Akeh wong ngutamakake royal
lali kamanungsane, lali kebecikane
lali sanak lali kadang
akeh bapa lali anak
akeh anak mundhung biyung
sedulur padha cidra
keluarga padha curiga
kanca dadi mungsuh
manungsa lali asale
Banyak orang hamburkan uang
lupa kemanusiaan, lupa kebaikan
lupa sanak saudara
banyak ayah lupa anaknya
banyak anak mengusir ibunya
antar saudara saling berbohong
antar keluarga saling mencurigai
kawan menjadi musuh
manusia lupa akan asal-usulnya
Bait di atas bisa menjadi refleksi betapa semrawutnya sistem kehidupan kita sehari-hari. Mulai dari sistem sosial budaya, ekonomi, politik yang kian hari makin bergerak kearah yang tidak tentu. Bukan bermaksud percaya pada hal-hal klenik seperti ramalan. Namun, sepenggal bait dari ramalan jayabaya dari abad 12 tersebut secara nyata menggambarkan kondisi yang dialami masyarakat kita sekarang. Keadaan masyarakat yang mulai terkurung dalam lingkaran ke-modern-an. Dalam kondisi seperti ini masyarakat mulai teralienasi dan lupa akan asal-usulnya.
Seorang sosiolog, Peter L. Berger, menunjuk komunitas masyarakat modern telah mengalami anomie, yaitu suatu keadaan di mana setiap individu manusia kehilangan ikatan yang memberikan perasaan aman dan kemantapan dengan sesama manusia lainnya. Sehingga menyebabkan kehilangan pengertian yang memberi petunjuk tentang tujuan dan arti kehidupan di dunia ini. Seolah kita selalu curiga terhadap sesuatu, kita menjadi manusia yang tidak mudah untuk percaya.
Dalam sebuah forum keagamaan, Emha Ainun Najib, sapaan akrab Cak Nun, menceritakan bahwa manusia Indonesia sekarang sudah tidak lagi percaya kepada kemurnian. Kebanyakan selalu menaruh curiga akan suatu perkara dan menganggap selalu “ada udang di balik batu”. Kecurigaan yang bersifat waspada memang diperlukan. Namun, dalam kasus ini sifat waspada lebih mengarah kepada stereotip ataupun prasangka yang tidak baik terhadap sesuatu.
Meminjam istilah dari Heracleitos, “Pantarhei”; dunia memang selalu dalam perubahan. Sama halnya dengan masyarakat yang selalu berkembang dari fase satu ke fase lain. Masyarakat kita juga mengalami perkembangan, kebudayaan kita menyesuaikan perkembangan zaman. Dan saat ini kita telah sampai pada abadnya teknologi. Sebuah titik di mana masyarakat lebih mengamini kebenaran logis, kebenaran ilmu pengetahuan.
Nilai religius dan nilai kebudayaan lokal yang membangun konsep dasar bangsa ini mulai luntur. Sadar atau tidak kita telah digiring ke bawah payung positivism, di mana hanya hal-hal rasional yang akan diterima. Padahal ilmu pengetahuan yang diketahui manusia hanya sebagian kecil dari rahasia alam.
Krisis Pancasila Manusia Modern
Secara sadar ataupun tidak, kita telah dicetak menjadi manusia yang membentuk masyarakat modern. Saat ini kita dibentuk oleh sebuah sistem yang lebih banyak dipengaruhi asing, bukan sistem yang akarnya dari tanah sendiri. Sistem yang membentuk budaya luar telah masuk dan ikut membentuk budaya kita tanpa banyak bisa dipilah dan dipilih. Keterbukaan akses antarbudaya telah secara langsung memengaruhi budaya kita. Mayoritas sudah tidak lagi bisa membedakan mana pembenaran dan mana kebenaran.
Hal yang dulunya dianggap tabu, sekarang dianggap wajar dan biasa. Kebudayaan adiluhung kita terzalimi oleh kebudayaan luar. Rasa percaya kepada sesama, kepada falsafah dasar, bahkan Tuhan pun sudah mulai dianggap enteng. Pandangan hidup seperti keramahan, tawakal, kerendahan hati, kesederhanaan, dan tolong menolong berakhir menjadi slogan-slogan di dinding sekolah dasar. Masyarakat modern mulai teralienasi salah satunya dengan konsumerisme. Dimana dominasi “masyarakat pasar” telah menggeser “masyarakat masjid”.
Pola komunikasi masyarakat modern lebih bersifat lahiriah (horizontal; antar sesama manusia) daripada batin (vertikal; manusia dengan Tuhan). Kita lupa atau memang sengaja dibuat lupa, bahwa kita punya pancasila yang konsep dasarnya berasal dari bangsa sendiri. Bahkan konsep pancasila banyak ditiru oleh negara-negara di dunia. Konsep hidup yang tidak hanya bersifat lahir, namun juga batin, kemanusiaan dan ketuhanan.
Namun, komunitas masyarakat modern sekarang hanya sampai pada pengertian pancasila sebagai eksistensi, bukan sebagai esensi. Keberadaan pancasila diakui. Namun, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya barang tentu belum dipahami secara luas.
Sebagai dasar negara, idealnya pancasila menempati posisi paling atas sebagai pedoman kita dalam berbangsa, yang mana nilai-nilainya kita terapkan dikehidupan sehari-hari. Lima dasar ini pun sudah diperjelas menjadi butir-butir, sesuai dengan ketetapan MPR tentang ekaprasetya pancakarsa. Namun, sayangnya pemahaman masyarakat tentang pancasila sebagai dasar negara, juga sebagai dasar dalam berbudaya masih kurang dipahamkan oleh orang-orang yang secara moral mempunyai tanggung jawab memahamkannya, yaitu orang-orang terdidik.
Kebudayaan luar yang dikemas dengan menarik telah menyedot perhatian masyarakat kita dan membuat kita perlahan lupa akan identitas sendiri. Sosialisasi tentang pancasila memang diperlukan. Seperti halnya agama yang harus dipahami sebagai esensi. Pancasila yang juga harus kita pahami sebagai esensi, bukan hanya diketahui keberadaannya saja.
Pancasila Sebagai Esensi
Di Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat pada 3 April 2014. Tepatnya di dalam Gedung Mahkamah Konstitusi. Hamdan Zoelva, selaku ketua MK dengan nada datar membacakan putusannya, “Memutuskan bahwa frase empat pilar berbangsa dan bernegara tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucapnya sebelum memukulkan palu ke meja.
Ucapan Zoelva tersebut secara sah menghapus konsep empat pilar berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Penghapusan konsep ini dilakukan karena pertimbangan penyebutan pancasila sebagai salah satu pilar mengartikan bahwa pancasila setara dengan tiga pilar lainnya. Itulah mengapa konsep empat pilar dinilai kurang pas, karena secara hierarki harusnya pancasila berada pada posisi paling tinggi.
Lantas bagaimana sebenarnya masyarakat memandang pancasila? Masihkah nilai-nilai pancasila relevan di zaman sekarang? Jawabannya sebenarnya ada pada diri masing-masing. Namun, melihat kondisi masyarakat dan juga pemimpinnya terlihat bahwa nilai pancasila telah terasing dari kehidupan kita. Meski keberadaan pancasila diakui. Namun, secara esensi kurang kita pahami. Bagaimana tidak, berbagai kasus pelanggaran atas kemanusiaan masih marak terjadi. Orang-orang merasa tidak aman dan selalu curiga.
Alienasi yang dialami masyarakat modern menyebabkan pancasila terasing dari dalam diri. Nilai-nilai kemanusiaan yang ada pada pancasila tidak cukup memengaruhi perilaku kita sehari-hari. Hal ini mengakibatkan terjadinya krisis moral pada masyarakat modern.
Listiyono Santoso dalam ebook “Penyakit Sosial: Hidup dengan Suatu Cacar Tanpa Menjadi Sakit” menyebutkan tentang moralitas manusia sekarang sudah tidak bisa diprediksi. Nilai tradisional yang dulunya disakralkan sekarang mulai diragukan kebenarannya. Kita dihadapkan pada pilihan meninggalkan yang lama atau memilih yang baru. Sedangkan dalam hal moralitas, pancasila memegang peranan penting.
Pancasila telah membersamai bangsa Indonesia sejak pascakemerdekaan. Ia dilahirkan oleh moral para pejuang bangsa. Sebuah moral yang terbentuk dari nilai dasar kemanusiaan. Namun, apakah pancasila masih mampu untuk membentuk karakter masyarakat yang bermoral? Sebenarnya bukan tanggung jawab pancasila untuk membentuk moralitas manusia Indonesia. Melainkan kita yang bertanggung jawab untuk mengamalkan nilai pancasila.
***
Disatu sisi kita bisa memandang pancasila seperti kita memandang agama. Menganggap pancasila sebagai esensi dasar dalam menjalankan kehidupan sehari-hari karena konsep pancasila sejalan dengan konsep agama. Agama mengajarkan kita untuk mempercayai Tuhan, berlaku adil pada setiap orang. Agama membenci perpecahan, dan mengajarkan persatuan. Sama halnya dengan pancasila. Kelima sila tertanam nilai ketuhanan dan kemanusiaan.
Agar pancasila kembali hadir dalam kehidupan masyarakat maka pancasila harus dipahamkan dengan cara disosialisasikan, diajarkan, dan dicontohkan, baik di lingkungan pendidikan, keluarga, ataupun masyarakat. Lantas tanggung jawab mendidik tentang nilai pancasila ada pada siapa. Anies Baswedan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (2015) pernah mengatakan bahwa mendidik adalah tanggung jawab moral untuk setiap kaum terdidik. Baik pendidikan formal maupun non-formal. Sedangkan mengamalkan nilai pancasila merupakan tanggung jawab kita sebagai orang Indonesia.
sumber: