Sekitar awal tahun 1900-an, daerah Cikini di Jakarta Pusat menjadi markas dari perjuangan sejumlah tokoh organisasi Sarekat Islam. Selain aktif menyiarkan Islam dan melawan penjajah Belanda, sejumlah tokohnya diketahui sering berkumpul di Masjid Al Makmur, Cikini.
Dalam acara bertajuk ‘Explore Little Arab’ yang diselenggarakan Jakarta Food Adventure (JFA), detikTravel sempat singgah ke Masjid Al Makmur di Cikini yang bersejarah pada Sabtu pekan lalu (18/6/2016).
Selain menjadi tempat kumpul para tokoh Sarekat Islam, kehadiran masjid tersebut juga tidak terlepas dari peran serta Maestro lukis Raden Saleh yang dahulu tinggal di daerah Cikini. Hal itu pun diceritakan oleh salah satu pemandu JFA, Ira Lathief di depan rumah Raden Saleh.
“Dulu di belakang rumah Raden Saleh ada suraunya. Tadinya mau dirobohkan sama pemilik rumah sakit, tapi ditentang sama masyarakat sekitar. Akhirnya surau itu digotong dan dibangun jadi Masjid Al Makmur Cikini di sebelah sana,” ujar Ira.
Masjid Al Makmur di Cikini (Randy/detikTravel)
Sebelum menjadi masjid seperti sekarang, dahulu Masjid Al Makmur hanyalah sebuah surau sederhana yang dibangun oleh Raden Saleh sekitar tahun 1860 di samping rumah kediamannya.
Setelah menikahi seorang gadis Bogor, ia pun hijrah dan mewakafkan masjid serta menjual rumah beserta miliknya ke keluarga Alatas. Di mana rumah dan tanah itu kemudian diwariskan ke Ismail Alatas.
Namun tanpa mengetahui ihwal dan sejarah tanah tersebut, Ismail kemudian menjual Rumah Raden Saleh beserta tanah dari surau Masjid Al Makmur pada Koningin Emma Stichting (Yayasan Ratu Emma)
“Sayangnya setelah dijual ke Ratu Emma, surau itu terancam dirobohin karena waktu itu dia bikin rumah sakit. Padahal aslinya tanah masjid itu udah diwakafkan,” lanjut Ira.
Tidak setuju apabila surau dirobohkan, masyarakat sekitar pun menggotong surau yang ada ke lokasi Masjid Al Makmur kini. Kemudian pada tahun 1926, surau itu dipugar oleh panitia yang didukung oleh tokoh H Agus Salim yang merupakan pemimpin Sarekat Islam kala itu.
Masjid Al Makmur yang ramai saat berbuka (Randy/detikTravel)
Lambang bulan bintang milik organisasi Sarekat Islam pun ditorehkan di sisi luar Masjid Al Makmur. Di mana simbol itu masih ada dan dapat dilihat apabila Anda singgah ke sana.
Setelah Indonesia merdeka, masalah sengketa pun kembali mengikuti Masjid Al Makmur. Pihak Dewan Gereja Indonesia (DGI) selaku pengurus rumah sakit dari bekas rumah Raden Saleh mengklaim, bahwa masjid dibangun di atas tanah rumah sakit milik DGI.
“Setelah surau dipindahin dan jadi masjid, masih ada sengketa. Tapi akhirnya semua selesai ketika masjid dijadiin situs cagar budaya. Kan kalau udah cagar budaya gak boleh diapa-apain,” cerita Ira.
Agar tidak berlarut-larut, sengketa tanah itu pun selesai setelah Gubernur DKI Jakarta kala itu, Wiyogo Atmodarminto, mencabut sertifikat tanah atas nama RS PGI Cikini (Dulu DGI) yang mencakup tanah Masjid Al Makmur pada tahun 1991.
Lambang Sarekat Islam di salah satu sisi masjid (Randy/detikTravel)
Tanah masjid pun dikembalikan ke pihak semula dengan sertifikat atas nama Yayasan Masjid Al Makmur. Status bangunan cagar budaya pun disematkan pada Masjid Al Makmur yang masih berdiri tegak hingga kini.
“Dulu masjid ini juga sering jadi tempat kumpul H Agus Salim dan tokoh dari Sarekat Islam. Lihat deh lambang bulan bintang di depan masjid,” ujar Ira.
Bagi traveler yang menyukai sejarah, tentunya wajib datang ke Masjid Al Makmur Cikini. Selain bisa ibadah, traveler juga bisa menyaksikan bukti perjuangan Raden Saleh beserta tokoh Sarekat Islam lewat Masjid Al Makmur.
sumber: travel.detik.com