TRIBUN-VIDEO.COM – Hadji Oemar Said (H.O.S.) Tjokroaminoto adalah pemimpin dan tokoh terkemuka dari Sarekat Islam (SI).
Tjokroaminoto memimpin SI sejak 1914 sampai 17 Desember 1934.
Di bawah kepemimpinan Tjokroaminoto, Sarekat Islam sempat menjadi salah satu organisasi massa terbesar dalam sejarah pergerakan nasional.
Tjokroaminoto lahir di Bakur, Madiun, Jawa Timur, tanggal 16 Agustus 1882.
Tjokroaminoto lahir dari keturunan bangsawan namun meninggalkan gelar kebangsawanannya saat pulang dari haji.
Sering diberi julukan sebagai guru bangsa, sosok Tjokroaminoto begitu kuat di tokoh-tokoh seperti: Soekarno, Semaoen, Musso, Alimin, dan Kartosuwirjo.
Tokoh-tokoh tersebut pernah singgah dan menetap di rumah kos Tjokroaminoto.
Gagasan Tjokroaminoto yang terkenal adalah Islam dan Sosialisme, yang kemudian diterjemahkan lanjut oleh para pengikutnya.
Selanjutnya, gagasan tentang zelfbestuur (pemerintahan sendiri) bagi rakyat Indonesia yang kemudian dimanifestasikan dalam perjuangan kemerdekaan.
Berkat jasa-jasanya, pada tahun 1961, atas nama Pemerintah Republik Indonesia, Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto diberi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Soekarno.
Kehidupan Pribadi
Tjokroaminoto adalah keturunan dari Kyai Bagoes Kesan Besari yaitu seorang ulama yang memiliki pondok pesantren di Desa Tegal Sari, Kabupaten Ponorogo, Karesidenan Madiun, Jawa Timur.
Kyai Bagoes Kesan Besari kemudian memperistri seorang putri Susuhunan II.
Disinilah awal mula darah bangsawan dari silsilah keluarga Tjokroaminoto terbentuk
Dari perkawinannya dengan putri Susuhunan tersebut Kyai Bagoes Kesan Besari dikaruniai seorang putra, yaitu Raden Mas Adipati Tjokronegoro (Kakek Tjokroaminoto).
Raden Mas Adipati Tjokronegoro tidak mengikuti jejak ayahnya, ia terjun dalam bidang pamong praja atau pegawai pemerintah.
Selama menjabat, kakek Tjokroaminoto ini pernah menjadi Bupati Ponorogo.
Tjokronegoro mempunyai ayah bernama Raden Mas Tjokroamiseno.
Raden Mas Tjokroamiseno meneruskan bidang pekerjaan ayahnya dengan menjabat sebagai pegawai pamong praja.
Raden Mas Tjokroamiseno mempunyai 12 orang anak, salah satunya adalah Raden Mas Oemar Said Tjokroaminoto selaku anak kedua.
Raden Mas Hadji Oemar Said Tjokroaminoto terlahir dengan nama kecil Oemar Said.
Nama “Raden Mas” adalah gelar yang ia dapatkan dari keturunan bangsawan Surakarta, cucu Susuhunan.
Sedangkan gelar “Hadji” adalah simbol kealiman, ketaatan seseorang dalam menjalankan ajaran agama Islam.
Setelah menunaikan ibadah haji, Tjokroaminoto meninggalkan gelar keningratannya dan lebih suka memperkenalkan diri dengan nama Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau lebih dikenal H.O.S Tjokroaminoto.
Tjokroaminoto adalah seorang anak yang nakal dan pemberani.
Karena kenakalan dan keberaniannya pulalah maka semasa di bangku sekolah ia sering dikeluarkan dari sekolah yang satu ke sekolah yang lain.
Walaupun nakal, namun Tjokroaminoto tergolong siswa yang cerdas.
Hal itu dibuktikan ia lulus pada tahun 1902, dari Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Magelang.
OSVIA adalah sekolah bagi calon abdi negara pemerintahan Hindia Belanda.
Tjokroaminoto sebagai anak priyayi, tentu mengalami masa perjodohan.
Ia dijodohkan dengan Raden Ajeng Soeharsikin, yaitu putri seorang patih wakil bupati Ponorogo.
Walaupun tidak berpendidikan tinggi, Soeharsikin gemar menyukai pengajaran dan pengajian agama.
Tjokroaminoto dan Soeharsikin mempunyai 5 (lima) orang anak bernama Siti Oetari, Oetarjo alias Anwar, Harsono alias Moestafa Kamil, Siti Islamijah, dan Soejoet Ahmad.
Untuk membantu ekonomi keluarga, Soeharsikin membuka rumahnya untuk indekos para pelajar di Surabaya.
Soeharsikin, istri Tjokroaminoto, menyadari penuh kondisi yang dialami rumah tangganya.
Sebagai seorang petinggi Sarekat Islam, Tjokroaminoto jarang berada di rumah.
Permasalahan tersebut membuatnya ingin membantu meringankan kebutuhan rumah tangga.
Untuk melaksanakan maksudnya, ia tidak perlu meninggalkan rumah. Ia membuka rumahnya di Gang 7 Peneleh sebagai tempat kost.
Biaya yang dikenakan kepada para pelajar untuk tinggal di rumahnya, kemudian menjadi pendapatan yang mampu meringankan kebutuhan rumah tangga Soeharsikin dan Tjokroaminoto.
Di antara siswa yang tinggal di kos tersebut adalah Soekarno, Kartosoewiryo, Sampoerno, dan Abikoesno, Alimin dan Moesso.
Mereka tidak hanya makan dan tidur di rumah Tjokroaminoto, tetapi juga berdiskusi baik dengan sesama teman maupun dengan Tjokroaminoto.
Sehingga rumah Tjokroaminoto saat itu penuh dengan diskursus ideologi-ideologi besar.
Dari rumah indekos inilah, Tjokroaminoto dikenal sebagai guru bagi tokoh-tokoh yang ke depannya sangat berpengaruh, seperti Sukarno, Semaoen, Musso, dan Kartosoewirjo.
Tjokroaminoto sering disebut juga sebagai bapak bangsa karena jasa dan perannya.
Riwayat Pendidikan & Pekerjaan
Tjokroaminoto masuk sekolah di (Opleidings School Voor Inlandsche Ambtenaren) OSVIA dan lulus tahun 1902.
Kemudian, pada tahun 1907-1910, Tjokroaminoto sempat mengikuti pendidikan di sekolah B.A.S (Burgerlijke Avond School).
Dalam pekerjaan, Tjokroaminoto pernah menjadi juru tulis di daerah Ngawi.
Disebabkan karena konflik dengan mertuanya, Tjokroaminoto pergi ke Semarang dan bekerja sebagai kuli pelabuhan.
Disini ia kemudian lebih mengetahui kerja buruh dan konflik yang dihadapi serta mendapat pengalaman dalam berkecimpung di dunia pergerakan.
Selanjutnya, Tjokroaminoto pindah ke Surabaya.
Di Surabaya ia bekerja di sebuah firma bernama Kooy & Co.
Sambil bekerja ia juga menempuh pendidikan di sekolah B.A.S (Burgerlijke Avond School).
Sering berpindah-pindah pekerjaan, Tjokroaminoto pernah bekerja sebagai leerling machinist selama satu tahun.
Kemudian, ia juga pernah bekerja di sebuah pabrik gula, Rogojampi Surabaya sebagai seorang
chemiker.
Tjokroaminoto juga mengembangkan bakatnya di bidang jurnalistik.
Tercatat ia pernah berada di surat kabar, Suara Surabaya, Oetoesan Hindia, Fajar Asia, dan Majalah Al Jihad.
Untuk membantu ekonomi keluarganya, Tjokroaminoto dibantu oleh istirinya, Soeharsikin yang membuka indekos di rumahnya.
Pelajar yang tinggal di rumah Tjokroaminoto sekitar 20 orang.
Kebanyakan dari mereka bersekolah di M.U.L.O (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), atau H.B.S (Hollands Binnenlands School).
Di antara pemuda yang tinggal di kos tersebut adalah Soekarno, Kartosoewiryo, Sampoerno, Abikoesno, Alimin dan Moesso.
Perjalanan Politik: Organisasi & Pergerakan Nasional
Tjokroaminoto mulai aktif berorganisasi saat menjadi ketua perkumpulan Panti Harsoyo.
Setelah itu, ia menjadi anggota Sarekat Islam di bawah pimpinan H. Samanhoedi yang sebelumnya mendirikan Sarekat Dagang Islam.
Ia diperkenalkan melalui H. Hasan Ali Surati, seorang saudagar dari India.
Waktu berlalu cepat, Tjokroaminoto ditunjuk sebagai ketua cabang Sarekat Islam Surabaya.
Di era kepemimpinan Tjokroaminoto , SI Surabaya tercatat pernah melakukan mobilisasi massa dalam rapat terbuka pada 26 Januari 1913 di Surabaya.
Rapat ini berhasil menyedot atensi massa sebanyak 80.000 orang.
Selanjutnya, pada kongres pertama yang diadakan di Surakarta pada 23 Maret 1913 yang diikuti oleh 48 afdeling Tjokroaminoto ditunjuk sebagai wakil ketua SI dan redaktur pelaksana Oetoesan Hindia.
Pada tahun 1914, Tjokroaminoto terpilih sebagai Ketua CSI dalam kongres kedua SI pada 19-20 April 1914 di Yogyakarta.
Inilah momen bersejarah bagi Tjokroaminoto sekaligus buat Sarekat Islam.
Kantor pusat SI kemudian ikut dipindahkan dari Surakarta ke Surabaya.
Pada tahun pertama kepemimpinan Tjokroaminoto, jumlah anggota resmi SI tercatat mencapai 400.000 orang.
Bersama Agus Salim dan Abdul Moeis, Tjokroaminoto saling bahu membahu membesarkan Sarekat Islam hingga menjadi organisasi pergerakan pertama yang ’benar-benar’ berskala nasional yang mampu menarik anggota sebanyak 2,5 juta orang.
Pada awal Februari 1918, Tjokroaminoto memimpin Tentara Kandjeng Nabi Tentara Kandjeng Nabi Mohammad (TKNM) di Surabaya dan menggerakkan aksi sebagai respons atas tulisan di majalah Djawi Hiswara yang dianggap menghina Nabi Muhammad.
Di tangan Tjokroaminoto, SI berubah konsep pergerakan dari ekonomi ke organisasi pergerakan nasional yang lebih berorientasi pada sosial politik.
Selain itu, Tjokroaminoto bersama Abdoel Moeis juga duduk dalam Dewan Rakyat / Volksraad.
Namun, dalam sikap politik, Tjokroaminoto masih dianggap bersikap kooperatif dan lunak terhadap pemerintah Hindia Belanda.
Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa pidato-pidato Tjokroaminoto di Kongres Nasional Pertama SI, tanggal 17-24 Juni di Bandung..
Pernyataan kooperatif Tjokro dapat dilihat dari kata-katanya ”..bersama-sama pemerintah dan menyokong pemerintah menuju arah yang betul. Tujuan kita adalah mempersatukan Hindia dengan Nederland, dan untuk menjadi rakyat ’Negara Hindia’ yang berpemerintahan sendiri.”
Namun sikap tersebut dinilai oleh beberapa kalangan sebagai taktik dalam mengamankan penilaian pemerintah kepada SI.
Seiring waktu, sikap radikal Tjokroaminoto tumbuh yang juga dipicu oleh masifnya pergerakan radikal di zaman itu.
Dua hal yang memicu tumbuhnya radikal dalam tubuh Tjokroaminoto adalah ketika ia dituduh terlibat dalam kasus Sarekat Islam Seksi B dan Peristiwa Garut pada tahun 1919.
Sarekat Islam Seksi B adalah unit dari SI yang bersifat revolusioner yang menjadi motor dalam peristiwa Garut.
Disinilah Tjokro dituduh memberikan persetujuan diam-diam kepada para anggota SI Seksi B.
Tidak ada bukti-bukti yang kuat dalam peristiwa ini, namun Tjokro harus ditahan selama sembilan bulan.
Sebab inilah yang membuat Tjokro memutuskan untuk tidak koorperatif lagi dengan pemerintah.
Faktor yang kedua adalah saat SI terpecah menjadi dua. SI Putih pimpinan Agus Salim, dan SI Merah pimpinan Semaoen.
Tjokroaminoto yang pada mulanya toleran terhadap tokoh-tokoh komunis pada akhirnya mulai memberi ketegasan.
Tahun 1923, setelah berhasil menyingkirkan anggota Sarekat Islam yang berafiliasi dengan paham kiri, Tjokroaminoto mengubah nama Sarekat Islam menjadi Partai Sarekat Islam.
Perubahan ini juga mendasari perubahan bidang yang semula organisasi massa berubah menjadi partai politik.
Tumbuhnya ideologi-ideologi baru di Hindia Belanda juga mempengaruhi Partai Sarekat Islam.
Dalam perkembangannya, untuk mengakomodir dan menjaga agar nasionalisme dan cinta tanah air tidak hanya diidentikkan dengan kaum nasionalisme, pada Kongres Nasional yang ke XIV di Jakarta pada Januari 1929, Partai Sarekat Islam memutuskan untuk mengubah namanya menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (selanjutnya disebut PSII).
Dalam kongres ini Tjokroaminoto kembali terpilih sebagai ketua umum.
Kasus
Berawal dari tulisan Darsono di surat kabar Sinar Hindia pada 6, 7, dan 9 Oktober 1920 yang menyatakan bahwa Tjokroaminoto dan Brotosoehardjo dianggap menyelewengkan uang Centraal Sarekat Islam untuk kepentingan sendiri.
Dikutip dari Historia.id dalam artikel Hendri F. Isnaeni, “Ketika Tjokroaminoto Dituduh Korupsi”, Darsono menulis:
“karena kas CSI kosong, Tjokroaminoto meminjamkan uang 2.000 gulden untuk kas itu, tapi dengan jaminan mobil, yang sebenarnya dibeli oleh bendahara CSI untuk dipakai oleh ketua CSI. Baik bendahara maupun ketua CSI itu adalah Tjokroaminoto sendiri. Ketua CSI itu mampu pula membeli mobil seharga 3.000 gulden dan perhiasan untuk istrinya yang kedua. Demikian juga halnya dengan Brotosoehardjo, yang sering menggunakan uang kas CSI untuk keperluan sendiri.”
“mengapa kas CSI hampir kosong tapi Tjokroaminoto banyak uang. Rakyat kecil (kromo) memerlukan pemimpin yang jujur, berbudi, kukuh pendirian, tinggi cita-cita dan perilaku tak tercela. Pergerakan bumiputra berada pada tahap yang sulit. Sudah waktunya memberesihkan diri sendiri, menebus kesalahan.”
Dari sinilah, nama baik Tjokroaminoto mulai tersandung kerikil kasus berupa tuduhan.
Muncul istilah “men-Tjokro” di kalangan internal Sarekat Islam yang berarti “menyeleweng”.
Wafat & Penghargaan
Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto wafat pada tanggal 17 Desember 1934.
Setelah kepergian Tjokroaminoto, PSII terpecah dengan hengkangnya beberapa tokoh penting, termasuk Haji Agus Salim setelah berselisih dengan adik Tjokroaminoto, Abikoesno Tjokrosoejoso.
Pada tahun 1961, Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto diberi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Soekarno atas nama Pemerintah Republik Indonesia.
Sumber Literatur:
1. Amelz, HOS Tjokroaminoto Hidup dan Pejuangannya Jilid I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1952)
2. Anhar Gonggong, “H.O.S. Tjokroaminoto”, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985)
3. Firman Manan, “Sosialisme Islam: Perspektif Pemikiran Politik H.O.S. Tjokroaminoto, (Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Padjajaran)
4. Rintahani Johan Pradana, “Strategi Pendidikan Tjokroaminoto Dalam Rumah Kost Soeharsikin Surabaya (1912-1922), (Program Studi S2 Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Malang)
(TRIBUNNEWSWIKI.COM/Dinar Fitra Maghiszha)
Editor: Alfin Wahyu Yulianto
Sumber: TribunnewsWiki
sumber: video.tribunnews.com