Banten dan Sumatra Barat terkenal sebagai wilayah Islam ortodoks. Namun, pernah melawan otoritas kolonial di bawah bendera komunisme.
Pada pertengahan 1925, bengkel sepeda itu digunakan sebagai tempat pertemuan pertama PKI Banten. Serangkaian pertemuan pun dilakukan sampai PKI berdiri resmi sebagai cabang ke-37 di Hindia Belanda. Beberapa tokoh turut dalam pertemuan tersebut, antara lain Puradisastra, Tb Alipan, Tb Hilman, Lee Eng Hock dan Aliarcham, dan Achmad Bassaif.
Dalam Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, Michael C. Williams menjelaskan pertemuan di bengkel sepeda itu membahas cara meraih simpati warga Banten. Orang Banten dikenal sebagai penganut agama Islam yang ortodoks dan masih menempatkan pewaris Kesultanan Banten pada posisi terhormat. Situasi tersebut menurut Else Ensering dalam “Banten in Times of Revolution” mau tak mau membuat PKI yang menyesuaikan dengan kenyataan masyarakat Banten.
“Untuk menggerakkan Banten yang dikenal hanya bisa menerima orang-orang asli Banten sebagai kawan seperjuangan mereka, hanya orang-orang menak dan telah jadi komunis yang dikirim ke sana,” tulis Else. Sementara itu untuk meraih simpati dari kalangan Islam, PKI menugaskan Achmad Bassaif, seorang Arab-Banten yang fasih berbahasa Arab.
Bergabungnya kaum agamawan di Banten dalam PKI tak lepas dari konflik internal Sarekat Islam. Tak hanya di tingkat kepengurusan pusat Sarekat Islam (Central Sarekat Islam, CSI) tapi juga di tingkat lokal Banten. Ketua Sarekat Islam Banten dipegang Hasan Djajadiningrat, saudara lelaki ahli sejarah Banten, Husein Djajadiningrat.
Di bawah kepemimpinannya, Sarekat Islam menjadi organisasi moderat yang tak memberikan tempat bagi ulama dan jawara Banten. Sarekat Islam di tangan Hasan, menurut Michael Williams, telah gagal menjadi sandaran pengharapan bagi orang-orang Banten yang menghendaki perubahan dalam kehidupan mereka.
Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888: Kondisi, Jalan Peristiwa dan Kelanjutannya, mengungkapkan kondisi sosial ekonomi masyarakat Banten yang terpuruk sejak abad ke-19. Masuknya pengaruh Barat dalam tata pemerintahan, bencana alam, gagal panen dan tingginya angka pajak membelit kehidupan orang Banten.
Pecahnya Sarekat Islam jadi dua, Merah dan Putih, demikian Williams, “hampir tidak mempengaruhi apapun dalam masyarakat Banten.” Williams menambahkan bahwa pertumbuhan PKI di Banten secara efektif merombak kondisi isolatif wilayah ini.
Ketika Hasan meninggal pada 1920, tampuk kepemimpinan Sarekat Islam dipegang oleh Achmad Chatib. Di tangannya, radikalisme Sarekat Islam mulai tumbuh. Dalam sebuah pertemuan, Chatib mengatakan, “bila melindungi agama adalah satu dari tujuan PKI maka saya pun sepakat.”
Chatib kemudian dinobatkan sebagai “Presiden Agama PKI Seksi Banten.” Dia sepenuhnya bertanggungjawab terhadap jalannya aktivitas PKI karena pemerintah kolonial telah melakukakan banyak penangkapan terhadap para pemimpin PKI di Banten, seperti Tubagus Hilman dan Ali Mamak, yang telah terlibih dahulu ditahan karena aktivitas politiknya.
Minang Kiri Menantang
Tokoh yang berperan dalam membawa dan mengembangkan PKI di Sumatra Barat adalah Haji Datuk Batuah. Setelah lulus sekolah dasar Belanda, dia menuntut ilmu ke Mekkah selama enam tahun. Sekembalinya ke Sumatra Barat, dia menjadi murid Haji Rasul, ayah Buya Hamka. Dia dianggap sebagai salah satu murid Haji Rasul yang pintar dan dinamis sehingga menjadi asistennya di Perguruan Sumatra Thawalib selama tahun 1915.
Pada 1923, Haji Datuk Batuah mengadakan perjalanan keliling Sumatra dan Jawa. Dia bertemu Natar Zainuddin di Aceh. Di Jawa, dia bertemu dengan para pemimpin PKI termasuk Haji Mohammad Misbach, anggota Sarekat Islam berpengaruh di Surakarta, yang sekeluarnya dari penjara pada 1922 memilih bergabung dengan PKI.
Misbach berpendapat bahwa dengan memilih bergabung dengan pihak komunis berarti dia “membuktikan keislamannya yang sesungguhnya.” “Tokoh muslim ini jelas sangat besar pengaruhnya terhadap Datuk Batuah,” tulis Audrey R. Kahin dalam Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia, 1926-1998.
Pandangan Haji Misbach menarik minat Datuk Batuah. Sekembalinya ke Sumatra Barat, dia menyebarkan pandangan itu di Perguruan Sumatra Thawalib dan di koran Pemandangan Islam yang didirikannya bersama Djamaluddin Tamim. Pemandangan Islam dan Djago-djago yang didirikan Natar Zainuddin sama-sama menyuarakan kesamaan antara Islam dan komunisme dalam perjuangan menentang kapitalisme dan kolonialisme.
Belanda menangkap Datuk Batuah dan Natar Zainudin pada November 1923. Setelah ditahan di Padang, keduanya diasingkan ke Timor dan kemudian dipindahkan ke Boven Digul pada awal 1927. Djamaludin Tamin juga ditangkap pada Desember 1923.
Setelah penangkapan orang-orang radikal di Sumatra Thawalib, Sekolah Rakyat didirikan di Padang Panjang mengikuti pola sekolah yang didirikan Tan Malaka di Semarang. Organisasi kepemudaan PKI, seperti Sarikat Rakyat dan Barisan Muda berkantor pusat di Sekolah Rakyat. Organisasi ini menyebar ke seluruh Sumatra Barat. Barisan Muda kemudian berganti nama menjadi Internationale Padvinder Organisatie (IPO) atau Organisasi Pandu Internasional dengan slogan “Pemuda sedunia bersatulah!”
“Dengan demikian, basis utama PKI dan Sarikat Rakyat di Padang Panjang adalah di sekolah-sekolah. Para guru dan murid-murid sekolah, khususnya di perguruan agama-modernis, percaya bahwa komunis sesuai ajaran Islam,” tulis Kahin.
Selain di Padang Panjang, gerakan komunis juga tumbuh di Silungkang. Saudagar Sulaiman Labai mendirikan cabang Sarekat Islam di Silungkang pada 1915. Ketika berubah menjadi Sarikat Rakyat pada 1924, sebagian besar anggotanya ikut dengan para pemimpinnya menjadi anggota komunis.
Di Padang, Sutan Said Ali mendirikan PKI pada 1923. Belanda segera menangkapnya. Kendati demikian, Padang tetap penting bagi gerakan komunis, sebab PKI menargetkan kota ini sebagai pusat pengembangan komunis di Sumatra Barat.
Menurut Kahin, gerakan komunis di ketiga pusat utama di Sumatra Barat ini saling bertalian. Di Padang Panjang, tulang punggung gerakan adalah para ulama dan murid-murid perguruan Islam dengan tokoh panutan adalah Tan Malaka. Di Silungkang, para saudagar dan pengusaha kecil menjadi tokoh-tokohnya. Mereka menjalin hubungan yang kuat dengan buruh-buruh tambang di Sawahlunto, dan tetap berpedoman kepada kepemimpinan di Padang Panjang. Gerakan komunis di Padang memang mendapat dukungan para ulama dan perguruan-perguruan Islam, tetapi lebih mengandalkan pada komunitas pedagang. Selain itu, hubungannya lebih dekat dengan para pemimpin PKI di Jawa.
Huru-Hara
Aliansi Islam-komunis di Banten bermuara pada peristiwa pemberontakan PKI pada 12 November 1926. Huru-hara terjadi di Batavia, beberapa daerah di Jawa Tengah dan yang menggemparkan di Banten, menyusul kemudian di Silungkang, Sumatra Barat pada Januari 1927.
Di Banten, insiden yang menimbulkan kegemparan terjadi di Menes dan Labuan. Dua kota kecil itu dikepung pemberontak setelah beberapa hari sebelumnya rapat umum mendaulat Achmad Chatib sebagai pembicaranya. Asisten Wedana Labuan Mas Wiriadikoesoema dan keluarganya ditangkap. Seorang pengawas kereta api Benjamins di Menes tewas di tangan pemberontak.
Sebelum dibunuh para pemberontak, Benjamins sempat memohon ampun dan menyatakan akan masuk Islam. Namun para pemberontak memutuskan untuk membunuhnya. Mayatnya dibiarkan tergeletak di tepian rel. Sementara itu para pemberontak juga menghabisi nyawa dua polisi. Target utama kaum pemberontak di Menes, Wedana Raden Partadiningrat dan pengawalnya sempat melakukan perlawanan. Namun akhirnya para pemberontak membunuh mereka. Dua orang pemberontak, Djaimoen dan Haji Entje, tewas dalam baku tembak tersebut.
Pemberontakan tak berlangsung lama. Kabar segera tersiar sampai Batavia. Pemerintah kolonial segera mengirim satu kompi polisi bersenjata. Baku tembak terjadi di Menes dan Labuan. Para pemimpin pemberontakan dengan cepat dapat diringkus. Sebagian melarikan diri dan baru muncul bertahun kemudian sebagai aktivis politik bawah tanah dari partai yang telah dibubarkan itu.
Penangkapan demi penangkapan segera dilakukan. Tidak hanya di Menes dan Labuan, serangkaian razia dilancarkan oleh pemerintah kolonial di Rangkasbitung, Pandeglang dan Serang. Ratusan orang ditangkap, puluhan di antaranya harus menerima hukuman penjara dan kerja paksa.
Empat orang pemberontak dihukum mati. Mereka adalah Jas’a, Jamin, Doelsalam, dan Haji Asikin. Semua berasal dari Menes dan bertanggungjawab atas pembunuhan Benjamins. Para pemimpin PKI lainnya dibuang ke Boven Digul, pembuangan yang secara khusus dibuat oleh pemerintah kolonial untuk menahan pelaku peristiwa emberontakan PKI 1926 dari seluruh Hindia Belanda.
Kemudian Boven Digul tak hanya digunakan sebagai tempat penahanan bagi kaum komunis saja. Beberapa pemimpin gerakan nasionalis, seperti Hatta dan Sjahrir pun ikut diasingkan ke pedalaman Papua yang dibayang-bayangi kelamnya wabah malaria hitam.
Sementara itu, sebelum pemberontakan pecah, pada September 1926 Tan Malaka yang menentang pemberontakan memerintahkan agar semua pengikutnya meninggalkan Sumatra Barat. Sebab, apabila pemberontakan gagal, Belanda akan menumpas gerakan komunis secara keseluruhan. Arif Fadlillah, ketua PKI seksi Padang Panjang, melaksanakan perintah itu dan menentang keras keinginan PKI seksi Silungkang dan seksi Padang ikut pemberontakan.
“Larangan Arif Fadlillah agar tidak ambil bagian dalam pemberontakan menyebabkan Silungkang memutuskan menunggu terlebih dahulu hasil dari pemberontakan di Jawa,” tulis Kahin.
Persiapan pemberontakan menjadi kacau ketika Belanda menangkap Mohammad Nur Ibrahim, ketua PKI seksi Padang pada 14 November 1926. Belanda juga menangkap sekira 20 orang aktivis terkemuka.
Orang-orang komunis di Sumatra Barat mengetahui dari suratkabar bahwa Belanda berhasil menimpas pemberontakan di Batavia, tetapi pemberontakan terus berlanjut di Banten. Mereka juga menyadari sebagian besar pimpinan PKI ditangkap atau melarikan diri. Namun, seorang pemimpin PKI Sumatra Barat yang kembali dari Jawa membawa pesan bahwa pemberontakan akan dilakukan pada 1 Januari 1927.
Pemberontakan pun pecah di kurang lebih 18 nagari di sekitar Silungkang. Peristiwa paling berdarah terjadi pada 3 Januari 1927. Para pemberontak membunuh sekira 24 orang antara lain sejumlah guru, pegawai jawatan pertanian, pandai emas, dan kepala stasiun kereta api, termasuk Mr. Leurs, mandor Belanda yang bertugas di departemen pekerjaan umum.
Pertempuran-pertempuran kecil dan pembunuhan tokoh-tokoh tertentu terus berlanjut selama beberapa hari, bahkan di beberapa tempat sampai berminggu-minggu. Belanda melakukan pembalasan dengan menangkap ribuan tersangka. Dari sekira tiga ribu orang yang ditangkap, beberapa ratus orang dilepaskan. Tiga pemimpin pemberontakan, Kaharuddin Manggulung, M. Jusuf Sampono Kayo, dan Ibrahim Melawas, dihukum mati. Persidangan berlangsung sampai pertengahan tahun 1928. Orang-orang yang hukumannya di bawah dua tahun di penjara di Sawahlunto, sedangkan lainnya dikirim ke penjara-penjara di Jawa seperti Glodok, Cipinang, dan Ambarawa, dan banyak pula yang dibuang ke Boven Digul.
“Dampak terbesar dari pemberontakan tersebut adalah Belanda punya alasan untuk menumpas tidak hanya para anggota PKI tetapi juga semua aktivitas politik di daerah ini. Itu juga menjadi faktor yang membuat Tan Malaka berpisah selamanya dari PKI, yang memintanya bertanggungjawab atas kegagalan pemberontakan itu,” tulis Kahin.
Ketemu di Jalan
Menurut Dawam Rahardjo, aliansi Islam dengan komunisme di masa lalu tidak didesain secara sengaja. “Islam dan komunisme itu ketemu di jalan,” katanya dalam acara diskusi “Islam dan Marxisme” di Komunitas Salihara, Jakarta, 11 Desember 2013.
Peristiwa pemberontakan PKI di Banten 1926 memang menunjukkan adanya pertemuan kepentingan yang sama antara Islam dan komunisme. Gerakan tarekat di Banten selama beberapa abad menjadi landasan melancarkan perang sabil terhadap kekuasaan kolonial yang asing dan “kafir”. Sementara kaum komunis memandang pemerintah kolonial wujud dari kekuasaan kaum modal di Indonesia.
Paling tidak dua kali dalam seabad, terjadi pemberontakan melawan otoritas kolonial di Banten. Pada abad 19, pemberontakan pertama terjadi di tahun 1854 dipimpin Haji Wakhia dan kedua 1888 dipimpin Haji Wasid. Daftar pemberontakan semakin panjang apabila ditambah peristiwa lokal lainnya mulai dari Mas Jakaria (1811), Mas Haji dan Mas Rakka (1818-1819), Mas Raye (1827), Nyi Gumparo (1836), dan peristiwa pemberontakan yang gagal dipimpin Ratu Bagus Ali dan Mas Jabeng (1839). Semua dapat ditumpas oleh pemerintah kolonial.
Pascakegagalan pemberontakan yang dimotori oleh gerakan tarekat pada abad ke-19 itu, gerakan tarekat diawasi secara ketat di Banten. Else Ensering mengatakan ketika PKI masuk ke Banten, sebagian anggotanya juga adalah jamaah tarekat yang aktif. Bahkan menurut Michael Williams, sebagian pengikut PKI merupakan keturunan para pemberontak peristiwa 1888.
Riwayat kegagalan di masa lalu, kondisi sosial ekonomi yang makin menurun dan adanya harapan baru yang diusung oleh PKI membuat “pertemuan di jalan” itu berakhir sebagai pemberontakan. Kisah perlawanan di Banten memang tak berhenti sampai tahun 1926. Para revolusioner yang pulang dari pengasingan di luar negeri dan pembuangan di Boven Digul, kembali memainkan peranan pada revolusi sosial di Banten pengujung 1945-1946.
Pemberontakan PKI di Banten 1926 dan di Sumatra Barat 1927, kendati mengalami kegagalan dan mendapatkan tuduhan dari Tan Malaka sebagai “demam revolusi”, telah mencatatkan diri sebagai perlawanan pertama terhadap pemerintah kolonial dalam sejarah modern di Indonesia.
sumber: historia.id