“Kau ingin jadi apa? Pengacara, untuk mempertahankan hukum kaum kaya, yang secara inheren tidak adil? Dokter, untuk menjaga kesehatan kaum kaya, dan menganjurkan makanan yang sehat, udara yang baik, dan waktu istirahat kepada mereka yang memangsa kaum miskin? Arsitek, untuk membangun rumah nyaman untuk tuan tanah? Lihatlah di sekelilingmu dan periksa hati nurani. Apa kau tak mengerti bahwa tugasmu adalah sangat berbeda: untuk bersekutu dengan kaum tertindas, dan bekerja untuk menghancurkan sistem yang kejam ini!”
–Victor Serge, Bolshevik
Sejarah sudah merentangkan bahwa mahasiswa adalah jalan politis dan proses yang membebaskan manusia dari riuh masa suram dan derita penindasan. Selain itu, menjadi mahasiswa merupakan jalan untuk tetap berdiri di tengah ingar bingar modernitas. Mahasiswa dituntut untuk memilih; menuju keadilan atau terkungkung oleh tradisi-tradisi. Menjadi mahasiswa artinya proses menuju keadilan, kesejahteraan ekonomi, dan demokrasi politik.
Hari ini, menjadi mahasiswa, kentara tak lagi ditujukan untuk kemuliaan, pencerahan kecerdasan, dan pendidikan politik jangka panjang. Mahasiswa kini dibangun dengan kesadaran akan pentingnya melengkapi kejenuhan hidup, tuntutan mendapat gelar cumlaude, ataupun jalan untuk memperoleh pekerjaan; kemudian menistakan kewajiban yang lain.
Menjadi mahasiswa itu layaknya candradimuka lahirnya pejuang/pemimpin berkarakter. Militan, tapi bukan mesin yang hanya mengikuti, mengeksploitasi apapun yang ada di depan matanya. Hal ini karena semasa kuliah hanya diajarkan bagaimana patuh, taat, tidak neko-neko, bahkan mengagung-agungkan materi. Padahal, menjadi mahasiswa tanpa akar sosial dan kultur dialektika hanya akan menjadikan mahasiswa sebagai generasi yang melahirkan omong-kosong bagi masa depan bangsa.
Tahulah kita mengapa generasi Tirto Adhi Soerjo dan H.O.S. Tjokroaminoto, yang dilanjutkan generasi Soekarno-Hatta adalah generasi emas bangsa. Mereka tidak tergantikan hingga kini karena pondasi mereka dibangun oleh kultur humanis yang mengedepankan dialog untuk menjawab pelik dan ruwetnya tantangan masa. Mereka tidak didikte. Mereka lahir dari kancah dialektika dan tidak pernah alpa untuk mengkritisi ketidakadilan.
Warisan akan ketakutan dan kepatuhan
Kepatuhan seperti menjadi ingatan abadi dalam alam bawah sadar mahasiswa baru (maba). Semua maba dituntut untuk patuh, apabila tidak maka hukuman menantinya. Sudah hal ikhwal, jika nantinya maba yang dididik dengan cara demikian akan menjadi mahasiwa penakut yang tak berani berdialektika.
Kepatuhan maba ini bahkan menjadi tradisi tahunan di setiap kampus. Thomas Hobbes, filsuf berkebangsaan Inggris, sangat yakin bahwa manusia ditentukan oleh emosinya, bukan akal budinya. Thomas juga berkeyakinan bahwa manusia dapat dengan mudah diatur, asalkan setiap harinya dijejali dengan rasa takut—dibuat untuk selalu takut. Kekuatan dari rasa takut itulah yang sekarang disemai di perguruan tinggi melalui peraturan dan pemberlakuan sanksi dan hukuman.
Menjadi ironis ketika ketakutan dan kepatuhan dijadikan alat pemberangus keaktifan maupun kekritisan maba. Langka sekali maba didorong untuk aktif. Ketakutan dan kepatuhan adalah metode paling efektif yang dijalankan oleh ‘penguasa kampus’ untuk mencukur habis potensi-potensi maba. Pramoedya Ananta Toer pernah mengingatkan kita mengenai ketakutan macam ini. Ia mengatakan “Ketakutan selalu jadi bagian mereka yang tak berani mendirikan keadilan. Kejahatan selalu jadi bagian mereka yang menginginkan kebenaran maka melanggar keadilan. Dua-duanya busuk, dua-duanya sumber keonaran di atas bumi ini.”
Respons ‘penguasa kampus’ dalam hal kepatuhan umumnya adalah respons negatif. Di bawah ‘pengusa kampus’, hampir tak ada warisan pencerdasan yang layak dibanggakan. Wajah mahasiswa yang diagung-agungkan namanya tersebut semua-muanya buram, kusam tak memperlihatkan apa-apa.
Warisan akan Militansi dan Perjuangan
Era militansi dan perjuangan telah lewat, setidaknya, sejarah mengenai perjuangan mahasiswa menggulingkan tirani bisa kita lihat dalam buku-buku sejarah. Namun, mahasiswa dari masa ke masa selalu mempunyai semangat yang sama: semangat untuk memberontak kepada ketidakadilan.
Jika kita meraba suasana kampus saat ini, mungkin ada kegamangan. Mahasiswa tak diajari bagaimana membaca situasi. Mahasiswa hanya diajari bagaimana mendengarkan perintah dan mencontoh apa yang harus dilakukan. Tak ada debat dialog kritis di sana, pun apabila ada mahasiwa yang mencoba bersikap kritis, ia diberangus.
Mahasiswa sekarang juga dipersiapkan untuk selera pasar. Jika dulu negara mengontrol ketat kampus, kini kampus dikontrol ketat akan kebutuhan pasar. Materi kuliah yang ditawarkan tak jauh dari kebutuhan pasar, pengetahuan yang ditanamkan ke mahasiswa pun juga diorientasikan akan terpenuhinya pasar tenaga kerja. Mahasiswa apatislah yang ditelurkan. Mahasiswa bimbang dan linglung jika dihadapkan akan kelembaman sosial politik.
Jika ditanya di mana kekuatan mahaiswa sekarang, saya tergolong orang yang masih percaya, bahwa mahasiswa tengah mencari format gerakannya untuk tetap mengontrol kebijakan-kebijakan kampus. Bahkan turun ke jalan untuk memrotes kebijakan pemerintah yang dianggap tak membela rakyat.
Menjadi mahasiswa berarti tak menjadi seorang jahanam yang membiarkan ketidakadilan bercokol. Menjadi mahasiswa tetaplah kesempatan di mana kita mampu membuka banyak kemungkinan, menjadi apatis atau mengikuti arus. Menjadi mahasiswa selalu mempunyai peran untuk menjadikan dirinya sebagai intelektual. Soe Hok Gie, dalam catatan hariannya memiliki definisi tersendiri mengenai intelektual. Menurut Gie, tugas intelektual adalah mendorong elemen-elemen dan semua lapisan masyarakat untuk bergerak dan memberontak terhadap situasi .
Akhirnya, menjadi mahasiswa adalah sebuah persiapan untuk mengawali perubahan. Membuat seseorang bisa melihat lebih luas dan mawas terkait dengan pilihan hidupnya: menjadi mahasiswa, atau ‘tidak menjadi mahasiswa’! Terserah Anda!
Prasetyo Wibowo
sumber: ekspresionline.com