Oleh: Selamat Ginting
Dalam sebuah surat yang pernah dituliskan kepada salah satu teman diskusi tentang Islam, yakni Ahmad Hassan, dengan tegas Presiden Sukarno menyatakan, “Tidak ada agama yang lebih rasional dan simplicity (sederhana) daripada Islam.”
Pernyataan tersebut bukan sebuah kejutan. Namun, begitulah Bung Karno yang sangat terkesan dengan ajaran yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW tersebut. Begitulah pengakuan dari Ahmad Hassan, tokoh Persatuan Islam (Persis) di Bandung, Jawa Barat.
Bung Karno juga mengaku sangat terkesan dengan segala pencapaian Islam yang pernah menguasai hampir sepertiga luas dunia. Pada saat itu disebut sebagai masa gemilang Islam (the Glory of Islam). Walau kenyataannya, ia kecewa, sebab masa keemasan tersebut hanya berusia pendek. Bahkan kemudian membawa umat Islam terjerumus ke dalam lubang kemunduran.
Ya, Sukarno memang sangat menyukai berbagai macam bentuk sufisme yang bebas. Baginya, agama diperlukan sebagai ‘bahasa kasih sayang’. Sehingga hal tersebut telah menunjukkan posisi keagamaannya yang berbeda dengan kehidupan agama tokoh nasional lainnya, seperti Agus Salim, Ahmad Hassan, dan Mohammad Natsir.
Mereka dikenal sebagai tokoh tokoh nasionalis yang memiliki pemikiran agama Islam bercorak rasional dan doktriner. Menurut Sukarno, prinsip Ketuhanan –salah satu sila dari Pancasila– digali dari perikehidupan masyarakat Indonesia. Dengan keyakinannya itu, ia lebih memilih Indonesia sebagai negara nasional.
Kepercayaannya akan eksistensi Tuhan sudah tertanam di dalam dirinya sejak kecil. Dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat halaman 151 ia mengungkapkan suasana batinnya.
“Kami adalah bangsa yang hidup dari pertanian, dan siapakah yang menumbuhkan segala sesuatu? Al Khalik, Yang Maha Pencipta. Kami terima ini sebagai kenyataan hidup. Jadi aku adalah orang yang takut kepada Tuhan dan cinta kepada Tuhan sejak lahir, dan keyakinan ini telah bersenyawa dengan diriku.”
Sukarno memang mendapat pelajaran agama secara khusus, sehingga pemahamannya tentang ketuhanan lebih bersifat empiris. Diserapnya bersama dengan berbagai nilai kehidupan yang ditanamkan kepadanya.
Ia lahir dari seorang ibu, Ida Ayu Nyoman Rai, penganut Hindu Bali. Ibunya merupakan putri dari seorang Brahmana dari Kerajaan Singaraja (Buleleng) Bali. Dari ibunya, ia menyerap Hinduisme dan Budhaisme.
Namun, yang paling berkesan dari ibunya adalah, sikap anti penjajahan Belanda akibat pengalaman traumatiknya. Penaklukan Belanda atas Kerajaan Buleleng, membuat keluarga ibunya menderita.
Permasalahan lain yang menjadi trauma bagi bagi Nyoman Rai tatkala hendak mengunjungi Sukarno di penjara Sukamiskin, Bandung. Saat bertanya kepada petugas rumah tahanan, bukan jawaban yang diperolehnya. Ia dibentak dan diusir untuk pergi dari rumah tahanan tersebut.
Sejak saat itu dendam Nyoman Rai Srimben tidak terbendung, di manapun berada jika melihat orang Belanda, ia memperlihatkan ketidaksukaannya. Di saat yang sama rumahnya di Blitar diawasi, karena putranya melawan penjajahan Belanda.
Ia kemudian menceritakan kejadian yang dialaminya di rumah tahanan kepada suaminya, Raden Soekemi Sosrodihardjo. Mendengar pengakuan tersebut, Soekemi ikut marah dan memutuskan untuk pensiun dini sebagai guru dari Kementerian Pendidikan Belanda di Batavia.
Sang ayah, Raden Soekemi merupakan seorang priyayi tingkat bawah, keturunan Sultan Kediri. Ia seorang muslim yang menjalankan ajaran Theosofi Jawa. Kendati kehidupan keluarganya memiliki perbedaan latar belakang perbedaan agama, tidak membuat Sukarno mengalami kebingungan dalam menentukan pilihan agamanya. Ia memilih Islam sebagai agamanya.
Perbedaan keyakinan agama kedua orangtuanya membuatnya menjadi sosok yang lebih nasionalis. Secara resmi agamanya memang Islam, namun latar belakang Kejawen, Hindu, Buddhisme dan animism amat kuat mendasari spiritualitas Sukarno.
Hal tersebut membuatnya jauh dari sifat ‘ortodoksdogmatis’ dalam pemikiran agamanya. Tidak bercorak formal santri dalam ke-Islam-annya.
Tak pelak, dari kakek-neneknya, Sukarno menyerap kebudayaan Jawa dan mistik. Dan dari ayahnya, Raden Soekemi, ia belajar Islam (Jawa) atau Kejawen dan teosofi. Ahli antropologi Amerika Serikat menyebutnya sebagai Islam abangan, yakni: golongan penduduk Jawa Muslim yang mempraktikkan Islam dalam versi yang lebih sinkretis bila dibandingkan dengan golongan santri.
Istilah abangan berasal dari kata bahasa Jawa yang berarti merah. Abangan cenderung mengikuti sistem kepercayaan lokal yang disebut adat daripada hukum Islam murni (syariah). Dalam sistem kepercayaan tersebut terdapat tradisi-tradisi Hindu, Buddha, dan animisme.
Pemahamannya tentang Islam, baru berkembang setelah bersekolah di HBS (Hoogore Burger School) Surabaya. Saat itu ia indekos di rumah HOS Tjokroaminoto, Ketua Sarekat Islam. Tjokroaminoto merupakan sahabat dari ayahnya.
Dari HOS Tjokroaminoto, bukan pengetahuan agama yang bersifat dogmatis teologis. Melainkan pemikiran-pemikiran Islam yang berhubungan dengan paham kebangsaan dan sosialisme. Jadi lebih berhubungan masalah sosiologi politik.
Meski memimpin organisasi Serikat Islam, HOS Tjokroaminoto memang bukan seorang ‘guru agama’. Tjokro seorang pemimpin pergerakan kebangsaan yang dikemas dengan identitas Islam.
Sukarno menyerap ide-ide pembaruan dalam Islam yang diusung oleh gerakan Muhammadiyah. Ia memperolehnya melalui ceramah-ceramah KH Ahmad Dahlan. “Sejak umur 15 tahun, saat berdiam di rumah Tjokroaminoto, saya telah terpukau dengan KH Ahmad Dahlan,” kata Sukarno.
Pada 1938, Bung Karno secara resmi menjadi anggota Perserikatan Muhammadiyah. Bahkan di depan Muktamar Muhammadiyah, pada 1962, ia berdoa agar bisa dikubur dengan bendera Muhamadiyah di kain kafannya.
Secara tersirat Bung Karno mengumumkan bahwa dirinya adalah Islam modernis dan Islam moderat yang merindukan Glory of Islam (kebesaran/kejayaan Islam).
sumber: republika.co.id