Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencanangkan Hari Kesadaran Hukum Kedokteran setiap tanggal 27 Juni. Pada tanggal tersebut tahun 1984, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan yang membebaskan Dr. Setyaningrum dari Puskesmas Wedarijaksa, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, dari segala tuntutan hukum atas dugaan malapraktik.
Profesi dokter akhir-akhir ini lebih sering menghadapi tuntutan hukum. Ada berbagai penyebab, tetapi salah satu yang utama adalah karena perlindungan hukum atas profesi dokter tidaklah rinci. Apa yang sebaiknya dilakukan?
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 66 ayat (3) menyebutkan bahwa setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan, atas tindakan dokter dalam menjalankan praktik kedokteran, atau adanya dugaan tindak pidana, berhak melaporkan kepada pihak yang berwenang dan atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.
Pasal ini telah menimbulkan ketidaktenangan dan keraguan dokter dalam melaksanakan tugasnya. Selain itu, juga dapat menimbulkan ‘defensive medicine’, suatu bentuk praktik kedokteran ketika seorang dokter sangat memperhitungkan langkah-langkah aman bagi dirinya, agar tidak gampang dipersalahkan atau dituntut pasien.
UU Praktik Kedokteran terbukti justru memberikan peluang yang sangat besar bagi dokter, untuk mudah diadukan dan digugat, baik secara etik, pelanggaran disiplin, ataupun pelanggaran hukum sekaligus, secara bersamaan.
Namun demikian, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memberikan ketetapan hukum tentang prosedur hukum yang khusus dalam menilai dan menentukan benar salahnya seorang dokter dalam menjalankan profesinya.
MK memberlakukan proses pemeriksaan yang berjenjang, dimulai dari proses pemeriksaan etik di Majelis Kehoratan Etik Kedokteran (MKEK) dan disiplin di Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), sebagai proses pemeriksaan tingkat pertama. Selain itu, juga sekaligus berfungsi sebagai penilai apakah ada pelanggaran hukum atau tidak.
Apabila dari hasil pemeriksaan di MKEK dan MKDKI ditemukan indikasi pelanggaran hukum, maka kasusnya akan diteruskan atau diserahkan kepada kepolisian atau pengadilan.
Michel Daniel Mangkey dalam ejournal Unsrat Vol. II/No. 8/Sep-Nov/2014, menjelaskan tentang ‘Lex et Societatis’. Dokter yang telah melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional, berhak mendapatkan perlindungan hukum.
Terdapat beberapa hal yang menjadi alasan peniadaan hukuman terhadap dokter, yaitu : risiko pengobatan, kecelakaan medik, tanpa unsur kelalaian, aturan minor yang dapat diabaikan, kesalahan dalam penilaian (error of (in) judgment), Volenti non fit iniura atau asumsi atas risiko, dan Res Ipsa Loquitur.
Namun demikian, pada praktiknya sebagian hal tersebut sangat sulit, rumit, dan menyita waktu, tenaga dan konsentrasi dokter dalam perumusannya.
Sebaliknya, perlindungan hukum untuk profesi notaris, jauh lebih jelas, nyata, dan rinci, sebagaimana dituliskan oleh Mariyantini pada ejournal Undip vol 4, no 1 tahun 2013.
Perlindungan hukum terhadap notaris ketika terjadi sengketa di pengadilan, telah diatur pada Pasal 66 Undang-undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Dalam hal memberikan kesaksian, seorang notaris tidak dapat mengungkapkan akta yang dibuatnya, baik sebagian maupun keseluruhannya, untuk merahasiakan semua hal yang diberitahukan kepadanya, karena akta yang dibuat oleh atau di hadapan notaris, merupakan suatu alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
Notaris hanya merumuskan keterangan dan pernyataan yang diperolehnya dari para penghadap. Notaris tidak hanya berhak untuk bicara, tetapi mempunyai kewajiban untuk tidak bicara.
Kewajiban tersebut mengesampingkan kewajiban umum yang tercantum dalam Pasal 1909 ayat (1) KUHPerdata, karena adanya hak ingkar dari profesi notaris, sebagai konsekuensi dari adanya kewajiban merahasiakan sesuatu yang diketahuinya.
Yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) melalui Putusan MA No 702K/Sip/1973, menyatakan bahwa notaris fungsinya hanya mencatatkan atau menuliskan, apa yang dikehendaki dan dikemukakan oleh para pihak yang menghadap notaris tersebut.
Tidak ada kewajiban bagi notaris untuk menyelidiki secara materil, terkait apa yang dikemukakan oleh penghadap di hadapan notaris. Berdasarkan Putusan MA tersebut, jika akta yang dibuat oleh notaris dipermasalahkan oleh para pihak, maka hal tersebut menjadi urusan para pihak sendiri, notaris tidak perlu dilibatkan, dan notaris bukan pihak dalam akta.
Perlindungan hukum yang juga lebih baik, adalah terhadap profesi advokat atau pengacara. Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan perkara 26/PUU-XI/2013, yaitu pengujian Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang terkenal sebagai hak imunitas advokat.
Putusan tersebut dinyatakan MK dalam sidang pengucapan putusan yang dipimpin Ketua MK Hamdan Zoelva, Rabu 14 Mei 2015. MK menegaskan bahwa ketentuan Pasal 16 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat harus dimaknai sebagai, advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya, dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien, di dalam maupun di luar sidang pengadilan.
Mahkamah Konstitusi telah memutus menolak permohonan pengujian oleh Dokter Indonesia Bersatu terkait Pasal 66 ayat (3) UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yang dianggap bertentangan dengan konstitusi, karena membuka interpretasi luas terhadap tindakan kedokteran yang dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana.
Putusan tersebut menekankan bahwa etika profesi, disiplin profesi, dan norma hukum secara normatif tidak dapat saling meniadakan atau saling menggantikan, yang dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat Senin, 20 April 2015.
Dalam putusan nomor 14/PUU-XII/2014 tersebut, Mahkamah berpendapat pelanggaran atas etika profesi dan disiplin profesi hanya dapat dikenai sanksi secara etika dan/atau secara administratif.
Namun demikian, tindakan dokter yang telah diperiksa dan diputus oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), ditetapkan masih dapat diajukan pelaporannya kepada pihak berwenang dan/atau digugat secara perdata.
Dengan demikian, Pasal 66 ayat (3) UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, layak direvisi, ditinjau ulang secara hukum (re-judicial review) menggunakan bukti hukum baru (novum), dan kalau perlu dibatasi. Selain itu, hak imunitas dokter dalam aspek perlindungan hukum, layak disejajarkan dan serinci dengan profesi advokat dan notaris.
Sudahkah para dokter bertindak? Janganlah para dokter diam saja.
Sekian
Yogyakarta, 14 Mei 2018
Dokter spesialis anak, Ketua IDI Cabang Kota Yogyakarta, Alumnus S3 UGM, Lektor FK UKDW, WA 081227280161.
sumber: senayanpost.com