Politieke Verslag, Palembang, December, 1914)
DALAM waktu relatif singkat Sarekat Islam atau di singkat SI berhasil tampil sebagai gerakan sosial-politik yang sangat dinamis. Organisasi ini mampu merekrut pengikut dari berbagai kalangan bahkan sampai pelosok daerah pedalaman Palembang. Kepengurusan SI Palembang sendiri baru tersusun secara resmi pada bulan Januari 1914.
Raden Nangling seorang pedagang kaya dan pemilik Hotel Nangling di Kota Palembang, dipilih sebagai ketua, Cik Entik Zainal Abidin diangkat sebagai Wakil Ketua, Abdul Karim dari perkumpulan Al-Ihsan menduduki jabatan Sekretaris.
Hampir satu bulan kemudian pengurus SI Palembang mulai menyebarkan surat edaran (rondsch rijven) yang dikirim kepada pejabat-pejabat agama, para penghulu dan khatib, dusun pedalaman yang intinya mengajak penduduk untuk bergabung dengan SI.
Surat edaran akhirnya tersebar luas. Banyak yang ingin mendaftarkan diri sebagai anggota SI sebagaimana diperlihatkan oleh sebagian besar penduduk Marga Sungai Rengas, Kumbang, Gasing, Suak, Tapeh, dan Rantau Bayur.
Bahkan “…tidak sedikit jumlah kerumunan orang yang datang berbondong-bondong dari pedalaman ke Kota Palembang. Sebagian terpaksa menunggu lebih dari satu minggu, bahkan sampai lima belas hari hanya karena ingin terdaftar secara resmi sebagai anggota SI di Kota Palembang.
Sebenarnya mereka dapat mendaftar di daerah masing-masing dengan membayar uang pendaftaran sebesar f.0,60 untuk memperoleh kartu anggota. Namun mereka lebih rela mengeluarkan uang pendaftaran f.1,00, supaya dapat terdaftar di Kota Palembang.
Setelah membayar dan wawancara sekadarnya, mereka menerakan tanda tangan atau cap jari.
Sebelum diterima secara resmi, “kandidat,” kata yang dipakai untuk menyebut calon anggota, harus mengucapkan sumpah sebagai berikut: “… semoga saya (yaitu diri saya) luluh bagaikan air dalam gelas ini, bila saya ingkar pada Sarikat Islam dan anggaran dasarnya, serta tidak mematuhi perintah para pengurus.
Setahun sejak berdiri, anggota SI yang terdaftar di Kota Palembang, termasuk mereka yang mendaftarkan diri dari daerah pedalaman, mencapai 3.200 orang.
Pada saat hampir bersamaan SI mendirikan pula beberapa cabang di wilayah pedalaman. Beberapa warga setempat yang dianggap terpandang duduk sebagai pengurus cabang. Misalnya, pemimpin SI Marga Kotanegara, Komering Ulu, adalah Pahing Abdoel Wahid, khatib dari Dusun Penantian, SI Baturaja dipimpin oleh Haji Hasan dan Hakim Haji Muhammad Yunus, SI Penukal, Musi Ilir, dipimpin oleh Haji Syamsuddin.
Sarekat Islam mampu meluaskan pengaruh di daerah paling jauh sekalipun seperti Rawas, daerah perbatasan Jambi-Bengkulu, dan dipimpin oleh Haji Koeris.
Sebagian kandidat anggota SI pedalaman bahkan ada yang datang secara khusus ke Kota Palembang meminta diangkat sebagai pengurus S1 di daerah tempat tinggal masing-masing. Bratanata, pemuda buruh perusahaan minyak BPM Muara Enim, misalnya, datang dan meminta kepada SI Kota Palembang supaya diangkat sebagai pengurus ranting SI di tempat kerjanya dan di Sekayu.
Tujuan SI sebenarnya cukup sederhana sebagaimana dikutip oleh sumber Belanda di Palembang “…het doel der vereeniging heette te wezen algehele verbroedering der z.g. ‘koelit hitam(pribumi)”
Pesan yang terkandung di dalam surat edaran yang dikeluarkan SI Palembang di atas memang menawarkan hal yang menarik. Pertama tawaran pembebasan atau peringanan pajak (belasting) dan “kerja rodi” (heerendiensten) kepada setiap anggota SI jelas berkaitan langsung dengan kehidupan sehari-hari masyarakat perdesaan. Kedua, istilah “persaudaraan” (verbroedering) yang akan memberikan bantuan keuangan kepada setiap anggota SI yang terkena musibah kematian, bencana alam, dan sebagainya jelas amat menjanjikan.
Setiap anggota SI yang melakukan perjalanan ke seluruh daerah Hindia Belanda atau ke luar negeri akan diterima sebagai “tamu” terhormat; “gratis makan dan tempat menginapnya,” Tujuan lainnya adalah “untuk perbaikan moral penduduk dan memberi perlindungan terhadap segenap anggota dari ketidakadilan atau kesewenang-wenangan, seperti pemerasan dan sebagainya. SI akan membantu dengan memberi penerangan hukum dan menyalurkan keluhan anggota lewat prosedur hukum yang benar.”
Tujuan yang dikedepankan oleh organisasi baru itu memang memikat banyak orang, kendati ada sedikit perbedaan dalam memahami propaganda SI.
Namun secara keseluruhan SI menawarkan beberapa ha] yang dianggap menguntungkan anggotanya.
Seperti tercermin dari propaganda di atas, SI hadir dengan gagasan barn yang mamm mempersamkan solidaritas kelompok lebih luas demi kepentingan anggota. SI berupaya membentuk semacam solidaritas bersama dengan batasan yang tegas sebagaimana tercermin dalam kata-kata “kita” atau “kulit hitam” (bumiputra) dihadapkan dengan kata-kata “mereka,” “orang asing” atau “kulit putih.
” Memang dalam arti tertentu hal tersebut bersifat ekslusif, bahkan lebih ekstrem lagi setiap orang yang bukan anggota SI akan dicap sebagai “orang lain” (weemden). Misalnya. bila anggota anggota SI menyelenggarakan pesta kenduri atau acara keramaian, maka hanya mereka yang telah menjadi anggota SI saja yang boleh hadir.
Acara-acara semacam itu tertutup bagi setiap orang yang bukan anggota SI. Pada masa itu tidak ada organisasi yang mampu menandingi SI sebagai organisasi massa yang besar.
SI tampil begitu dominan dan menempatkan gambaran diri (self-image) dalam tatanan sosial dan kebudayaan yang baru. Solidaritas “kulit hitam” (bumiputra) merupakan penegasan kelompok “anggota SI” yang mengacu pada diri sendiri sebagai kelompok yang berada di dalam situasi kolonial.
Itu merupakan cermin wawasan “nasionalisme” awal yang berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Betapapun sederhananya kata-kata yang sering digunakan pengurus SI, seperti “perbaikan moral,” “pembela bangsa,” “kesewenang-wenangan penguasa,” dan sejenisnya, organisasi ini tetap memiliki daya tarik tersendiri.
Cita-cita memperbaiki perilaku kehidupan anggota SI juga turut berdampak luas. Menurunnya frekuensi tindak kriminal berupa pencurian dan perjudian di daerah Sumatera Selatan pada 1914, misalnya, seringkali dihubungkan dengan pengaruh SI.
Mayoritas anggota SI yang berasal dari perdesaan mungkin tidak akan terlalu menghiraukan gagasan “nasionalisme” yang diperjuangkan pemimpin SI, kecuali jika menyentuh kebutuhan mendesak mereka saat tekanan-tekanan barn birokrasi pemerintah yang bersifat impersonal tidak dapat lagi dihindari.
Hal itu antara lain dapat dikaitkan dengan kebijaksanaan pemerintah kolonia] pada 1912. Sejak tahun itu diperkenalkan sistem pemerintahan bumiputra (Districts-en Ouderdzktricshoofden). Daerah Palembang diatur dengan sistem pemerintahan tidak-langsung yang memisahkan pejabat bumiputra (IB) dengan pejabat Belanda .
Namun pejabat bumiputra tampaknya belum siap dengan tugas-tugas baru yang harus dijalankan. Tenaga (terdidik) untuk mengisi birokrasi belum begitu banyak.
Rasionalisasi perpajakan dan kerja paksa pun masih bercampur dengan kewenangan tradisional pasirah.
Peraturan 1912 adalah salah satu contoh paradoks kebijaksanaan pemerintah kolonial. Di satu sisi peraturan itu mencoba mengurangi campur tangan pejabat Belanda, namun di sisi lain menggandakan tugas-tugas pejabat bumiputra.
Pemerintah kolonial tidak menghapuskan sistem hukum adat setempat yang lebih menguntungkan kepala-kepala tradisional di samping juga menerapkan wetgeving (perundang-undangan) resmi. Peraturan itu jelas akan semakin membebani sebagian besar penduduk.
Pada 1916, “…campur tangan pemerintah (maksudnya pejabat Belanda) semakin berkurang, tetapi uang ‘Kas Marga’ semakin meningkat…,” ujar seorang pejabat Belanda di Palembang yang berpura-pura heran.
Dana Kas Marga memang mengalami kenaikan karena tradisi perpajakan dan kerja rodi yang berlaku sejak masa Kesultanan Palembang sekarang dapat diganti dengan pembayaran uang.
Namun Pasirah tetap tidak kehilangan hak-hak tradisional dalam memungut pajak dan menuntut kerja paksa dari rakyat yang dikuasainya.
Sebagian besar penduduk perdesaan tetap harus memenuhi kewajiban lama, ditambah kewajiban lain dalam bentuk barn atas nama resmi. Dalam kondisi semacam itu mereka hanya pasrah atau berusaha mengandalkan kekuatan lain.
Sebagaimana terbukti dalam laporan pemerintah, peraturan tahun 1912 ternyata banyak dikeluhkan masyarakat. Mereka melakukan “penghindaran” (avoidance) antara lain dengan ikut bergabung menjadi anggota SI. Propaganda yang disiarkan SI memang menyentuh segi paling pokok dalam kehidupan sehari-hari masyarakat perdesaan: pajak dan kerja paksa.
Tidak mengherankan jika SI menjangkau langsung dan dapat diterima masyarakat perdesaan.
Keberadaan SI nyaris merata di seluruh dusun pedalaman Palembang pada tahun 1915-1916. Hampir setiap warga dusun terdaftar sebagai anggota SI bahkan beberapa di antaranya, seperti Dusun Perajen, Kumbang, Sebalik, Lubuk Lancang, Peldas, Muara Abab, Semuntul, Sungai Rengas, Gasing, Suluh Tapeh, Kotanegara, Berugeh, dan Rantau Bayur, dijuluki sebagai “dusun-dusun SI.
Berbeda dengan penduduk Kota Palembang yang terdaftar sebagai anggota SI.
Minat mereka untuk masuk menjadi anggota SI bukan karena tekanan pajak atau kerja paksa seperti yang dialami penduduk perdesaan, melainkan karena citra kemodernan yang ditampilkan SI.
Ekonomi pasar di Kota Palembang memang tampil lebih mencolok dan mereka yang bergabung dengan SI di samping sentimen keagamaan juga karena prestise; mereka akan merasa “dianggap” bila telah menjadi anggota sebuah organisasi yang belum pernah dikenal sebelumnya.
Terlepas dari daya tarik umum yang mempersatukan anggota SI, perkembangan organisasi ini di Kota Palembang tampaknya lebih merupakan “mode” zaman. Beraneka macam perkumpulan bercorak sosial keagamaan dan ekonomi ada di Palembang sebelum SI memasuki daerah ini.
Namun ruang lingkup dan kegiatan mereka hanya terbatas di tingkat kampung. Misi mereka menjadi lebih luas tatkala SI menjalankan propaganda di antara perkumpulan itu dan di kalangan masyarakat awam.
Terlebih lagi sejak bergabungnya Kiyai Haji Agus Leiman (Sulaiman) bin Moh. Djuir dan Raden Sulaiman bin Abdurrahman, ulama-ulama berpengaruh di Kota Palembang. Penduduk kota yang mendaftarkan diri sebagai anggota SI tampak semakin banyak.
Anggota SI yang memasuki daerah-daerah pedalaman juga semakin banyak. Tanda-tanda munculnya sebuah kekuatan baru segera terlihat.
Seorang penulis anonim dari Palembang menggambarkan hal tersebut dengan artikel berjudul “Pilihan Pasirah” dalam Pantjaran Warta, surat kabar milik SI, pada tanggal 4 Agustus 1916. Karena tidak berdaya mencegah pengaruh SI yang menerobos masuk sampai dusun-dusun lingkungan marga, beberapa pasirah dipecat oleh Kontrolir. Itu dialami oleh pasirah-pasiran dari Sungai Rengas dan Suluh Tapeh, dan dapat dipastikan juga dialami oleh pasirah marga lain.
Kegagalan membendung pengaruh SI di pedalaman, menurut pemerintah kolonial, berarti mengganggu kebijaksanaan pemungutan pajak dan kerja rodi yang merupakan tema utama propaganda SI.
Tambahan pula, sebagian pasirah malah menjadi simpatisan SI yang gigih bahkan beberapa di antaranya bersedia diangkat sebagai pimpinan pengurus SI marga masing-masing. Hal itu dilakukan oleh pasirah dari Marga Pengadonan yang terkenal makmur juga Pasirah Pahing Abdoel Wahid. Selain menjabat Ketua SI Marga Kiti, Komering Ulu, Abdoel Wahid juga dikenal sebagai guru agama dan “khatib” yang sering kali memberikan khotbah Jumat di Dusun Penantian.
Pada awal 1916, pengikut SI yang terdaftar dalam stamboek anggota seluruh daerah Palembang mencapai 33.400 orang; terbesar di antara ketiga cabang SI di luar Jawa. Dua cabang SI lainnya di luar Jawa yang penting adalah Sumatera Barat dan Bolaang Mangondow, Sulawesi Utara.
Berbeda dengan pimpinan SI di kedua daerah itu yang sepenuhnya di tangan tokoh-tokoh setempat, penggerak SI di Palembang banyak dipengaruhi oleh unsur luar. Walaupun pimpinan cabang SI Kota Palembang merupakan campuran tokoh Palembang dan Arab, penggerak utamanya sesungguhnya adalah Bratanata, tokoh dari luar daerah Palembang.
Sumber lain ada menyebut berkembangnya SI di Palembang dan Sumatera Selatan, sejak tahun 1911 dimana SI telah masuk daerah Palembang yang dibawa oleh seorang tokoh SI bernama Raden Gunawan.
Dengan mobilitas yang tinggi, Raden Gunawan dapat menembus sekat-sekat yang telah diciptakan oleh pemerintah kolonial Belanda yang dikenal dengan sebutan politik pecah belah (devide et empera).
Berangkat dari kepiawaiannya sebagai seorang propagandis yang bijak, ia berhasil memobilisasi massa untuk bangkit dan mendirikan Sarekat Islam di seluruh pelosok daerah Karesidenan Palembang.
Agaknya merupakan suatu keajaiban, karena kedatangan Sarekat Islam di daerah ini, bukan saja disambut dan diterima oleh kalangan masyarakat asli (pribumi), melainkan juga telah mendapat simpati dan tanggapan dari golongan masyarakat Timur Asing yang berdomisili di daerah ini seperti orang Arab, orang India dan orang-orang Cina.
Golongan yang disebut terakhir ini secara ekonomis adalah orang yang memegang dan menentukan neraca ekonomi di daerah Palembang. Berbeda dengan di Jawa, di Karesidenan Palembang antara golongan pribumi (penduduk asli) dengan orang-orang Cina terlihat adanya saling pengertian dan mereka dapat bekerja sama, meskipun saat itu masih ada anggapan tabu proses asimilasi.
Demikianlah, berkat peran aktif Raden Gunawan dan sambutan hangat dari tokoh-tokoh atau pemuka masyarakat setempat Sarikat Islam dalam waktu singkat telah menjadi populer di mata rakyat daerah ini.
Pada tahun 1914 SI sudah dapat berdiri di daerah Uluan, seperti di daerah afdeling Pegunungan Palembang. Bahkan organisasi ini telah dapat masuk pada daerah onderafdeling dan marga-marganya.
Adapun daerah-daerah tersebut adalah daerah onderafdeling Rawas dan daerah sekitarnya, daerah onderafdeling Komering Ilir dan daerah sekitamya serta daerah-daerah lainnya. Proses penyebaran SI, seperti telah disebut di atas, tidaklah terlepas dari kegigihan yang dilakukan oleh Raden Gunawan dan peran serta tokoh-tokoh masyarakat setempat.
Untuk itu, langkah pertama yang dilakukan oleh Raden Gunawan adalah mendekati tokoh atau pemuka dan bahkan pejabat setempat. Lewat tokoh-tokoh tersebut SI diperkenalkan secara jelas, baik anggaran dasar maupun tujuannya, sehingga dapat berkembang dengan cepat.
Berkat peran para tokoh itu pula, semua aktivitas SI dapat berjalan dengan lancar.
Sementara itu, kegiatan SI yang dilakukan di daerah afdeling Pegunungan Palembang dan daerah sekitanya tampak berperan ganda. Pada satu sisi, kegiatannya ditujukan untuk menyatukan dan membangkitkan semangat Islam yang telah tenggelam dalam kekuasaan penjajah Belanda. Sedang pada sisi lain, kegiatannya diarahkan terhadap gerakan missionaris Katholik di Tanjungsakti.
Kegiatan missionaris itu, didukung oleh pemerintah Hindia Belanda, bahkanjuga mendapat bantuan dana. Sasaran utamanya adalah meng-katholikan rakyat setempat dengan harapan mereka akan loyal terhadap pemerintahan Hindia Belanda.
Itu semua dilakukan tentu saja untuk melancarkan roda pemerintahan Hindia Belanda. Karena itu untuk menarik perhatian penduduk setempat, terutama lapisan bawah, para missionaris mendirikan sekolah-sekolah, dan poliklinik atau rumah sakit dengan mendatangkan dokter dan perawat.
Dua kegiatan tersebut, dipersiapkan sebagai ujung tombak para missioner. Namun demikian, meskipun ditunjang oleh fasilitas dana dan tenaga, tetapi hasilnya tidak seperti yang mereka harapkan.
Pada umumnya mereka hanya berhasil mempengaruhi masyarakat bawah di Tanjungsakti.
Dengan demikian berdirinya SI di daerah ini saat itu dapat membendung meluasnya pengaruh agama Katholik. Lebih jauh, organisasi tersebut (Sarekat Islam) kemudian dapat memperluas penyebaran agama Islam pada masyarakat yang belum mempunyai dasar keimanan yang kuat.
Kehadiran Sarikat Islam dengan segala aspek kegiatannya terasa semakin kuat pengaruhnya di dalam kehidupan masyarakat daerah ini. Karenanya tidaklah mengherankan, gerakan yang dilakukan oleh SI tersebut menyebabkan banyak orang melepaskan keimanannya sebagai penganut agama Katholik.
Kejadian terus berlanjut dan mencapai puncaknya pada bulan Juli-Agustus 1914. Ketika itu pada setiap malam berpuluh-puluh orang melaporkan diri, bahwa mereka telah memeluk agama Islam.
Proses ini terus berlanjut sampai pada tahun 1916, meskipunjumlahnya berkurang tetapi penganut agama Islam terus bertambah. Pada tahun 1914 SI telah berdiri di Labat, ibukota afdeling Pegunungan Palembang.
Berdirinya SI di daerah tersebut juga atas jasa Raden Gunawan, dan tokoh-tokoh daerah ini seperti Anang Abdurrahman, dibantu oleh kawan-kawannya.
Dalam waktu singkat organisasi ini berhasil mempunyai pengikut yang cukup besar jumlahnya. Kemudian terus meluaskan pengaruhnya sampai ke pelosok-pelosok, seperti pada marga-marga dan dusun-dusun.
Sehingga dalam periode 1914-1920, anggota SI di Onderafdeling Lematang Ulu sudah tercatat + 5.000 orang.
Pemimpin-pemimpin SI di daerah yang terkenal antara lain adalah Anang Abdurrahman sebagai Presiden SI Lokal daerah Lahat, Nang Buyung dan M. Nasir sebagai Presiden SI Lokal Lematang Ulu, dan Haji Muhammad Apil sebagai Presiden SI Lokal Marga Gumai Lembak yang termasuk daerah onderafdeling Lematang Ulu. Sedang Presiden SI lokal onderafdeling Lematang Ilir, yang beribukota Muara Enim adalah Sahim. Presiden SI Lokal daerah Langkayat adalah Dulwahid dan sebagai Presiden SI Lokal daerah Tanah Abang adalah Topah.
Dalam tahun 1914 Raden Gunawan memasuki daerah Pagaralam, daerah onderafdeling Pasemah dan berhasil mendirikan cabang SI di daerah tersebut.
Tokoh setempat yang ikut mendirikan organisasi tersebut adalah seorang Pesirah bernama Sanibar Sadat, dan dialah yang kemudian menjadi Presiden SI Lokal yang pertama.
Tetapi tanpa alasan yang jelas ia kemudian mengundurkan diri. Sementara orang menduga hal itu terjadi karena ia seorang Pesirah yang merupakan bagian dari pegawai pemerintah Hindia Belanda.
Mungkin tindakan itu terpaksa dilakukan karena ia mendapat ancaman atasannya. Karena itu, demi kelancaran pergerakan SI, ia menyerahkan jabatan tersebut kepada orang yang geraknya lebih bebas.
Untuk mengisi kekosongan pimpinan SI Lokal Cabang Lahat, maka diadakan rapat anggota. Rapat berhasil menetapkan Aburahim bin Alis sebagai ketua, dengan Tame sebagai wakil dan Senamak Penantian sebagai sekretaris.
Susunan 50 pengurus baru ini kemudian dilaporankan kepada Pengurus Pusat SI di Surabaya.
Tidak lama kemudian datanglah Surat Keputusan Ketua Pusat SI, Umar Said Cokroaminoto, tentang pengangkatan Aburahim bin Alis sebagai Ketua SI Lokal cabang Pagaralam.
Mengikuti mobilitas SI di Karesidenan Palembang, agaknya cukup menarik untuk mengungkapkan perjuangan organisasi ini di daerah Bingin Teluk, onderaf deling Rawas Ilir. Berdirinya SI di daerah ini juga tidak terlepas dari peranan Raden Gunawan. Seperti di tempat-tempat lain
Kedatangannya di Bingin Teluk, onderafdeling Rawas Dir, Raden Gunawan disambut dengan semangat oleh Pesirah Abdulhamid dan kawan-kawannya.
Ketika itu Abdulhamid sedang menjabat Pesirah (Dipati) di marga Suka Pindah. Setelah mendapat penjelasan dan pengarahan dari Raden Gunawan, Pesirah Abdulhamid beserta kawan-kawan langsung mendirikan cabang SI di Bingin Teluk.
Pengurus SI Cabang Bingin Teluk adalah Abdulhamid bin Setipal sebagai presiden (ketua) Lokal, Dulhaji bin Sebayan sebagai sekretaris dan Dulkasip bin Setipal, adik Pesirah sebagai bendahara. Tersusunnya pengurus Sarikat Islam di daerah ini telah memperlancar penyaluran informasi-informasi penting organisasi tersebut kepada penduduk di daerah ini dan daerah sekitarnya.
Sehingga dalam waktu singkat pengaruhnya telah tersebar luas di kalangan penduduk. ***
Sumber :
1. Kepialangan Politik dan Revolusi ; Palembang 1900-1950, Mestika Zed, LP3ES, Jakarta , April 2003
2. Sarekat Islam dan Pergerakan Politik di Palembang, Dra. Triana Wulandari, Muchtaruddin Ibrahim, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta , 2001
3. Republik Indonesia, Propinsi Sumatera Selatan, Kementrian Penerangan, Siliwangi-Jakarta, Agustus 1954
sumber: palpres.com