Kongres ISDV berlangsung pada bulan Juli 1916. Salah satu keputusan penting dari kongres itu adalah penghentian kerjasama dengan Insulinde. Selain itu, sebagai langkah susulan atas keputusan itu, maka kongres juga memerintahkan anggota ISDV untuk segera keluar dari Insulinde.
ISDV adalah singkatan Indische Sociaal-Democratische Vereniging alias Perhimpunan Sosial Demokrasi di Hindia. Berdiri tanggal 9 Mei 1914, organisasi ini berkeinginan menghubungkan propaganda sosialisme dengan massa luas rakyat Indonesia. Inilah yang membedakan ISDV dengan organisasi induknya, Partai Buruh Sosial-Demokratik Belanda (SDAP), yang menolak propaganda sosialisme untuk rakyat pribumi.
***
Sneevliet, yang tiba di Indonesia sejak tahun 1913, berusaha mendorong ISDV berpropaganda sosialisme kepada rakyat Indonesia. “Kau berbicara tentang sesuatu propaganda yang revolusioner, tetapi benih persemaiannya belum ada,” kata Sneevliet mengeritik teman-teman sosialis-nya.
Saat itu, untuk menjangkau massa luas, ISDV menerbitkan koran bernama Het Vrije Woord. Di tangan Adolf Bars dan Snevliet, Het Vrije Woord menjadi corong politik partai kepada massa.
Upaya keras itu berbuah sukses. Ketika Mas Marco Kartodikromo hendak dipenjara karena tulisan-tulisannya, ISDV sangat aktif memberikan pembelaan dan membangun sebuah komite untuk mencegah penahanan Marco. Selanjutnya, ketika pemerintah kolonial berencana membentuk Indie Werrbar (persenjatai Indonesia), ISDV juga menyampaikan penentangan terbuka dan menuduh rencana ini sebagai bagian dari usaha militerisme dan imperialisme.
***
Dalam usahanya menjembatani propaganda sosialisme dengan massa itu, ISDV kemudian berusaha mendekati Insulinde. Menurut Ricklefs, sejarahwan dari Cornell University, ketika Insulinde berdiri 1907, sebagian besar anggotanya adalah orang-orang indo-eropa (eurasia) dan beberapa orang Jawa sebagai pimpinannya. Meski begitu, kata Ricklefs, anggota Insulinde jauh lebih besar dari ISDV: ISDV beranggotakan ratusan orang, sedangkan insulinde beranggotakan 6000-an orang.
Selain itu, meski Insulinde bukan gerakan sosialis, tetapi mereka sangat bersimpati pada sosialisme. Saat pembuangan tiga pemimpin Indische Party ke Belanda, yaitu EFE Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryadiningrat (Ki Hajar Dewantara), orang-orang sosialis SDAP melakukan penyambutan.
Setelah kerjasama mulai berjalan, orang-orang sosialis radikal (ISDV) mulai menyadari bahwa Insulinde bukan pilihan yang tepat. Menurut Ruth T McVey, penulis The Rise of Indonesian Communism, mengatakan bahwa orientasi pergerakan Insulinde terhadap eurasia dan kelas menengah menyebabkan organisasi sulit menjangkau massa Indonesia. Sedangkan ISDV hendak menjadikan Insulinde sebagai jembatan untuk propaganda sosialisme ke massa rakyat Indonesia.
Selain itu, meskipun para pemimpin Insulinde punya gagasan yang radikal, tetapi mereka sangat jauh dari kaum pekerja. Bahkan, usaha Sneevliet untuk membawa Tjipto ke kiri mengalami kegagalan. Belakangan, Sneevliet malah mengeritik sikap Tjipto itu. “Dia kurang memihak kelas proletar,” kata Sneevliet.
***
Segera setelah kegagalan dengan Insulinde, ISDV mulai mencari lahan subur lain untuk menaburkan benih sosialisme.
Perhatian tertuju kepada Sarekat Islam (SI), organisasi pergerakan dengan keanggotaan terbesar saat itu. Pada tahun 1916, SI sudah mempunyai ratusan ribu anggota dan cabang-cabangnya meluas hingga keluar pulau Jawa. Tetapi, Tan Malaka dalam pidatonya di kongres Kominteren, pada November 1922, mengklaim anggota SI sudah mencapai jutaan orang.
“Di Jawa kami memiliki sebuah organisasi beranggotakan buruh-buruh miskin, Sarekat Islam, yang pada 1912-1916 memiliki satu juta anggota-mungkin juga tiga atau empat juta. Ini sebuah gerakan revolusioner yang amat besar dan muncul secara spontan,” kata Tan Malaka kepada peserta kongres.
Bukan hanya Tan Malaka yang menaruh kagum kepada SI, tetapi tokoh revolusioner sekaliber Lenin pun menaruh kekaguman terhadap organisasi ini. Sebagaimana ditulis Lenin dalam tulisannya “Kebangkitan Asia”, pada tahun 1913: “gerakan demokratik berkembang di antara massa di Jawa, di mana gerakan nasionalis telah berdiri di bawah panji Islam.”
Pada awalnya, menurut Ruth T McVey, kaum sosialis revolusioner masih ragu untuk bekerjasama dengan SI, karena karakter Islam dan organisasi bentuk Tjokroaminoto ini dan orientasi politiknya yang kurang jelas.
Saat pembentukannya, sebagaimana juga terjadi pada banyak organisasi pergerakan saat itu, Sarekat Islam menyatakan tidak akan berkonfrontasi dengan pemerintahan Hindia-Belanda dan masih percaya dengan adanya “kehendak baik dari pemerintah”.
Jauh sebelum ISDV-kaum sosialis radikal berusaha mendekati SI secara formal, interaksi mereka sudah terjadi di rumah indekos yang dikelola oleh istri HOS Tjokroaminoto, Suharsikin, di Surabaya. Di rumah itu, selain menjadi tempat tinggal calon-calon pemimpin gerakan seperti Alimin, Musso, Sukarno, dan juga S.M. Kartosuwirjo, rumah itu juga merupakan kantor pusat SI dan tempat berkumpul para aktivis. Tokoh-tokoh ISDV seperti Sneevliet, Bars, Semaun dan Darsono, sering berkunjung dan berdiskusi di rumah tersebut.
Menjelang kongres nasional SI yang pertama, kaum sosialis radikal ini mulai menganggap SI sebagai versi Indonesia dari gerakan Chartist di Inggris (1830-an) dan karena itu sejalan dengan ide-ide sosialis.
Ruth T McVey dalam The Rise of Indonesian Communism mencatat beberapa hal yang memungkinkan ISDV leluasa menebar pengaruh dalam SI. Pertama, SI merupakan tubuh yang kepalanya menempel pada leher yang lemah. Ketika organisasi itu dilarang membentuk basis nasional oleh Gubernur Jenderal pada tahun 1913, maka setiap cabang SI adalah badan-badan yang berjalan secara otonom. Meskipun coba dikoordinasikan dengan badan pusat yang bernama Central Sarekat Islam (CSI), tetapi cabang-cabang lokal tetap saja sulit untuk dipegang.
Kedua, dimungkinkannya praktik keanggotaan ganda (rangkap) dalam organisasi-organisasi pergerakan saat itu. Hal itu, kata Ruth T Mcvey, terjadi karena sebagian besar pergerakan Indonesia tidak bermula sebagai partai politik.
Semaun, yang pada tahun 1914 sudah menjadi pengurus SI cabang Surabaya dan masuk ISDV pada tahun 1915, telah memainkan peranan penting dalam taktik kerjasama ISDV dengan SI. Pada tahun 1916, seusai kongres SI, Semaun segera dipindahkan pekerjaannya ke Semarang, kota yang menjadi pusat kegiatan Sneevliet dan VSTP. Semaun dan orang-orang ISDV berhasil membangun SI cabang Semarang dan mengarahkannya pada jalan radikal. “Padahal sebelumnya, SI cabang Semarang adalah organisasi yang lembek, dan mengatakan ini adalah Insulinde, sebuah organisasi yang juga lembek,” tulis Soe Hok Gie dalam buku “Di Bawah Lentera Merah”.
Sayang sekali, meskipun ada keinginan kuat dari sebagian besar orang-orang sosialis untuk mempertahankan kerjasama dengan SI, termasuk di dalamnya tokoh-tokoh seperti Tan Malaka, Semaun, dan Sneevliet, tetapi usaha kelompok konservatif SI untuk menendang keluar sayap kiri-nya tidak dapat dihindarkan. Akhirnya, saat kongres SI tahun 1921, sayap kiri dalam organisasi Islam ini telah ditendang keluar. Kelompok pecahan ini kemudian menjadi Sarekat Islam Merah, yang terafiliasi dengan Partai Komunis. [Berdikari Online]
sumber: pedomanbengkulu.com