Orang-orang itu memperlakukan Tjokroaminoto bagai nabi atau wali. Sepanjang jalan, mereka mengagung-agungkan namanya. Sebagai ketua umum perhimpunan terbesar di Hindia (Indonesia) saat itu, Tjokroaminoto boleh dibilang ibarat presiden bagi rakyat jelata.
Yang menarik, rakyat kebanyakan, baik anggota atau simpatisan SI maupun masyarakat dari kalangan luar, menganggap Tjokroaminoto sebagai ratu adil atau juru selamat. Mereka berebut berjabat dan mencium tangannya, menghormat, memeluk, bahkan menyembah serta mengendus kaki sang pemimpin dengan segenap jiwa.
Pengkultusan Pemimpin Islam
Perlakuan rakyat yang berlebihan tersebut disaksikan langsung Agus Salim, petinggi SI lain, yang mendampingi Tjokroaminoto berkunjung ke Bondowoso kala itu. Agus Salim yang berpikiran lebih rasional tentu saja tidak menyukai pengkultusan terhadap rekan seperjuangan tersebut.
“Pada waktu Tjokroaminoto berjalan melewati orang-orang itu, mereka berjongkok di tanah dan mencium kakinya, sambil mengatakan pujaan yang tidak saya senangi,” kisah Agus Salim mengenang situasi saat itu seperti yang dikutip dari buku 100 Tahun Haji Agus Salim (1996:58).
Lebih rinci lagi, Agus Salim menceritakan apa yang terjadi dalam pertemuan yang sebenarnya diperuntukkan bagi pengurus dan anggota SI Bondowoso itu. “Di dalam gedung dan di halaman kantor SI setempat, pada pukul 8 pagi terdapat ribuan anggota SI,” buka Agus Salim.
“Orang hanya boleh masuk ke halaman dengan memperlihatkan kartu anggota. Namun, bagaimanapun juga, halaman, dan gedung penuh sesak. Jalan dan alun-alun juga penuh sesak dengan manusia,” lanjutnya.
Agus Salim yakin, orang-orang itu bukan semuanya anggota SI, atau bahkan sekadar simpatisan. Massa yang datang dari berbagai penjuru itu kebanyakan hanya ingin mengharap berkah dari Tjokroaminoto, sosok yang diyakini sebagai mesias yang bakal menyelamatkan rakyat dari penderitaan di alam kolonial Hindia Belanda.
“Mereka bukan anggota SI tetapi hanya peminat yang jumlahnya melebihi jumlah anggota. Walaupun sudah dilarang untuk berjabatan tangan dengan Tjokroaminoto, tetapi orang-orang tetap berdesak-desakan. Orang ingin melihat wajah sang pemimpin,” tutur Agus Salim.
“Tidak ada lagi tempat untuk pengurus karena begitu padatnya manusia. Mereka ingin dan harus mencium tangan Tjokroaminoto. Dari segala jurusan orang memegangnya, mencium tangannya, bahunya, tepi jasnya,” sambungnya.
“Napas Tjokroaminoto sesak dan ia melompat ke atas kursi, tetapi orang sekarang memeluk tungkainya dan mencium kakinya,” imbuh tokoh asal Sumatera Barat ini (A.P.E. Korver, Sarekat Islam: Gerakan Ratu Adil?, 1985:79).
Prabu Heru Tjokro
Agus Salim dan para pengurus SI lainnya sudah berusaha sekuat tenaga mencegah kerumunan massa kian merangsek ke arah Tjokroaminoto. Namun, upaya tersebut sia-sia belaka. Bahkan, orang-orang sama sekali tidak mendengarkan orasi yang disampaikan dalam acara itu.
“(Orang-orang) Yang tidak bisa ke tempat Tjokroaminoto memegang kami. Sia-sia kami terangkan bahwa kami dan Tjokroaminoto adalah pemimpin SI, bukan juru selamat yang mereka tunggu,” sebut Agus Salim.
“Kami lantas lari masuk ke dalam gedung dan pengurus SI meminta agar orang-orang bubar. Namun, mereka (massa) menolak dengan gigih,” lanjut tokoh bernama lahir Mashudul Haq ini.
Diperingatkan dan diminta untuk fokus pada pertemuan, orang-orang tersebut justru semakin kalap karena ingin bertemu langsung dengan Tjokroaminoto. Mereka berteriak lantang:
“Kami datang dari tempat yang jauh bukan untuk mendengarkan orang bicara, tetapi ingin melihat Raden Mas [Tjokroaminoto] dan mencium tangannya. Kami tidak akan mau pergi sebelum melihatnya!” (Panji Masyarakat, Volume 2, 1998:50).
Tentunya bukan tanpa alasan mendasar mengapa massa SI dan sebagian rakyat Jawa menganggap Tjokroaminoto sebagai ratu adil, mesias alias juru selamat, satria piningit, atau istilah semacamnya.
Selain lantaran berstatus sebagai pemimpin utama organisasi paling besar saat itu yakni Sarekat Islam, nama Tjokroaminoto kebetulan juga nyaris persis dengan ramalan Jayabaya ihwal datangnya Ratu Adil yang akan menyelamatkan rakyat Jawa dari kesengsaraan.
Jayabaya menyebut akan hadir juru selamat bernama Prabu Heru Tjokro. Keyakinan massa SI dan rakyat Jawa kian besar lantaran Tjokroaminoto berdarah ningrat sekaligus keturunan seorang ulama legendaris, Kiai Bagoes Hasan Besari (Soedarjo Tjokrosisworo dalam Amelz, H.O.S Tjokroaminoto: Hidup dan Perjuangannya, Jilid I, 1952:43).
Bahkan, tidak sedikit orang yang mempercayai Tjokroaminoto sebagai titisan Dewa Wisnu, salah satu dewa utama dalam agama Hindu. Tidak sedikit masyarakat Jawa yang masih menganut kejawen, ajaran sekaligus cara berpikir lokal yang banyak dipengaruhi warisan agama Hindu.
Teriakan “Wisnu kami! Wisnu kami!” sering terdengar saat kunjungan ke daerah-daerah di pelosok Jawa yang masih kental kejawennya. Penyebutan itu merupakan bentuk mesianistis karena Wisnu adalah dewa pelindung bagi orang Hindu dan Tjokroaminoto dianggap sebagai penjelmaan atau titisannya.
Peringatan Agus Salim
Tjokroaminoto sendiri sangat menikmati perannya sebagai “ratu adil” yang amat dipercaya oleh massa pendukung SI maupun orang Jawa kebanyakan. Pernah suatu ketika Tjokroaminoto bertanya kepada Agus Salim setelah memperoleh sambutan antusias dan dielu-elukan sebagai sang penyelamat.
“Bagaimana pendapatmu tentang massa rakyat di perkumpulan SI ini?” tanya Tjokroaminoto (Islam, Nasionalisme, dan Masa Depan Negara-Bangsa Indonesia, 2011: 31).
Agus Salim menjawab jujur namun disertai peringatan, “Luar biasa. Namun, juga ada bahayanya, karena hanya sedikit orang yang dapat mengalami puja-puja seperti itu tanpa menjadi lupa daratan.”
“Tjokro,” lanjut Agus Salim, “saya harap kamu tidak menjadi pongah. Memang berat menjadi pemimpin rakyat yang begitu fanatik.”
Lalu dijawab oleh Tjokroaminoto, “Mereka menghormati saya bagai malaikat dan apa yang saya minta semuanya akan mereka lakukan.iini memberikan tanggung jawab yang besar kepada saya. Seringkali saya berpikir untuk mundur, tetapi saya tidak berani karena saya tidak tahu apa yang akan mereka lakukan nanti.”
Agus Salim merasa bahwa sudah tiba saatnya untuk membicarakan masalah ini dengan sangat serius. “Ratu Adil adalah gerakan yang sangat berbahaya karena merupakan kekuatan yang berada di luar dan tidak dapat diawasi,” tegasnya kepada Tjokroaminoto.
“Konsep Ratu Adil merupakan sisa-sisa faham animis dan mistik yang harus ditindas dalam kalangan Islam di Indonesia,” tambah Agus Salim.
Tjokroaminoto memang sempat mendebat peringatan sahabatnya itu. Namun, ia menyadari bahwa kata-kata Agus Salim ada benarnya. Lagi pula, Tjokroaminoto sangat memerlukan Agus Slim untuk turut memimpin dan mengelola SI. Saking saling kompaknya, kedua tokoh ini mendapat sebutan “Dwitunggal Sarekat Islam”.
Perlahan namun pasti, pengkultusan Tjokroaminoto bisa diminimalisir dengan penguatan ajaran Islam, bahwa, seperti kata Agus Salim, konsep Ratu Adil adalah suatu gerakan berbahaya serta mendekati perbuatan musyrik dan itu sangat bertentangan dengan Islam.
Tanpa menggunakan lagi embel-embel Ratu Adil atau semacamnya, Tjokroaminoto ternyata tetap mampu menjadi orang nomor satu di SI. Tjokroaminoto memimpin organisasi raksasa itu hingga wafat pada akhir 1934.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Zen RS
sumber: tirto.id