Ketika berbicara mengenai hari kelahiran organisasi Budi Utomo sebagai Hari Kebangkitan Nasional, akan ada konsekuensi-konsekuensi dari ‘simbol’ tersebut. Pertanyaan-pertanyaan layak dilontarkan, seperti misalnya, apa benar kesadaran kebangkitan nasional kita berasal dari kesadaran kesukuan (Jawa)? Betulkah ikatan kesukuan lebih mendorong kebangkitan ketimbang agama?
Budi Utomo memang terang bukan organisasi yang mendekat pada Islam. Budi Utomo menganut paham netral agama. Bahkan Budi Utomo, jika ditelisik lebih dalam lebih condong kepada Theosofi. Kedekatan Budi Utomo dengan theosofi misalnya, dapat kita lihat dari seorang tokoh wakil sekretaris Himpunan Theosofi di Hindia Belanda, yaitu D. Van Hinloopen Labberton. Labberton, yang disebut ‘Kiai’ oleh Dr. Sutomo ini, memberikan dukungannya kepada Budi Utomo. Maka meski ada upaya-upaya mendekatkan Budi Utomo kepada umat Islam yang dilakukan oleh segelintir pengurus Budi Utomo, namun upaya ini akhirnya kandas, karena tak disetujui oleh perkumpulan secara resmi.
Lahirnya Sarekat Islam, maka arah pergerakan di Hindia Belanda tak lagi sama. Sarekat Islam meroket dan merebut hari masyarakat pribumi ketika itu. Jumlah anggotanya meledak, di bawah kepemimpinan HOS Tjokroaminoto dari 35 ribu orang di Agustus 1914, pada tahun 1915, Sarekat Islam telah memiliki 490.120 anggota. Bahkan pada tahun 1919, anggota Sarekat Islam telah mencapai 2 juta orang.
Sarekat Islam mampu menyatukan rakyat pribumi dari berbagai lapisan, mulai dari kalangan bangsawan, terdidik barat, hingga para ulama. Karena azas Islam ini pula SI memilki daya ikat yang luar biasa.
Selengkapnya:
https://bit.ly/2L7c286
atau
http://jejakislam.net/kebangkitan-nasional-budi-utomo-atau-sarekat-islam/
Jangan lupa NGOPI minggu ini: HOS Tjokroaminoto : Gagasan dan Pejuanganya 16.12.18 di Masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq, Otista, Cawang, JakTim
sumber: instagram.com/jejakislambangsa