Jakarta,Nusantaratodays.com-“Bukti Nyata, Konglomerasi Media Penyiaran Telah Merusak Tatanan dan Sistem Penyiaran Indonesia sesuai dengan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan Negara Harus Hadir Demi Menjaga Kepentingan Bangsa dan Negara Melalui Penyiaran” Ucap Bintang Perwakilan dari MPR-PI (Mahasiswa, Pemuda Revolusi – Penyiaran Indonesia)
Padahal kita ketahui bersama, TV Swasta ini seperti Indosiar dan SCTV menurut Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 merupakan Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) yang sumber pendapatannya berasal dari siaran iklan dan dalam bersiaran menggunakan frekuensi milik publik (free to air). Dan sebagai upaya membantu Negara dalam mewujudkan pemerataan informasi kepada masyarakat yang tidak terjangkau layanan siaran oleh TV Swasta tersebut, UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mengharuskan TV-TV Berlangganan baik melalui Kabel dan Satelit diharuskan menyediakan dan menyalurkan program siaran dari TV Publik dan TV Swasta.
Menurut Bintang, Ketua Umum Pengurus Besar Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (PB SEMMI) dan juga perwakilan dari Mahasiswa, Pemuda Revolusi – Penyiaran Indonesia (MPR-PI) yang juga getol dalam menjaga kepentingan bangsa dan Negara melalui Sistem Penyiaran Indonesia saat ini, bahwa di Provinsi Kepulauan Riau telah terjadi kriminalisasi terhadap puluhan UKM TV Kabel oleh konglomerasi media penyiaran.
“Telah terjadi kriminalisasi puluhan UKM TV Kabel di Provinsi Kepulauan Riau oleh Konglomerasi Media Penyiaran yaitu dengan melaporkan mereka di Kepolisian Daerah Kepulauan Riau atas dasar tindak pidana penayangan siaran TV Swasta SCTV dan Indosiar yang dikuasi oleh mereka. Padahal dalam UU Penyiaran telah diatur bahwa UKM TV Kabel diharuskan untuk menyediakan dan menyalurkan siaran-siaran TV Publik dan TV Swsata minimal 10 % dari total kanal siaran mereka, apalagi TV-TV Kabel ini berlokasi di wilayah terdepan dalam perbatasan Indonsia dengan Singapora. Dan hal ini juga telah diatur dalam UU Penyiaran bahwa penyiaran bertujuan untuk memperkukuh integritas nasional dan menjamin masyarakat memperoleh informasi yang layak dan benar sesaui dengan hak asasi manusia”, ujar Bintang
Dan senada dengan hal tersebut, Arven Marta Direktur Bakornas LEMI PB HMI mengatakan telah terdapat satu UKM TV Kabel di Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau yang sudah mendapatkan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) dari Negara melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika RI telah ditetapkan menjadi tersangka oleh Reskrimsus Kepolisian Daerah Kepulauan Riau atas dasar laporan dari pihak yang merasa dirugikan.
Beliau juga mempertanyakan keputusan penyidik Direksrimsus Polda Kepulauan RI dalam menetapkan status tersangka kepada UKM TV Kabel tersebut.
Kami mendesak kepada para pihak yang terkait untuk segera dapat membereskan kekacauan dalam dunia penyiaran Indonesia saat ini, apalagi dengan semena-menanya konglomerasi media penyiaran saat ini yang tidak lagi mementingkan kepentingan bangsa dan Negara.
Sudah saatnya kepentingan bangsa dan Negara didahulukan daripada kepentingan bisnis. Akankah kita rela bahwa sistem penyiaran kita hanya diatur untuk kepentingan para konglomerasi media penyiaran saja, dan bukan lagi untuk kepentingan rakyat Indonesia
Sistem Penyiaran Indonesia sudah diatur dengan baik dan adil melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dimana dalam Pasal 2 menyebutkan bahwa Penyiaran diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan, dan tanggung jawab, dan Pasal 3 menegaskan bahwa Penyiaran diselenggarakan dengan “tujuan” untuk memperkukuh integrasi
nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran
Indonesia.
Serta dalam UU Penyiaran juga sudah mengatur tentang Jasa Penyiaran diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Publik (LPP), Lembaga Penyiaran Swasta (LPS), Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK) dan Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB) yang semuanya sudah dikelola dengan adil dan teratur dengan menggunakan filosofi diversity of content (keberagaman siaran) dan diversity of ownership (keberagaman kepemilikan).
Namun, kehadiran konglomerasi media dalam bidang penyiaran saat ini sudah tidak lagi menjunjung tinggi asas, tujuan, fungsi dan arah sistem penyiaran Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Hal ini terbukti dengan terpusatnya kepemilikan dan kepemilikan silang
lembaga penyiaran oleh beberapa konglomerasi media Indonesia. Tentunya ini menjadi bukti bahwa telah terjadinya pengingkaran terhadap amanat Undang-Undang Penyiaran dan hal ini
jugalah yang telah membuat carut-marut-nya sistem penyiaran Indonesia saat ini, terutama dengan melakukan praktek-praktek kotor dalam bidang penyiaran.
Bukti nyata bahwa konglomerasi media saat ini telah melakukan praktek kotor bidang penyiaran yaitu dengan melakukan tindakan kriminalisasi TV Berlangganan dengan dalil-dalil melakukan komersialisasi siaran free to air (Televisi Swasta) yang tergabung dalam group konglomerasi media yang mereka miliki. Padahal dalam Undang-Undang Penyiaran sudah mengatur tentang pentingnya pendistribusian informasi kepada seluruh rakyat Indonesia terutama di wilayah pedalaman (wilayah ekonomi kurang maju) dan wilayah-wilayah perbatasan Republik Indonesia yang belum terjangkau oleh TV Publik maupun TV Swasta.
Dan dalam Pasal 26 ayat (2) Poin (b),
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sudah sangat jelas disebutkan bahwa Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB) “diharuskan” menyediakan paling sedikit 10%
(sepuluh per seratus) dari kapasitas kanal saluran untuk menyalurkan program dari Lembaga Penyiaran Publik (TV Publik) dan Lembaga Penyiaran Swasta (TV Swasta).
Namun tetap saja, kebringasan dari konglomerasi media penyiaran Indonesia saat ini tidak mengindahkan bahkan tidak memperdulikan amanat Undang-Undang Penyiaran tersebut.
Bahkan dengan “kuasa” yang mereka punya, tindakan semena-mena terhadap TV Berlangganan yang sedang menjalankan amanat Undang-Undang Penyiaran di seluruh Indonesia tetap saja
dilakukan tanpa memperhatikan lagi tujuan dan fungsi sistem penyiaran Indonesia.
Dengan kata lain, tindakan semena-mena konglomerasi media penyiaran saat ini sudah tidak lagi mementingkan kepentingan Bangsa dan Negara.
Buat mereka, kepentingan bisnis jauh lebih diutamakan daripada kepentingan Bangsa dan Negara. Dan tentu saja hal ini membuat sistem persaingan yang tidak sehat antarlembaga penyiaran.
Atas hal tersebut, sudah pasti rakyat Indonesia yang menjadi korban atas kelakukan praktek-praktek kotor para konglomerasi media ini.
Kondisi ini semakin di perparah, ketika para pihak yang seharusnya memiliki tanggungjawab untuk mengatur tentang penyiaran di Indonesia yaitu Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo RI) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) malah seakan-akan melepaskan tangungjawabnya dalam persoalan ini.
Sampai dengan persoalan ini, ada yang sudah berujung kepada aparat penegakan hukum dan bahkan sudah ada yang sampai ke meja hijau (pengadilan), Kemenkominfo RI dan KPI tidak sedikitpun bergeming dengan kondisi ini.
Maka untuk itu, kami meminta Menteri Kominfo RI yang baru saja dilantik, Bapak Johny G Plate dapat menuntaskan persoalan ini demi menjaga marwah sistem penyiaran Indonesia yang bukan hanya milik para konglomerasi media saja, tapi milik semua rakyat Indonesia.
UKM TV Kabel di wilayah Kepulauan Riau yang menjadi wilayah perbatasan Negara Republik Indonesia sedang membantu Negara dalam mendistribusikan informasi dan berita kepada rakyat yang tidak terpapar cukup informasi, apalagi terkait dengan tingkat nasionalisme rakyat di wilayah perbatasan yang begitu dekat dengan Negara Singapura. Dan Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat tergadaikan apabila rakyat Indonesia menjadi terbatas untuk mendapatkan informasi tentang Negara Republik Indonesia melalui sistem penyiaran.
Maka berdasarkan paparan semua ini, kami yang tergabung dalam Aliansi Layanan Media Indonesia (ALAMI), Asosasi Gabungan Operator Televisi (GOTV) Kabel Indonesia dan Indonesian Cable Television Association (ICTA) mengeluarkan 3 tuntutan diantaranya:
1. Meminta Bapak Presiden RI, Joko Widodo untuk memberikan peringatan tegas kepada para konglomerasi media penyiaran di Indonesia yang telah membuat carut-marut-nya sistem penyiaran Indonesia dan sudah seharusnya Negara harus hadir demi menjaga kepentingan Bangsa dan Negara melalui Penyiaran Indonesia.
2. Mendesak Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Bapak Johny G Plate dapat segera menuntaskan persoalan terkait dengan penayangan siaran free to air (TV Swasta) oleh TV Berlangganan demi menjaga marwah sistem penyiaran Indonesia yang bukan hanya milik para konglomerasi media saja, tapi milik semua rakyat Indonesia.
3. Mendesak Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) untuk segera menghentikan penyidikan terhadap beberapa TV Berlangganan yang sedang diproses oleh Kepolisian Daerah Kepulauan Riau melalui Ditreskrimsus, serta segera menerbitkan Surat Edaran
kepada seluruh Kepolisian Daerah c/q Ditreskrimsus di seluruh Indonesia bahwa TV Berlangganan baik melalui kabel dan satelit yang sudah memiliki Izin Penyelenggaran Penyiaran (IPP) ketika menayangkan siaran free to air (TV Swasta) bukan merupakan pelanggaran hukum bahkan TV Berlangganan sedang menjalankan perintah Undang-
Undang Penyiaran dan membantu Negara Republik Indonesia dalam mendistribusikan informasi dan berita kepada rakyat Indonesia.(Muhidin)
sumber: nusantaratodays.com