Pada April 1909, RM Tirtoadisoerjo mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah (SDI) di Bogor setelah mengundurkan diri dari Budi Utomo (BU). Raden Adipati Tirtokoesoemo, presiden pertama BU yang dipilih di Yogyakarta pada Oktober 1908—yang cenderung kooperatif terhadap Belanda—telah membuat kecewa banyak pemuda pencetus BU, termasuk Tirtoadisoerjo.
Tirtoadisoerjo membentuk SDI menandingi pertumbuhan dagang kaum Cina yang terkumpul di Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang didirikan pada 1900. Tirto kemudian berkenalan dengan pengusaha batik di Laweyan, Solo, H Samanhoedi. Samanhoedi memintanya menjadi pemimpin redaksi Sarotomo. Samanhoedi kemudian membentuk perkumpulan pula.
Nama SDI yang digunakan—sesuai dengan SDI di Bogor yang bergerak di bidang ekonomi— memungkinkan Samanhoedi terhindar dari kecurigaan Belanda. Pada 1905, di Jakarta telah terbentuk Djamiat Chair, perkumpulan orang-orang Arab yang menentang sekolah Belanda dan kemudian mendirikan sekolah Muslim.
Kerja sama Samanhoedi dan Tirtoadisoerjo tak berlangsung lama setelah Sarekat Islam terbentuk pada 1912. “Menurut orang, berakhirnya kerja sama dengan Tirtoadisoerjo adalah karena Tirtoadisoerjo menipu pengurus Sarekat Islam. Uang yang diperuntukkan bagi Sarotomo konon telah dipakainya sendiri untuk menyelamatkan Medan Prijaji,” tulis APE Korver, yang menulis buku tentang Sarekat Islam.
Maka, ketika ada kelompok yang menyebut SDI berdiri pada Oktober 1905, seperti yang ditulis Deliar Noer pada 1973, Kerver mencurigai ada kelompok yang menginginkan SI sebagai pelopor nasionalisme mendahului BU. Akira Nagazumi, yang menulis buku tentang BU, menilai ide nasionalisme ala Kartini dilanjutkan oleh BU secara terorganisasi.
Memang SI lebih unggul dari BU dari sisi kegiatan. Ketika BU hanya bergiat di pendidikan, SI sudah bergiat di bidang ekonomi dan agama. Priyantono Oemar
sumber: republika.co.id